Oleh : Saiful Bahri
Masih banyak orang berusaha menutupi dan abai terhadap keberadaan ISIS di Indonesia. Padahal sudah ada ancaman terhadap Pancasila dan NKRI. Sudah ada demonstrasi terbuka, teror bom sampai pelatihan perang gerilya dan pertempuran bersenjata di Sulawesi Tengah. Pengambilalihan kota Marawi di Filipina Selatan secara tiba-tiba membuka mata setiap orang,–tentang bahaya mengabaikan keberadaannya di Indonesia. Seorang pengamat sosial politik, Syaiful Bahri yang juga mendalami gerakan Islam di Indonesia,– membedah keberadaan ISIS dalam 3 tulisan bersambungnya di akun Facebook-nya (Redaksi)
Melanjutkan tulisanku sebelumnya. Kebanyakan orang hanya merekam aksi-aksi ISIS dengan teror bomnya baik yang diarahkan ke rakyat maupun ke aparat militer/polisi. Namun sesungguhnya, taktik serangan teror bom tersebut bukan tujuan utama dan bukan serangan akhir mereka. Strategi utama mereka adalah menggunakan perang/gerilya kota sebagai cara merebut dan menduduki wilayah untuk mewujudkan pemerintahan kekhilafahan di satu negara.
ISIS dan jaringannya telah belajar banyak dari kekalahan kelompok-kelompok sebelumnya seperti kelompok Mujahidin dan Al-Qaida, yang lebih banyak mengandalkan basis perlindungan perjuangannya di wilayah pedalaman dan pegunungan, jauh ratusan dan ribuan kilo dari pusat kota. Strategi gerilya pedalaman selain memakan waktu cukup lama untuk memenangkan pertempuran, mudah dihancurkan lawan (militer), dan kurang menimbulkan efek phisikologis yang besar.
Ketika ISIS mulai mendeklarasikan dirinya sebagai gerakan bersenjata menentang pemerintahan yang sah di Irak dan Suriah, mereka telah merubah taktik pertempurannya. Taktik gerilya pedalaman sudah mulai ditinggalkan. Mereka kemudian beralih ke perang/gerilya kota sebagai strategi pertempurannya merebut kekuasaan.
Perubahan strategi perang pedalaman ke perang kota juga diikuti oleh jaringan ISIS di Indonesia. Gerakan bersenjata yang dipimpin Santoso dan yang sebelumnya yang memimpin perlawanan menggunakan taktik gerilya pedalaman dianggap telah gagal. Terbukti kelompok bersenjata ini dapat dihancurkan oleh TNI/Polri. Karena memang TNI/Polri kita dikenal di dunia sebagai salah satu pasukan yang menguasai perang gerilya. Jadi mereka sangat menguasai medan perang gerilya di hutan-hutan dan pegunungan.
Barulah pada saat terjadi peristiwa serangan ke aparat polisi di Jalan Thamrin Jakarta pada tanggal 14 Januari 2016, pemerintah dan masyarakat dikejutkan oleh serangan kelompok bersenjata di pusat ibu kota dan sangat dekat dengan istana Presiden.
Taktik serangan bersenjata di pusat kota yang dilakukan oleh jaringan Bahrum Na’im, meskipun tergolong kecil namun mempunyai efek phisikologis dan pemberitaan yang luas baik di nasional maupun internasional. Serangan tersebut merupakan uji taktik dari kelompok mereka untuk penerapan perang/gerilya kota, atau istilahnya: “test in the water”. Nama Bahrum Na’im pun di kalangan elit ISIS lebih mendapat pujian dari pada Santoso yang bergerak di wilayah pedalaman.
Pilihan perang/gerilya kota sebagai taktik ISIS di Indonesia diakui sendiri oleh Bahrum Na’im dalam blognya yang ditulis tanggal 18 Januari 2016, tiga hari setelah penyerangan Thamrin. Dia mengatakan: “Serangan berbarokah junud daulah Indonesia telah sampai tahap menggelar gerilya kota. Junud daulah Indonesia telah berhasil membuahkan gerilya hutan ke perkotaan dengan operasi yang cerdas …..”.
Tentu saja perubahan strategi perang dari pedalaman ke kota juga memerlukan perubahan pola dan format pengorganisasian kekuatan sayap non-militer seperti organisasi-organisasi mantelnya baik yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup.
Perang kota sangat memerlukan organisasi mantel yang banyak dan bervariasi serta menciptakan organ propagandis yang handal. Mereka harus membangun sel-sel tidur yang disiplin sampai saatnya nanti diperlukan untuk bergerak. Merekapun harus mampu melakukan infiltrasi ke lembaga-lembaga kekuasaan pemerintah, legislatif, lembaga-lembaga sosial keagamaan, ruang-ruang publik dimana mereka dapat dengan mudah melakukan propaganda dan doktrin. Semua itu dilakukan untuk mensupport pertempuran akhir mereka merebut kekuasaan suatu wilayah.
Dengan demikian, bisa kita pahami juga mengapa sebagian besar para militer dan milisi sipil ISIS kebanyakan berasal dari kelompok menengah kota terdidik. Bukan berasal dari rakyat jelata. Dalam hal ini teori tentang kemiskinan tidak bisa juga digunakan untuk menganalisis keberadaan mereka.
Saya ditanya oleh seorang teman. Apakah mungkin terjadi ISIS dan afiliasinya merebut kekuasaan di Indonesia baik sebagian maupun menyeluruh dengan strategi dan taktik perang kota? Jawaban saya adalah sangat mungkin. ISIS banyak belajar dari kekalahan-kekalangannya selama ini dan mereka akan cepat beradaptasi dengan situasi masyarakat dan politik di suatu negara.
Saya cukup terkejut juga 40 lebih pasukan ISIS yang tewas di Marawis adalah berasal dari Indonesia dan Malaysia. Artinya apa? Mereka telah mampu merekrut dan melatih tentara-tentara dan milisi ISIS yang berasal dari Asia.
Buat saya peristiwa Marawi merupakan babak baru dari gerakan dan perang ISIS di Asia. Karena bukan juga suatu kebetulan pola dan aksi gerakan teror dan mobilisasi militer yang mereka lakukan di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand, akan menciptakan zona perang baru di Asia Tenggara.