Senin, 21 Juli 2025

PERJUANGAN BELUM SELESAI..! Hari-hari Perlawanan PRD Menjelang 27 Juli 1996

JAKARTA- “Beberapa hari lagi, tepatnya pada 22 Juli, kita akan mengenang sebuah momen penting dalam sejarah perjuangan kaum muda Indonesia: deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD),” demikian Merdika.id  melaporkam dikutip Bergelora.com di Jakarra, Senin (21/7).

Dideklarasikan pada 22 Juli 1996, PRD muncul sebagai kekuatan politik paling militan, paling berani, dan paling maju dalam menghadapi rezim otoriter Orde Baru. “Dibunuhi, diculiki, ditembaki, dianiaya. Tanpa senjata, toh, bisa membikin Harto terjengkal. Ini satu-satunya kejadian dalam sejarah umat manusia,” kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer tentang PRD.

Diadaptasi dari: “Indonesia: Tough international response needed to widening crackdown”. Human Rights Watch/Asia, Robert F. Kennedy Memorial Centre for Human Rights, Agustus 1996 – Vol. 8, No. 8,— berikut ini Merdika.id menyuguhkan catatan kronologi aksi yang dilakukan kader-kader PRD dalam rentang April 1995 hingga Juli 1996.

17 April 1995, Medan: Mahasiswa berdemonstrasi di DPRD setempat menentang pernyataan Presiden Soeharto yang menyebut pengunjuk rasa yang menghadangnya dalam kunjungan kenegaraan ke Jerman sebagai “wong edan, sinting”. Sepuluh demonstran ditangkap, sembilan dari Medan dan satu di antaranya adalah koordinator nasional SMID untuk Hubungan Internasional dari Yogyakarta.

Liputan media aksi PRD dan PPBI memperingati Hari Buruh, 1 Mei 1995. (Ist)

25 April 1995, Yogyakarta: Sekitar 300 mahasiswa berkumpul di dekat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta untuk memprotes penahanan dan pemukulan rekan mereka di Medan. Andi Arief, Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Yogyakarta, menyebut “sinting dan gila” adalah militer yang korup. Aksi dibubarkan oleh komando distrik militer.

1 Mei 1995, Jakarta: Aktivis Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan SMID, dipimpin Dita Sari (Ketua PPBI), memimpin puluhan buruh dan mahasiswa ke Kementerian Tenaga Kerja dalam peringatan Hari Buruh Internasional. Mereka menuntut upah minimum harian Rp 7.000 (USD 3,50), penghentian korupsi, hak untuk berserikat, penghentian intervensi militer dalam sengketa buruh, dan pembebasan pemimpin buruh Muchtar Pakpahan (ditangkap 1994 terkait demonstrasi buruh di Medan).

Lima orang ditangkap dan kemudian dibebaskan, termasuk Dita Sari, Nasrul (PPBI Bogor), Fitri (PPBI Tangerang), Ruchiat (PPBI Cakung, Jakarta Utara), dan Wignyo (PPBI Kawasan Industri KBN, Jakarta Utara).

1 Mei 1995, Semarang: Sekitar 400 mahasiswa dan buruh berkumpul di Universitas Diponegoro, Semarang untuk merayakan Hari Buruh Internasional. Mereka mencoba berbaris menuju Kantor Gubernur Jawa Tengah. Polisi dan aparat militer menghalangi, serta bentrokan terjadi. Akibatnya 16 mahasiswa ditahan sebentar, termasuk Petrus Hariyanto, Sekretaris Jenderal SMID, dan Lukman, pengurus nasional PPBI. Garda Sembiring dari SMID Jakarta juga ditangkap. Demonstran membawa spanduk berbahasa Inggris bertuliskan “Tuntut upah minimum” dan “Militerisme pergi ke neraka”.

18 Juli 1995, Bogor: Aktivis PPBI dan SMID mengorganisir 13 ribu buruh PT Great River Industries, pabrik garmen yang memproduksi pakaian dalam Triumph serta kemeja Arrow dan Kenzo, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief dan mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Laksamana Sudomo.

Saat buruh berbaris menuju DPRD Bogor, menuntut upah minimum Rp 7.000, cuti haid bagi pekerja perempuan, dan pembubaran serikat buruh yang dikendalikan pemerintah, SPSI, militer membuat barikade untuk mencegah mereka masuk ke halaman gedung DPRD.

Sebanyak enam aktivis yang menerobos barikade ditangkap, termasuk Dita Sari dan Lukman dari PPBI, serta lima aktivis SMID dari Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta. Mereka ditahan sebentar dan dibebaskan.

Aksi PRD dan Serikat Tani Nasional (STN). Kredit. (Ist)

7 Desember 1995, Jakarta: Aktivis SMID dan PRD yang bergabung dengan mahasiswa Timor Timur, menduduki Kedutaan Besar Belanda dan Rusia di Jakarta untuk memprotes pendudukan Indonesia atas bekas koloni Portugal.

11 Desember 1995, Solo: Sekitar 14 ribu buruh mengikuti mogok dan unjuk rasa yang diorganisir PPBI di pabrik tekstil Sritex (PT Sri Rejeki Isman), di mana putri sulung Presiden Soeharto, Tutut, dan Menteri Penerangan Harmoko adalah pemegang sahamnya. Pabrik ini memproduksi seragam Golkar dan kemeja. Sebanyak 15 anggota PRD ditangkap oleh militer sebelum acara dimulai karena tidak membawa kartu identitas. Di antara mereka adalah Garda Sembiring, Herman Hendrawan dari PRD Surabaya, dan Kelik Ismunanto dari PRD Jakarta. Edy dari PRD Solo memimpin buruh berbaris ke DPRD setempat menuntut upah minimum dengan tunjangan makanan terpisah, gaji bulanan dihitung berdasarkan 30 hari bukan 26 hari, cuti haid bagi pekerja perempuan, dan penghentian sistem target produksi.

5 Februari 1996, Manado: Aktivis SMID Manado dan Serikat Tani Nasional, underbouw PRD, membantu mengorganisir unjuk rasa petani dari Desa Kaneyan, Minahasa, Sulawesi Utara, yang memprotes pembangunan saluran listrik tegangan tinggi yang melintasi tanah mereka. Protes yang berlangsung sejak akhir 1994 itu, oleh polisi serta kepala desa disebut sebagai “penghambat pembangunan” dan komunis.

11 Maret 1996, Jakarta: Sebanyak 50 mahasiswa dari (SMID Jabotabek), dipimpin Buyung H., berbaris ke Kementerian Tenaga Kerja menuntut pemilu yang bebas dan adil serta mengadakan “forum terbuka” di depan gedung Kementerian. Garda Sembiring membacakan tuntutan mereka untuk mencabut Paket 5 Undang-Undang Politik 1985 yang membatasi demokrasi. Demonstrasi itu berlangsung damai.

23 Maret 1996, Solo: Pertemuan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Solo, yang dikoordinir oleh mahasiswa dari Serikat Rakyat Surakarta, afiliasi KIPP [dan PRD], dibubarkan oleh aparat Komando Rayon Militer.

26 Maret 1996, Lampung: Pembentukan KIPP Lampung, dengan komite eksekutif yang terdiri dari SMID, Forum Diskusi Mahasiswa Lampung, LBH Lampung, SBSI, serta kelompok mahasiswa Protestan dan Sukarnois. Bambang Ekalaya, Koordinator KIPP Lampung [dan pemimpin SMID], ditangkap dan diinterogasi selama sembilan jam di Komando Militer Regional (Korem 043) setelah pembukaan pertemuan.

25 April 1996, Pemalang: Lebih dari 100 mahasiswa yang diorganisir oleh Masyarakat Indonesia Pedukung Megawati dan PRD mengadakan “forum terbuka” untuk membahas demokrasi, pemantauan pemilu, dan peristiwa di Ujung Pandang. Sebanyak 23 mahasiswa sempat ditahan.

Wiji Thukul membacakan puisi saat Deklarasi PRD, 22 Juli . (Ist)

22-26 April 1996, Ujung Pandang: Demonstrasi memprotes kenaikan tarif transportasi. Pada 22 April, aksi dikoordinasikan oleh Aliansi Mahasiswa Pro-Demokrasi, dengan satu kelompok berbaris ke DPRD dan kelompok lain ke Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, tanpa insiden. Pada 23 April, demonstrasi membesar, dan polisi antihuru-hara dikerahkan. Pada 24 April, kekerasan pertama terjadi, beberapa minibus dibalikkan massa. Pasukan keamanan mulai memukuli mahasiswa dan dosen. Pada akhir hari, kendaraan personel lapis baja memasuki kampus Universitas Muslim Indonesia, dan pasukan menyerbu kampus.

Setidaknya tiga mahasiswa tewas. Menurut pejabat itu karena tenggelam setelah melompat ke sungai untuk melarikan diri dari kejaran tentara. Lebih dari 100 orang terluka.

Hari berikutnya lebih keras, dengan mahasiswa dari hampir semua perguruan tinggi di kota terlibat. Setelah aksi militer, demonstrasi solidaritas untuk korban tewas dan luka meletus di seluruh Jawa dan Sumatra. Anggota SMID turut berpartisipasi dalam aksi tersebut.

Pramudya Ananta Toer dan Budimam Sudjatmiko saat Deklarasi PRD 22 Juli 1996. (Ist)

2 Mei 1996, Solo: SMID Solo mengorganisir demonstrasi memprotes peristiwa Ujung Pandang di depan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret. Demonstran dihalangi oleh tiga truk pasukan Kostrad dan satu dari Komando Militer Distrik. Pemimpin SMID mengajak pengunjuk rasa untuk melawan. Sekitar 15 orang ditahan, termasuk Prijo Wasono, Ketua SMID Solo dan Dadang Kosasih dari Biro Advokasi SMID.

8 Mei 1996, Yogyakarta: SMID Yogyakarta mengorganisir pawai dan demonstrasi solidaritas untuk korban tewas di Ujung Pandang.

9 Mei 1996, Bogor: PPBI membantu mengorganisir penghentian kerja di PT Indo Shoes di zona industri Citeureup, Bogor. Lebih dari 7.000 pekerja turut serta dalam aksi tersebut.

14 Mei 1996, Yogyakarta: Demonstrasi lebih besar untuk memprotes peristiwa berdarah di Ujung Pandang diorganisir oleh SMID Yogyakarta. Peserta memperkirakan jumlah pengunjuk rasa bertambah dari 120 menjadi sekitar 900 orang. Mereka menuntut penghentian aksi militer represif, seperti di Aceh (1989-1991), Lampung (1989), Timor Timur, Tanjung Priok (1984), Nipah (1993), dan Timika (1996).

Yanti, pemimpin SMID Semarang, mengingatkan bahwa mereka tidak memiliki hak politik. Pengunjuk rasa menuju DPRD Yogyakarta, tetapi dihalangi militer. Pemimpin SMID memutuskan untuk berkonfrontasi. Akibatnya beberapa terluka dalam bentrokan dan dibawa ke rumah sakit setempat.

14 Juni 1996, Semarang: Unjuk rasa lebih dari 100 perwakilan PDI dan aktivis PRD Semarang untuk mendukung pencalonan Megawati diadakan di depan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.

Dita Indah Sari, Ketua Umum Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dalam sebuah aksi buruh.melawan Orde Baru. (Ist)

17 Juni 1996, Surabaya: Hampir 1.000 pendukung Megawati dari PDI dan PRD, yang menyebut diri mereka Front Pendukung Megawati, berbaris di jalanan.

17 Juni 1996, Yogyakarta: Ratusan aktivis SMID dan PRD mengadakan demonstrasi mendukung Megawati.

18 Juni 1996, Salatiga: Ratusan mahasiswa yang diorganisir PRD menyerukan penghentian “fungsi ganda” militer [peran politik-militer], pencabutan Paket 5 Undang-Undang Politik 1985 yang mengatur politik, dan memberikan dukungan untuk Megawati. Demonstran menduduki DPRD setempat hingga hampir tengah malam.

18-19 Juni 1996, Jakarta: Sekitar 5.000 buruh dari PT Indo Shoes, PT Ganda Guna, dan PT Kingstone, yang diorganisir oleh PRD dan PPBI, mengadakan unjuk rasa di gedung DPR RI. Budiman Sudjatmiko dari PRD berpidato tentang pentingnya buruh memiliki partai sendiri untuk memperjuangkan hak ekonomi dan politik mereka, dan meminta mereka mendukung Megawati Soekarnoputri.

Dita Sari dari PPBI mendesak mereka untuk membuat tuntutan politik dan melawan penindasan. Delegasi pekerja dan PRD/PPBI diterima oleh empat perwakilan PDI, termasuk Sabam Sirait, Marcel Bleding, dan Aberson.

Polisi dan tentara mencoba menangkap beberapa buruh saat keluar. Garda Sembiring dari PRD dipukuli. Banyak pekerja dibawa kembali ke Bogor oleh aparat Brigade Mobil Polisi dengan truk. Penghentian kerja di PT Indo Shoes berlanjut keesokan harinya.

19-20 Juni 1996, Jakarta: Demonstrasi pro-Megawati yang diorganisir oleh aliansi berbagai kelompok, termasuk PRD, dimulai dengan sekitar 4.000 orang pada 19 Juni dan bertambah menjadi sekitar 15 ribu orang pada keesokan harinya. Pengunjuk rasa mencoba bergerak dari Monumen Nasional di pusat kota ke markas PDI, tapi dihentikan di Stasiun Gambir oleh polisi dan militer.

Sebanyak empat orang dilaporkan tewas dan puluhan terluka saat demonstran dan pasukan keamanan bentrok.

21 Juni 1996, Lampung: Sebanyak 350 orang yang berkumpul di Lampung untuk demonstrasi mendukung Megawati, dibubarkan oleh militer.

8 Juli 1996, Surabaya: Sekitar 20 ribu pekerja dari sepuluh pabrik berbaris di jalanan Surabaya menuntut upah minimum. Sebanyak 24 aktivis ditangkap dan dibawa ke markas Polwiltabes Surabaya; semua kecuali dua, Dita Sari dari PPBI dan Coen Hussein Pontoh, dibebaskan. Keduanya didakwa berdasarkan pasal 160 KUHP dengan “penghasutan untuk melakukan kekerasan”. Yang lain juga ditangkap terkait insiden yang sama. (Rudi Hartono)

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru