Rabu, 19 November 2025

PERLU DIKRITISI NIH.! KUHAP Baru: Alat Bukti, Penyitaan, dan Teknik Investigasi Khusus

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru pada 18 November 2025. Sejumlah pasal dinilai berpotensi menimbulkan persoalan dalam implementasi, mulai dari aturan alat bukti, penyitaan, teknik penyelidikan khusus, hingga penyadapan. Lantas, bagaimana penerapan hukum dari aturan tersebut?

Pengamatan Hakim Sebagai Alat Bukti Dipersoalkan

Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Binsar Gultom, menyoroti dua pasal krusial dalam KUHAP baru, seperti penambahan alat bukti “pengamatan hakim” dan ketentuan mengenai penyitaan.

Binsar menyatakan, tidak sependapat dengan dimasukkannya “pengamatan hakim” sebagai alat bukti baru dalam Pasal 235 ayat (1) huruf g.

Ia menilai, konsep tersebut problematis karena lahir dari kategori alat bukti “petunjuk” yang dihapus dalam regulasi baru.

“Alat bukti ‘petunjuk’ (yang dihilangkan) penting dimasukkan kembali sebagai alat bukti, karena ‘petunjuk’ itu justru merupakan bagian dari ‘pengamatan hakim’,” kata Binsar.

Pengajar di Universitas Sumatera Utara (USU) itu menilai, menjadikan pengamatan hakim sebagai alat bukti berdiri sendiri dapat menimbulkan kekeliruan serius.

“Jika ‘pengamatan hakim’ dijadikan alat bukti, berarti seolah-olah pengamatan hakim sama seperti putusan hakim yang dipakai sebagai bukti dalam perkara lain. Itu tidak boleh,” ujar dia.

Menurut Binsar, dalam sistem negatief wettelijk bewijsstheorie, keyakinan hakim tidak muncul tiba-tiba, tetapi dibangun melalui rangkaian alat bukti yang saling melengkapi: keterangan saksi, ahli, petunjuk, surat, barang bukti elektronik, serta keterangan terdakwa.

“Dari pengamatan hakim terhadap rangkaian alat-alat bukti itu muncul keyakinan apakah terdakwa pelakunya,” kata mantan hakim dalam perkara kopi sianida tersebut. Aturan penyitaan berpotensi langgar praduga tak bersalah Binsar juga mengkritik Pasal 131 ayat (1) KUHAP baru, yang memperbolehkan benda sitaan yang “lekas rusak” dimusnahkan atau dilelang oleh penyidik atau penuntut umum.

Menurut dia, aturan tersebut bertentangan dengan asas presumption of innocence, sekaligus berkontradiksi dengan Pasal 135 yang mengatur bahwa benda sitaan harus dikembalikan kepada pihak yang berhak setelah putusan inkrah.

“Jika barang sitaan sudah dilelang atau dimusnahkan sementara terdakwa tidak terbukti bersalah, apakah harus ada gugatan perdata atau praperadilan?” ujar Binsar, mempertanyakan.

Binsar yang juga pengajar di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta itu pun meminta pemerintah dan DPR segera mengisi kekosongan hukum dan memastikan aturan dalam KUHAP baru selaras dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan, baik untuk perkara pidana umum maupun khusus, termasuk yang terkait Pengadilan HAM.

Ia mengingatkan agar tidak terjadi polemik di kemudian hari yang berujung pada uji materi di Mahkamah Konstitusi, seperti yang menimpa beberapa pasal dalam KUHP baru.

“Jangan sampai setelah disahkan justru muncul perdebatan kusir yang berujung judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” kata Binsar, yang pernah mengadili kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan Tanjung Priok.

Teknik Investigasi Khusus: Tak Bisa Berlaku Umum

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sementara itu, pakar hukum pidana Albert Aries menyoroti teknik penyelidikan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f dan g, yaitu undercover buy (pembelian terselubung) dan controlled delivery (penyerahan di bawah pengawasan).

Menurut dia, kedua teknik ini awalnya hanya dikenal dalam penanganan tindak pidana narkotika, sehingga tidak boleh diterapkan secara umum tanpa aturan pembatas yang jelas.

“Teknik investigasi khusus ini seharusnya bergantung pada undang-undang tersendiri yang mengatur batasan dan pengawasannya, mengingat kedudukannya dalam KUHAP baru berada di luar upaya paksa yang bukan obyek praperadilan,” ujar Albert.

Penyadapan Dan Kewenangan Penyidik

Albert juga mengkritik definisi penyadapan dalam Pasal 1 angka 36 KUHAP baru, yang menyebut penyidik dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan, tetapi teknisnya diserahkan pada undang-undang khusus.

“Sesuai prinsip lex certa dan lex stricta, ketentuan ini belum jelas dan belum ketat sehingga rawan penyalahgunaan wewenang dan masih bergantung pada undang-undang lain,” ujar dia.

Terkait kekhawatiran publik bahwa Pasal 5 membuka ruang penyelidik melakukan upaya paksa, Albert menegaskan ketentuan itu bukan hal baru.

“Dalam KUHAP 1981, substansi yang sama sudah ada. Penyelidik memang baru bisa melakukan kewenangannya setelah mendapat perintah penyidik, sehingga tidak perlu dipersoalkan,” kata dia.

Praperadilan tetap jadi mekanisme kontrol utama Albert menekankan bahwa potensi penyalahgunaan wewenang penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penyitaan sudah dapat diuji melalui praperadilan.

“Objek-obyek itu dapat diuji keabsahannya dalam praperadilan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia,” ujar Albert.

Di sisi lain, KUHAP baru juga memperkuat posisi advokat sebagai penegak hukum yang mendampingi saksi, tersangka, maupun terdakwa.

Soal RUU KUHAP Albert menilai, RUU KUHAP dengan segala kelebihan dan kekurangannya perlu dilihat sebagai hasil kompromi untuk menyeimbangkan kepentingan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi.

“RUU KUHAP dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus dipandang sebagai jalan tengah untuk merajut kewenangan dari masing-masing aparat penegak hukum dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu,” kata Albert.

“Guna memastikan agar hukum acara pidana bukan hanya sekadar untuk memproses pelaku tindak pidana, melainkan juga memastikan agar hak asasi dari tersangka, terdakwa, dan terpidana melalui penguatan peran advokat dapat dijamin pemenuhannya secara berimbang,” sambung dia.

Menurut dia, KUHAP baru ini bergerak mendekati due process model yang menekankan perlindungan hak individu.

“Saya rasa RUU KUHAP yang  segera disahkan semakin mendekati model due process of law, meski tidak absolut sepenuhnya, karena aspek pengendalian kejahatan (crime control model) ternyata juga masih diperlukan dalam keadaan tertentu sebagai penyeimbang,” kata Albert.

Berlaku 2 Januari 2026

Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan, UU KUHAP yang baru akan mulai berlaku 2 Januari 2026, berbarengan dengan implementasi UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional).

“Jadi, kalau tidak diselesaikan dalam proses yang sudah berjalan hampir 2 tahun, tentu saja kemudian tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang sudah 44 tahun undang-undang ini berlaku,” ujar Puan.

Sementara, Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal mempersilakan pihak yang tidak setuju dengan KUHAP untuk melakukan upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kalau memang enggak setuju dengan isinya, bisa melalui judicial review,” kata Cucun, saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (17/11/2025). (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru