Sabtu, 9 Agustus 2025

Petrus Lengkong, Seniman Dayak, Berdarah Minahasa, Prajurit yang Ditakuti Malaysia

Benius Petrus Peter Lengkong (Ist)

BENGKAYANG- Benius Petrus Peter Lengkong, kelahiran Rangkang, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, 12 Desember 1946, dikenal sebagai pekerja seni pahat, patung dan ukir ornamen Suku Dayak Bakatik.

Kepiawaiannya di dalam seni pahat, menghantarkan Petrus, panggilan akrabnya, sebagai Penerima Anugerah Kebudayaan 2013, Kategori Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemahiran Petrus di bidangnya, menghantarnya bisa berkeliling ke sejumlah negara, untuk memperkenalkan karya seninya. Petrus telah memproduksi 37 patung berbagai model dari kayu sejak 1985, kemudian 14 lukisan, sehingga memperoleh 14 penghargaan.

Tapi tidak banyak yang tahu kalau Petrus sebagai salah satu pelaku sejarah operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) di sepanjang perbatasan Provinsi Kalimantan Barat dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia.

PGRS sedianya, adalah paramiliter warga Sarawak yang dilatih Tentara Nasional Indonesia (TNI), selama konfrontasi dengan kepentingan Inggris di Sabah dan Sarawak, 1964 – 1965.

Indonesia – Malaysia rujuk 11 Agustus 1966, sebagian besar banggota PGRS yang tidak mau menyerahkan diri, ditumpas secara militer oleh Indonesia dan Malaysia di sepanjang perbatasan.

“Saat operasi penumpasan, pihak Batalyon Infantri 642/Kapuas menggelar operasi intelijen, sehingga banyak sekali anggota PGRS warga Malaysia, ketakutan dan memilih menyerahkan diri,” kata Petrus.

Dalam operasi intelijen, Petrus bertindak sebagai tokoh sentral. Berbekalkan seni bela diri telepati, Petrus melakonkan seseorang memiliki ilmu kebal, karena ditikam pisau tajam dan atau dilindas kendaraan berat, tetap bisa selamat, tanpa cedera sedikitpun.

Saat seni bela diri telepati diperankan Petrus, ternyata ditonton sejumlah anggota PGRS warga Malaysia yang sengaja menyusup di tengah ratusan kerumunan warga.

Kemudian dari mulut ke mulut di kalangan anggota PGRS, mengaku takut berhadapan dengan TNI, berkat kepiawaian Petrus memainkan seni bela diri telepati, karena diklaim punya ilmu kebal yang tidak bisa dilawan.

Saking takutnya, ada salah satu pentolan PGRS mengirim surat kepada anggotanya, untuk sebaiknya menyerahkan diri kalau sudah memasuki wilayah Indonesia, karena bisa menjadi korban kesaktian TNI.

“Lunci dan Acung, misalnya, saat ditangkap TNI di perbatasan Desa Badau, Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat tahun 1971, mengaku, memilih menyerahkan diri, karena ketakutan melihat kesaktian yang saya pertunjukkan di depan khalayak ramai,” kata Petrus.

Diungkapkan Petrus, dalam pertempuran, operasi intelijen menjadi sangat penting, baik untuk mengetahui kekuatan musuh maupun meruntuhkan moral musuh. Permainan seni bela diri telepati, merupakan salah satu teknik operasi intelijen yang dalam pelaksanaannya murah meriah.

Telepati, dimana dalam aplikasinya, seakan-akan membuat seseorang kebal, pada dasarnya hanya tipuan ekspresi dari sudut pandang kasat mata. Telepati mengutamakan penguasaan pikiran sebagai getaran dan energi.

Karena pikiran adalah kekuatan kreatif. Pikiran itu benar-benar hidup.
Tidak ada yang lebih dahsyat daripada pikiran. Segala sesuatu yang kita sukai, kita benci dan kita rasakan adalah pikiran.

Kita adalah apa yang kita pikirkan. Untuk menciptakan sesuatu, kita harus mulai melihatnya dalam pikiran terlebih dahulu. Kita dapat memperoleh keinginan kita jika kita dapat mengendalikan pikiran kita.

Tetapi “kekuatan pikiran” (sebagai watak akal) yang dihadiahkan Tuhan itu, ujar Petrus, ternyata tak sepenuhnya dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian besar umat manusia.

Tak pelak, banyak orang tidak memahami kekuatan pikiran dan efeknya terhadap kehidupan. Padahal, kalau kekuatan pikiran itu dikelola dengan baik dan kemudian diselaraskan dengan jiwa yang dibimbing oleh Daya Ilahi maka tak mustahil setiap apa yang diinginkan manusia, bisa diwujudkan.

Dengan kata lain, manusia dapat mengukir takdirnya dengan memanfaatkan kekuatan pikiran, mencakup lima aspek.

Lima aturan pikiran yang telah dipelajari dari kebijaksanaan kuno para Maestro dan dari pengalamannya sendiri selama lebih dari dua dasawarsa sebagai penasehat spiritual untuk membantu kita mendapatkan apa yang kita inginkan.

Kelima aturan ini lebih mudah diikuti jika terlebih dahulu kita memahami pikiran dan sadar akan kekuatan yang hebat ketika pikiran kita dibimbing oleh Daya Ilahi.

“Cuma syarat utama untuk mahir di dalam memerankan seni bela diri telepati, seseorang tidak boleh sombong dan takabur. Sekali saja prinsip ini dilanggar, dalam pelaksanaan seni bela diri telepati, bisa membuat kecelakaan fatal bagi para pemainnya,” ujar Petrus.

Setelah operasi penumpasan PGRS dinyatakan rampung, ditandai penembakan hingga tewas tokoh sentral, Ahmad Sofjan di Terentang, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, 12 Januari 1974, Benius Petrus Peter Lengkong, masih mengikuti berbagai operasi militer. Di antaranya operasi militer di Timor Timur.

Ihwal Petrus masuk TNI, terbilang unik. Sejak usia remaja, Petrus dikenal memiliki pergaulan luwes, sehingga dikenal dan disenangi banyak orang. Petrus disenangi karena kepiawaiannya di dalam melakonkan teknik beladiri telepati.

Usai melakonkan aksi seni bela diri teletapi di Bengkayang, Petrus tiba-tiba dijemput anggota Komando Daerah Militer (Kodam) XII/Tanjungpura dan dibawa ke Rindam di Pasir Panjang, Singkawang.

Di sini, tanpa ujung pangkal, Petrus dan bersama ratusan pemuda lainnya, diinstruksikan mengikuti pendidikan militer dan setelah lulus ditempatkan di Yonif 642/Kapuas, bermarkas di Sintang.

“Saya pensiun dengan pangkat kopral kepala tahun 1994 pada usia 52 tahun. Selama aktif di TNI  (AD) Angkatan Darat, saya berkali-kali ditawarkan mengikuti pendidikan lanjutan, tapi saya tolak,” kata Petrus.

Pensiun dari TNI AD, Petrus kembali menekui bakat alamnya, yaitu seni bela diri telepati.

Di samping itu, Petrus menekuni seni pahat, seni ukir, dan mulai pemperkenalkan busana adat Dayak.

Busana adat Dayak inilah yang kemudian mempopulerkan namanya, dan di sejumlah bandara dari fasilitas umum lainnya, foto Petrus berpakaian adat Dayak Bakatik, bisa dengan mudah dijumpai.

Petrus belajar seni ukir Dayak secara otodidak. Karyanya sudah puluhan. Karya-karya itulah yang telah menghantarkannya berkeliling Indonesia untuk pameran.

Bahkan Petrus sudah mengunjungi China, Belanda dan Jepang.

Bakat seni Petrus tumbuh sejak usia 15 tahun, sebelum menjadi anggota TNI AD. Yaitu sejak menyaksikan kakeknya memahat patung Pantak, yaitu patung digunakan saat upacara adat dan diyakini memiliki kekuatan.

Kakeknya, menurut Petrus, tidak pernah mengajarkannya secara langsung cara membuat patung. Hanya saja Petrus suka mengamati kakeknya bekerja. Setelah itu, Petrus kembangkan sendiri talentanya. (Aju)

 

Artikel Terkait

[td_block_social_counter facebook="bergeloradotcom" twitter="bergeloralah" youtube="channel/UCKbE5la4z_J_DLH03Le8RzA" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333"]

Terbaru