Dalam pemilihan Presiden RI yang baru saja lewat 17 April 2019 lalu, banyak kaum intelektual menjadi korban virus hoax (kebohongan) dan kehilangan kemampuan intelektualnya kemudian larut dalam kebencian SARA. Maria Pakpahan, seorang feminis, penulis dan aktivis politik yang tinggal di di Edinburgh, Scotlandia, menyoroti tanggung jawab kaum intelektual Indonesia dan dimuat Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Maria Pakpahan
PEMILU terbesar dan terumit di dunia yang berhasil dilakukan secara baik dengan beberapa hick-up di sana-sini dan sekarang dengan digital track, dunia juga menonton bagaimana hasil Pemilu Indonesia.
Hasil lebih dari 7 institusi survey ternama yang melakukan quick counts memberikan hasil pemilih Capres 01 mendapat suara di kisaran 54-55% dan Capres 02 di kisaran 44-45%. Dari angka ini menjadi indikasi bahwa pemenang Pemilu adalah Capres 01. Menjadi soal saat Capres 02 bukan saja menolak bahkan memberikan pers conference dan mengutip angka 62 % untuk dirinya. Disini dispute terjadi karena pihak 02 hingga tulisan ini dibuat gagal mensubtatsikan claim 62% kemenangannya itu. Dari mana angka 62 didapatkan ? Mana bukti-buktinya ?
Memang KPU akan mengumumkan hasil suara tgl 22 Mai mendatang hasil rekapitulasi hitungan manual hasil Pemilu 2019. Tentu kita semua bisa bersikap berbudaya menunggu KPU. Justru yang terjadi kebalikannya, dalam sehari Capres 02 memberikan 3 x pers conference dan bersikukuh sebagai pemenang Pemilu Presiden 2019-2024, tanpa bukti. Claim sepihak dan ini jelas menimbulkan kebingungan di masyarakat . Para pendukung 02 dan tim suksesnya juga seakan menutup telinga dan bersikap seperti segerombolan anak manja yang merasa tidak perlu memberikan bukti perhitungan suara yg dilakukan tim BPN. Jadi jika demikian, sejak awal buat apa ikut Pemilu ?

The Responsibility of Intellectuals
Mengapa saya menohok tanggung jawab kaum intellectual? Kaum intellectual diharapkan selalu menggunakan rasio dan ilmu pengetahuan secara intensitas dalam melihat dan menilai realitas yang ada. Bersikap kritis dengan sendirinya diharapkan dari seorang intelektual. Juga menyadari adanya kekuasaan yang mencoba menyebarkan “deceits dan distortion “ penipuan dan manipulasi, memilah-milah potongan-potongan realita sesuai dengan kepentingannya dan menutup mata terhadap potongan, sabikan realita yang lain.
Kaum intelektual dituntut untuk terus dengan intens dan tidak kapokan, menjadi saksi suatu perhelatan besar bangsa Indonesia, Pemilu 2019. Menyaksikan bukan untuk kemudian diam, cuek dan acuh tak acuh. Menjadi saksi dan bersiap saat bangsa dan rakyat membutuhkan kebeningan suara dan ketajaman mata cendikia , bisa memilah mana tumpukan kebohongan yg di abad 21 disebuat hoax dan mana yang merupakan sejatiya hasil pilihan rakyat Indonesia.
Belakangan ini menjadi fashion bahwa kaum intellektuals seakan tidak perlu mempertanggung jawabkan ke public posisi dan dan suaranya. Pemilu 2019 ini bagi saya menjadi awal agar public perlu menuntut pertanggung jawabkan kaum intellectual yang secara berkali-kali dan terbuka, tanpa reservasi membual-bual mengenai Pemilu 2019. Kaum terdidik Indonesia berhutang pada rakyat Indonesia untuk tidak membiarkan rakyat dimanipulasi, ditipu habis-habisan oleh mereka yang seharusnya berperan menjaga integritas reason and science.
The Politics of Escalation
Sejak kampanye Pemilu 2019 dimulai sekitar tujuh bulan lalu, saya mengamati dengan rutin bagaimana hiruk pikuk di media termasuk social media terjadi. Mulai dari berbagai demonstrasi hingga berbagai fitnah dan hoax yang begitu banyak disebar, tidak selalu buruk namun tidak benar dan jelas mengelabui publik. Misalnya saja soal bagaimana Capres 02 saat umur 12 tahun diterima sekolah di universitas di Amerika. Entah apa maksud postingan yang beredar di face book. Mungkin untuk mencerminkan betapa pandainya 02. Ironisnya, justru biodata yang dimasukkan ke KPU menunjukkan Capres 02 saat berumur 12 tahun ya masih duduk di SMP di Victoria Institute di Kuala Lumpur dan tidak ada bukti dia pernah sekolah di universitas di Amerika. Saya tidak melihat ada upaya Tim Sukses 02 untuk mengkoreksi fakta tentang Capres 02. Banyak lagi contoh-contoh dimana kampanye dan janji-janji diobral melebihi ebay sales. Berbagai harga dijanjikan akan turun, mulai harga kebutuhan pokok hingga penciptaan lapangan kerja. Yang menjadi catatan khusus buat saya, saat ditanya bagaimana caranya menurunkan harga listrik ? Seorang yang memiliki Phd dari universitas luar negri bisa dengan gampangnya, wah ini rahasia.Saya merasa miris dan pingin ketawa sekaligus, seakan yang ditanya adalah resep membuat combro yang enak itu apa sih rahasianya !
Capres no 1 memberikan program-program kesejahteraan social dengan berbagai jaminan untuk sekolah, kesehatan, benefit dari negara yang singkat kata bisa dicerna mengaras pada negara kesejahteraan dimana negara mengambil peran untuk memfasilitaskan terjadinya keadilan social yang ada di dalam Pancasila. Ada program dan bisa dilacak hilir dan hulunya.
Politik identitas yang dimulai dari Pilkada DKI 2017 yang saya tolak dan ingatkan berkali-kali, justru menjadi semakin kental di Pemilu Presiden 2019 ini. Masa kampanye sudah membuat suasana menjadi hangat dan ini tentunya masih bisa dimaklumi sepanjang tidak menggunakan kekerasan. Namun saya sudah mencatat, bahwa akan terjadi eskalasi dan sayangnya dugaan saya menjadi benar adanya.
Saat hari H 17 April Pemilu dimulai dan mencoblosan terjadi di lebih dari 800.000 TPS tersebar di seluruh Indonesia dan bisa dikatakan berjalan cukup baik mengenali konteks besar dan serempaknya Pemilu diadakan. Saya membaca cukup banyak petugas TPS dan polisi yang karena kelelahan, fatique yang berlebihan jatuh sakit saat dan setelah Pemilu dan meninggal . Ada juga yang terluka karena kecelakaan dalam menjalankan tugas Pemilu ini. Diperkirakan lebih dari 10 orang yang meninggal dan angka ini bertambah lagi karena penghitungan suara masih berlangsung.
Eskalasi mulai terjadi saat berbagai lembaga melakukan exit pool dan juga penghitungan cepat ( quick counts) dimana pasangan 01 memimpin pendapatan suara. Kemudian dalam waktu 24 Capres 02 membuat maneuver dengan menggelar 3 x konperensi pers mengclaim dirinya mendapatkan suara lebih banyak. Tindakan ini membuat tensi melesat tinggi dikedua kubu candidate , ekskalasi politik yang mana tidak bisa diabaikan oleh rakyat, termasuk kaum intellectual Indonesia.
Tindakan Capres 02 yang mengclaim berkali-kali sebagai pemenang berdasarkan survey internal membuat Capres petahana tidak bisa mendiamkan perilaku politis yang tidak bertangung jawab ini. Capres petahana, 01 setelah mendapat ucapan selamat lebih dari 21 pimipinan negara dan melihat pemasukan seluruh data quick counts yg dilakukan oleh lembaga-lembaga survey yang kredible akhirnya membuat konperensi pers dimana mensyukuri hasil quick counts dan meminta agar menunggu hasil keputusan penghitungan rekapitulasi KPU 22 May. Memang standardnya, KPU lah yang akan mengumumkan berita acara pememnang Pemilu 2019.
Bisa dilihat gesture Capres 01 yang mencoba menurunkan tensi politik yang bereksalasi karena tindakan Capres 02 dan tim suksesnya. Bahkan hingga mengirimkan utusan /envoy seorang pensiunan jendral yang juga mengenal Capres 02. Bapak Luhut Binsar Panjaitan dijadwalkan bertemu, makan siang bersama dengan Prabowo , namun hal inipun gagal dilakukan dan perlu dischedulkan kembali. Mengapa Prabowo menghindar bertemu ? Seakan buying times.
Dalam politics, time is everything dan eskalasi yang semakin tidak jelas ini karena menimbulkan keresahan di masyarakat luas, kehebohan di social media dan juga merusak tradisi demokrasi Indonesia pasca Orde Baru yang umurnya memasuki 20 tahun ini jika dihitung dari 1999, sangatlah penting disikapi oleh kaum intellectual Indonesia.
Saya berharap TNI tidak perlu step in ,muncul memediasi antara hasil quick counts yang memenangkan Capres 01 dan claim kemenangan sepihak Capres 02 tapa bukti. Koalisi 02 jelas mulai gamang dan ini tentu beralasan karena memang tindakan 02 mengarah pada tindakan inskonstitusional, berlawanan dengan konstitusi Republik Indonesia.
Jangan biarkan ekskalasi tensi politik tumpah luber ke jalanan dan menjadi set back bagi demokrasi di Indonesia. Apalagi jika kemudian tensi ini memberikan energy untuk timbulnya kontrontasi antara pendukung kedua kubu kandidat. Saatnya kaum intellectual muncul dan berbicara dengan kepala dingin dan bermakna, berdasarkan nurani yang didukung oleh rasio dan bisa dipertanggung jawabkan,dengan integritas. Karena yang dibutuhkan mayoritas rakyat Indonesia adalah kehidupan yang tenang dan karenanya rekonsiliasi nasional sudah saatnya diletakkan segera dalam agenda bangsa besar ini.