JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tengah disorot karena menimbulkan beberapa masalah baru termasuk kasus keracunan yang terjadi di sejumlah daerah. Program MBG ini merupakan gagasan Presiden Prabowo dan sudah berjalan selama 10 bulan. Program MBG bertujuan meningkatkan dan memperbaiki kualitas gizi anak Indonesia terutama anak yang berasal dari golongan yang kurang.
Namun kenyataannya justru lain, makanan kurang variatif dan kurang memenuhi gizi.
Guru Besar Departemen Manajemen FEB UGM (Universitas Gadjah Mada) Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A berpendapat, belajar dari pengalaman di negara maju, Makan Bergizi Gratis atau MBG sejatinya merupakan ide yang bagus. Program ini sesungguhnya memberikan banyak manfaat, pertama setidaknya bertujuan memperbaiki gizi anak di usia pertumbuhan melalui asupan yang cukup.
Manfaat program MBG
Kedua, membangun kohesi sosial karena anak mendapatkan makanan yang sama, dan harapannya akan tumbuh empati dan kepedulian sosial.
Ketiga, melalui program ini memberi pelajaran anak berperilaku tertib saat mengantri mengambil makanan, dan membersihkan makanan.
Keempat, anak tumbuh sikap bertanggung jawab untuk mengambil secukupnya, dan bertanggung jawab untuk tidak membuang-buang makanan.
Kelima, memberikan multiplier effect pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan, dan keenam, terciptanya lapangan kerja serta mencegah urbanisasi.
“Tantangannya di implementasi, persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan muncul,” ujar Agus Sartono dikutip dari laman UGM, Senin (6/10/2025).
Program MBG Dilaksanakan Melalui Kantin Sekolah
Kepada Bergelora.com.di Jakarta dilaporkan, Agus Sartono berpandangan ada baiknya daerah-daerah diberikan kewenangan sesuai undang-undang, dan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya melakukan monitoring.
Dengan cara dan pemberdayaan Pemerintahan Daerah, menurutnya, akan menjamin kemudahan dalam koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik.
Belajar dari praktik baik negara maju, kata Agus Sartono, program MBG dilaksanakan melalui kantin sekolah. Cara ini, disebutnya, lebih baik dibanding dengan cara atau sistem sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini.
Melalui kantin sekolah maka makanan akan tersaji fresh, dan menghindari makanan basi. Dengan skala relatif kecil dan lebih terkontrol mestinya cara-cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia.
“Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” urainya.
Jika itu diterapkan, lanjut Agus, kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah sehingga tercipta sirkulasi ekonomi yang baik.
Dengan demikian sekolah mendapatkan dana utuh sebesar 15 ribu rupiah per porsi, bukan seperti yang terjadi selama ini hanya sekitar Rp 7.000 per porsi.
Alternatif lain, dana bisa diberikan secara tunai kepada siswa, dan melibatkan orangtua untuk membelanjakan dan menyiapkan bekal kepada putra putrinya. Dengan cara seperti ini maka Badan Gizi Nasional hanya perlu menyusun panduan teknis dan melakukan pengawasan.
Begitu pula guru di sekolah, jika ada anak yang tidak membawa bekal bisa memberi peringatan. Baca juga:
“Jika sampai satu bulan tidak membawa bisa memanggil orang tuanya, dan jika masih terus bisa dihentikan. Cara seperti ini saya kira tidak saja menanggulangi praktek pemburu rente, tetapi juga dipercaya akan lebih efektif. Dana dapat ditransfer langsung ke siswa setiap bulan seperti halnya KIP, atau seperti penyaluran BOS,” tuturnya.
Kasus Keracunan MBG karena Panjangnya Rantai Penyaluran
Agus menuturkan akhir-akhir ini persoalan keracunan MBG jika dirunut sebagai akibat panjangnya rantai penyaluran. Penyaluran MBG melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) dinilai hanya menguntungkan pengusaha besar yang mampu terlibat dalam program mulia ini.
Baginya, sungguh menyedihkan jika unit cost Rp 15.000 per porsi per anak pada akhirnya tinggal Rp 7.000 saja.
Program Makan Bergizi Gratis pun bisa menjadi “Makar Bergiri Gratis” bagi pengusaha besar karena mereka mendapat keuntungan yang besar secara “gratis”.
Dia menambahkan, jika margin per porsi diambil Rp 2.000 dan satu SPG melayani Rp 3.000 porsi, maka per bulan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 150 juta atau Rp 1,8 miliar per tahun.
Secara nasional margin Rp 2.000 dari Rp 15.000 atau sekitar 13 persen merupakan suatu jumlah yang besar. Karenanya implementasi MBG dengan memberikan tunai kepada siswa akan mampu menekan dan menghilangkan kebocoran/keuntungan pemburu rente sebesar Rp 33,3 triliun .
“Saya kira masih belum terlambat, dan ajakan saya mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. Jadikan MBG benar-benar sebagai Makan Bergizi Gratis bagi siswa,” pungkasnya. (Enrico N. Abdielli)