Oleh: Much. Fatchurochman
MENARIK juga, semangkin menghangat suhu politik memasuki masa kampanye menuju Pemilihan Umum serentak, pemilihan calon legislatif dan perwakilan daerah hingga pasangan capres-cawapres.
Riak-riak dan dinamika penyelenggaraan pemilihan sudah terasa sejak masa kampanye resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum, 28 November 2023. Waktu yang pendek sebenarnya untuk menuju ke proses elektoral, proses pemungutan suara, Rabu Legi, 14 Pebruari 2024. Tak apa, sudah disepakati bersama agar semua bisa memanfaatkan waktu tersedia secara efektif.
Jalan berliku menuju TPS, bagi para caleg juga calon wakil daerah hingga pasangan capres- cawapres secara umum tersedia, mulus. Hanya ada beberapa ruas atau jalan pintas yang dipilih, digunakan justru membuat repot. Aneka kendaraan (partai politik) sudah dihidupkan mesinnya. Para penumpang (caleg) berinteraksi langsung dengan beragam kendaraan hingga pemilih hari hari ini, tengah menuju satu titik kumpul, di TPS, tempat pemungutan suara.
Maka jangan kaget, jika di kanan dan kiri jalan menuju TPS, sapaan, senyuman, pose ter ganteng, tercantik, terpelajar, termuda, yang paling bijak dan paling peduli dan lain sebagainya menjadi atribusi melekat di baliho, rontek, spanduk dan aneka bidang media luar ruang.
Ada yang tampil gagah menjaga pohon besar pinggir jalan, ada yang ramah tebar senyum agar diingat rakyat, diingat pemilih. Tak hanya di kota kota besar, tiap sudut wilayah nyaris tak ada yang sepi dari beragam pesan visual luar ruang. Bisa disebut, inilah masa “pesta visual” kirim pesan publik secara massif, tentu saja dengan kata-kata agitatif, sampai pelosok desa.
Di luar bingkai visual offline, kemasan pesan dibungkus dalam narasi dramatik, serba selintas di berbagai kanal media sosial. Sapaan kepada publik, via gadget, via telepon pintar diproduksi. Bingkai kecil, yang dengan sekali sentuh saja diyakini mampu beri dampak konstelasi kuasa kelak di kemudian hari. Sampai hari ini, tiap detik kira kira berapa foto, meme, status, video politik yang diproduksi tentu terekam mesin database, cloud, bersama sama urusan hasil survey popularitas rutin mudah didapatkan publik.
Nah, bicara pesan politik terkini, ada nama AA yang tiba-tiba melejit bahkan dicari netijen untuk mempertanggung jawaban ucapan yang disampaikan dalam video pendek. Isinya, kritik sikap mahasiswa dan politik dinasti. Kenapa mahasiswa tidak persoalkan DIY, yang disebutkan jelas jelas ada politik dinasti. Kok ya, yang disebut adalah urusan “Republik Rasa Kerajaan”. Sejatinya istilah ini melekat ke sosok Pak Lurah, yang disindir oleh Gus Mus dalam satu puisi pantun-nya.
Cara penyampaian AA datar saja, tanpa tone bersemangat, khas seorang dosen. Kali ini, dosen yang memilih jalan menjadi politisi malah terperosok sendiri karena ujaran yang disampaikan. Repotnya salah bicara akademisi, efeknya ke mana-mana.
Berbicara di depan publik, ada beragam tujuan, apakah sekedar berpidato, beri sambutan atau sosialisasi program, sharing gagasan, kutbah atau orasi dengan pesan yang jelas, berkampanye lakukan agitasi propaganda.
Bagi wakil rakyat, calon pemimpin negeri, tentu ada syarat mutlak kecakapan, integritas seseorang bisa jadi modal yang baik guna membangun rasa percaya, trust. Rumusan ini, sangat dasar sebenarnya, mudah diingat, meski bagi sebagian orang (parpol) sulit dikerjakan karena memang tak punya kemampuan dan sumber daya.
Besarnya rasa percaya publik inilah modal kuat sejatinya, meraih kemenangan mendapatkan suara terbanyak kelak kala pemilihan umum, hari pemungutan suara. Semakin banyak orang terpapar pesan, publik teredukasi dengan materi yang disampaikan, mengingat nya lalu ambil sikap pilihan.
Kasus AA, dalam urusan komunikasi politik ada sejumlah catatan penting. Sebagai akademisi lulusan universitas Florida dan lama berkarir sebagai wartawan Republika, peneliti di LP3ES dan sederet rekam jejak kerja profesional, tentu jadi bekal kuat untuk pahami apa itu berita. Nah, kali ini, entah disengaja atau tidak, AA berupaya menjangkau pemilih, simpati pemilih muda kelompok mahasiswa lewat postingan monolog via medsos. Sayang sekali, salah bicara dan tuna sejarah.
Di timeline, sesuai urutan waktu dua hari sebelumnya AA bertemu Prabowo Subianto. calon presiden dari Partai Gerindra. Ada pujian dilontarkan ke calon legislatif Partai Solidaritas dapil Jakarta Timur dan luar negeri itu.
Ternyata pesan politik untuk kritik kepada mahasiswa berkaitan politik dinasti di DIY meluas ke mana-mana. Alih alih kritik dan pendapat yang tanpa berdasarkan pemahaman lengkap, sejarah ke-Istimewaan DIY, juga konteks politik kebijakan itu melenceng jauh. Tak lama, postingan menyebar viral di medsos dan mengundang reaksi negatif.
Sri Sultan Hamengkubuwana X, Gubernur DIY yang juga Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merespon santai pernyataan dan komentar AA. Intinya boleh saja berkomentar, tapi lebih baik memahami juga konteks konstitusi. Sekaligus sampaikan isi pasal 18 B, UUD 1945.
Kalau mau, proses politik nya ya ubah dulu undang-undangnya, begitu pesan Sultan Hamengkubuwana X. Jawaban halus, clear dan sejuk, seperti biasanya.
Reaksi keras disampaikan oleh Paguyuban Masyarakat Ngayogyakarta Untuk Sinambungan Keistimewaan (Paman Usman). Mengenakan baju lurik, puluhan orang massa datangi kantor DPW PSI DIY, yang lokasinya tak jauh dari Balaikota Yogyakarta. Intinya, massa aksi protes atas ujaran AA, yang tanpa dasar sejarah keistimewaan DIY.
Apakah model ujaran AA adalah bagian spin doctor, yang bertujuan bangun opini di media?
Bisa saja, sebab dengan kapasitasnya dan rekam jejaknya beragam atribusi akademis yang melekat, syarat kecakapan sebagai pembentuk opini publik dimiliki.
Sayangnya, yang dihadirkan adalah potret buram komunikasi politik Partai Solidaritas Indonesia, dalam upaya menjangkau pemilih. Ekspresi reaksi warga Yogyakarta, yang tampak di permukaan, rayuan visual begitu massif dari para caleg-caleg PSI, runtuh oleh aksi dan ujaran AA.
Rasa percaya mahal harganya. Membangun rasa percaya butuh waktu karena tak mungkin serba instan tapi berasal dari “pengalaman hidup bersama”. Apalagi urusan politik kekuasan.
Akademisi yang jadi politisi tanpa berikan solusi, apapun, rasanya ya sepantasnya tak perlu diberikan kepercayaan.
Mudah dan cepat bicara di depan kamera, mudah juga share raih popularitas lewat medsos. Pertanyaan nya, apakah rakyat Indonesia suka dengan jalan pintas aneka urusan? Jawaban detailnya, bisa saja diuraikan panjang lebar dalam beragam tulisan.
Jawaban pendeknya, mari ke TPS, tempat pemungutan suara ya, bukan TPS lain yang tengah bermasalah bagi perkotaan di Indonesia.
Berikan suara pilihan ke wakil rakyat dan pasangan pemimpin yang bisa dipercaya. Politisi sampah, abaikan saja.
*)Penulis Much. Fatchurochman, budayawan, wartawan freelance