DENPASAR- Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mewajibkan seluruh produk ikan kaleng berlabel SNI (Standar Nasional Indonesia) pada tahun 2015 mendatang. Ini diterapkan guna menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 serta untuk melihat bagaimana kesiapan industri pengalengan ikan Indonesia.
“Kedepan, diharapkan semua industri pengalengan ikan di Indonesia sudah bisa mendapatkan sertifikat penggunaan tanda SNI dari Lembaga Sertifikasi Produk Hasil Perikanan untuk dibubuhkan dalam kemasannya,” tegas Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (HP2HK) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut P Hutagalung kepada pers, Senin (29/9), di Sanur-Bali, seusai pembukaan Seminar Penerapan SNI.
Dia menyebutkan, saat ini, SNI produk ikan kaleng diperikanan berjumlah 8 SNI antara lain sotong kaleng, bekicot kaleng, cumi kaleng, kerang kaleng, udang kaleng, daging rajungan sterilisasi kaleng, daging rajungan pasteurisasi kaleng dan ikan dalam kemasan kaleng hasil sterilisasi. “Rencananya satu SNI yaitu SNI No 2712:2013 ikan dalam kemasan kaleng hasil sterilisasi yang akan diberlakukan wajib tahun depan.
Adanya perdagangan bebas ASEAN tahun 2015 akan mendorong terjadinya persaingan yang ketat. Sehubungan dengan itu, maka perlu diterapkan SNI untuk produk ikan kaleng menjadi mandatory guna memenangkan persaingan pasar bebas ASEAN,” paparnya.
Sekarang ini, imbuh Saut, sekitar 48 industri pengalengan ikan di Indonesia yang tersebar di daerah Pengambengan Bali, Banyuwangi, Pasuruan dan Bitung merupakan industri yang sudah mampu menerapkan SNI, sehingga langkah kebijakan pemberlakukan SNI wajib sudah harus dilakukan. Tujuan utama adalah untuk mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan produk ikan kaleng dari negara-negara ASEAN lainnya. Diharapkan produk ikan kaleng dalam negeri yang menerapkan SNI bisa bersaing dengan produk ikan kaleng impor yang juga harus memenuhi SNI.
Selanjutnya, ucap Saut, untuk kelancaran program pemberlakukan SNI wajib ini, keberadaan Lembaga Sertifikasi Produk Hasil Perikanan sebagai infrastruktur mutu yang telah dimiliki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka menilai kesesuaian (conformity assessment) terhadap SNI sangat penting dan perlu didukung.
Lembaga Sertifikasi Produk Hasil Perikanan yaitu Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan, menurutnya, saat ini telah mendapat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional dengan Nomor LS-Pr-040-IDN.
Saut menegaskan, penerapan SNI pada produk ikan kaleng menghadapi MEA 2015 menjadi sangat penting sekarang ini, untuk melindungi produk ikan kaleng dalam negeri dan mendorong daya saingnya tidak hanya di pasar ASEAN, namun juga di pasar regional dan internasional. “Penerapan SNI akan meningkatkan mutu dan keamanaan produk ikan kaleng yang implikasinya akan meningkatkan kepercayaan konsumen secara global.
Industri pengalengan ikan adalah mainstream industri perikanan dunia yang terbukti memberikan multiflier effect yang besar bagi kondisi sosio-ekonomi masyarakat dan negara yang menempatkan komoditas ini sebagai pilihan industri andalannya,” tuturnya.
Ia menambahkan, Indonesia sebagai negara bahari dan dukungan potensi SDI, sangatlah pantas untuk mengembangkan kekuatan industri pengalengan ikan sebagai prioritasnya karena beberapa hal, antara lain menjadi penjamin pasar produksi nelayan, penyedia lapangan kerja yang besar, pemasok gizi masyarakat dan pangan kemasan, penghasil pajak/PNBP/PAD, penghasil devisa, prime mover supporting ekonomi terkait, penguat industri retail dan pembangun prestise bangsa.
Kekuatan yang besar dari industri pengalengan ikan, kata Saut, sudah terbukti mampu menjadi andalan ekonomi daerah seperti Bitung dan Banyuwangi di Indonesia dan Thailand sebagai negara yang menjadi pemain terbesar ikan kaleng dunia, meskipun tidak memiliki SDI yang mendukung. Di Indonesia, industri pengalengan ikan dimulai sekitar tahun 70-an di Muncar, Banyuwangi, terus berkembang di Jembrana Bali, Bitung, Medan dan lainnya. Hingga saat ini terdapat 40 pabrik yang aktif mengolah tuna/cakalang, mackarel dan sardine. Kapasitas terpasang untuk tuna kaleng sebesar 350 ribu ton/tahun, tapi baru terealisasi 45%, sedangkan untuk sardine/mackarel sebesar 250 ton/tahun dengan realisasi saat ini hanya 40-50%, terutama akibat kelangkaan ikan lemuru (Sardinella) di Selat Bali sejak tahun 2010.
Saat ini sebagian besar bahan bakunya terpaksa diimpor dari Cina, India dan Pakistan. Seluruh Industri pengalengan ikan di Indonesia telah menerapkan standar mutu dunia, karena telah memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), HACCP dan Halal yang sudah wajib internal sejak tahun 1997 dan saat ini RUU Halal wajib sudah disahkan DPR RI. Pada prinsipnya kondisi industri pengalengan ikan sudah siap menghadapi era globalisasi khususnya MEA 2015. (Made Jaya)