JAKARTA- Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabaikan laporan kecurangan secara sistimatis terstruktur dan masif dalam pemilu presiden telah menciderai azas demokrasi dalam Pancasila dan hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Ketua Front Pelopor, Rachmawati Soekarnoputri kepada Bergelora.com Senin (25/8) di Jakarta.
“Saya ingatkan sekali lagi bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi pancasila seperti pada Pancasila sila ke empat yang masih tercantum dalam mukadimah Undang-undang Dasar 1945. Putusan 9 hakim MK itu justru menjauhi demokrasi Pancasila karena mengesahkan kecurangan-kecurangan dalam Pilpres,” tegasnya.
Dengan demikian Rachmawati memastikan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah alat yang dipakai untuk menginjak-injak Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, bukan untuk menegakkan konstitusi.
“Memang MK adalah perangkat yang dipaksakan dalam sistim bernegara di Indonesia pada saat Indonesia terjerat hutang pada IMF dan Bank Dunia pada penghujung Orde Baru. Yang kemudian disahkan dalam amandemen UUD 1945 di Jaman Megawati Soekarnoputri,” jelasnya.
Untuk itu menurutnya, rakyat harus mendesak DPR agar meninjau ulang keberadaan Undang-undang Mahkamah Konstitusi.
“Bahkan rakyat harus segera bangkit berjuang untuk kembali ke Undang-undang dasar 1945 yang asli untuk mengakhiri rantai manipulasi dan penindasan Imperialisme di Indonesia,” tegasnya.
Pansus MK
DPR menurutnya, sebagai wakil-wakil rakyat harus segera menyiapkan Panitia Khusus (Pansus) untuk memeriksa penyelewangan Mahkamah Konstitusi terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, agar dapat menata kembali demokrasi Indonesia hanya berlandaskan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang asli.
“Ada 100 juta rakyat Indonesia yang terdiri dari 70 juta pemilih dan 30-an juta rakyat yang tidak memilih karena meragukan sistem demokrasi liberal yang hak konstitusionalnya dilanggar oleh putusan mahkamah konstitusi. Mereka semua secara pasti menolak keputusan MK. DPR harus memperjuangkan hak mereka,” tegasnya.
Menurutnya Pansus MK ini pentingan untuk membuka wawasan masyarakat bahwa pemilihan umum itu merupakan kedaulatan rakyat, bukan ditentukan oleh sebuah lembaga yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD’45.
“DPR, harus membuktikan dirinya berdasarkan Pancasila dan benar-benar mewakili aspirasi rakyat yang berdaulat dan jangan menjadi tukang stempel kepentingan imperialis,” tegasnya.
Pidato Bung Karno
Dibawah ini adalah pidato Bung Karno 1 Juni 1945 sebagai “Kaitjoo” (ketua) dari “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai”, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang menjadi azas demokrasi dalam Pancasila.
“Kemudian, apakah dasar yang ke 3 ? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, – maaf beribu-ribu maaf keislaman saya jauh belum sempurna, – tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan.
Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan membicarakan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan Perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam.
Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja.
Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini beberapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun yang terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebat nya.
Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap Letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian agar supaya sebagian besar dari pada utusan -utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, – fair flay! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam Negara Nippon tidak ada penggeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita terlalu bergosok, seakan-akan menumbuk rnembersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!” . (Web Warouw)