Oleh : Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto *
“Bintang kehormatan sejati tidak tergantung pada seragam yang dikenakan, tetapi pada pengorbanan yang tidak terlihat. Di laut, semua korps berdiri sejajar di bawah satu langit, berjuang untuk satu kehormatan: Jalesveva Jayamahe — Di Laut Kita Jaya.”
1. Delapan Dekade TNI: Saatnya Melihat ke Dalam
Delapan puluh tahun sudah Tentara Nasional Indonesia berdiri sebagai perisai kedaulatan bangsa. Dalam kurun waktu itu, TNI telah melalui berbagai ujian zaman — dari perang kemerdekaan, konfrontasi, hingga operasi internasional.
Namun, pada usia yang matang ini, muncul satu kebutuhan yang lebih dalam dari sekadar modernisasi alutsista: introspeksi moral dan institusional.
TNI, khususnya Angkatan Laut, harus berani bercermin terhadap potensi ketimpangan dan ketidakadilan struktural di dalam tubuhnya sendiri, yang perlahan tapi pasti bisa menggerus nilai profesionalisme dan kebersamaan antar-korps.

2. Struktur Angkatan Laut dan Prinsip Kesetaraan
TNI Angkatan Laut dibangun atas sinergi lima korps utama yang dididik di Akademi Angkatan Laut, yang berbeda fungsi tetapi satu tujuan:
- Korps Pelaut – komando, navigasi, dan operasi laut.
- Korps Teknik – penggerak sistem dan mesin kapal.
- Korps Elektronika – penjaga radar, sonar, komunikasi, dan senjata.
- Korps Suplai – penopang logistik dan kesejahteraan prajurit.
- Korps Marinir – pasukan pendarat di pantai lawan.
Kelima korps ini bekerja sebagai satu kesatuan organik di atas kapal perang. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah; semua sama pentingnya.

Kapal tidak akan bergerak bila satu korps tidak bekerja, dan operasi laut tidak akan berhasil tanpa kolaborasi sempurna antar-korps.
Laut adalah ruang kesetaraan. Ia tidak memihak, dan ia tidak menoleransi ketimpangan. Kesetaraan Penghargaan Antar Korps: Fondasi Keadilan dan Moral TNI AL
Sinergi Korps: Fondasi Kekuatan Kapal Perang
TNI Angkatan Laut memiliki lima korps utama — Korps Pelaut, Korps Teknik, Korps Elektronika, Korps Suplai, dan Korps Marinir. Setiap korps memiliki peran yang berbeda namun saling bergantung, seperti tubuh manusia yang tidak bisa hidup tanpa salah satu organ vitalnya. Dalam konteks operasi laut, sinergi antar korps bukan hanya penting, melainkan mutlak.
Korps Pelaut – Pengendali Arah dan Jiwa Kapal
Korps Pelaut adalah “jiwa” kapal perang. Mereka bertugas mengemudikan kapal, menavigasi jalur, dan mengatur taktik tempur di laut. Tanpa pelaut, kapal tidak memiliki arah, dan tanpa arah, seluruh sistem kapal menjadi tidak berarti. Mereka ibarat nahkoda dari sistem kompleks yang menghubungkan semua fungsi di atas kapal agar berjalan serentak.
Korps Teknik – Penggerak Kehidupan Kapal
Korps Teknik adalah jantung kapal. Mesin utama, generator listrik, sistem pendingin, dan seluruh fasilitas mekanik berada di tangan mereka. Satu kesalahan kecil di ruang mesin dapat menghentikan seluruh operasi kapal, baik di tengah laut maupun dalam peperangan. Ketika mereka bekerja dalam kesunyian ruang mesin yang panas, sesungguhnya mereka sedang memastikan kapal tetap “bernapas”.

Korps Elektronika – Mata dan Telinga Kapal
Di era modern, peperangan laut adalah perang teknologi. Korps Elektronika mengoperasikan radar, sonar, komunikasi, dan sistem kendali senjata. Mereka memastikan kapal bisa “melihat musuh” bahkan di balik cakrawala dan “mendengar ancaman” jauh sebelum terlihat. Tanpa mereka, kapal ibarat buta dan tuli di tengah samudra.
Korps Suplai – Penjaga Keseimbangan Logistik dan Moral
Korps Suplai menjaga agar rantai logistik dan moral pasukan tetap utuh. Mereka memastikan bahan bakar, amunisi, makanan, dan kebutuhan hidup personel tersedia dengan disiplin tinggi. Tidak ada operasi laut yang bertahan lama tanpa dukungan suplai yang andal. Korps ini adalah nadi logistik dan kesejahteraan, yang diam- diam memastikan kapal tetap siap tempur.
Korps Marinir – Taring yang Mendarat
Korps Marinir adalah komponen ofensif darat dari kekuatan laut. Mereka mungkin hanya “penumpang kapal” saat berlayar, tetapi begitu didaratkan, mereka menjadi “taring” yang menusuk jantung musuh. Kapal membawa mereka menuju pantai lawan, dan setelah itu, tugas kapal selesai sementara marinir memulai babak baru dari peperangan. Hubungan ini adalah simbol sempurna dari koordinasi antardimensi: laut dan darat.
Perang Laut adalah Harmoni dalam Gelombang
Kapal perang TNI AL bukan hanya sekadar mesin baja, tetapi simfoni manusia dan teknologi yang digerakkan oleh lima korps dalam satu irama. Tidak ada korps yang lebih besar dari yang lain, karena kekuatan sesungguhnya terletak pada sinergi dan saling ketergantungan.
Korps Pelaut menuntun arah, Teknik memberi tenaga, Elektronika membuka mata, Suplai menjaga hidup, dan Marinir mempertahankan kehormatan bangsa di garis depan. Jika satu saja tidak bekerja, kapal bukan lagi kekuatan tempur—hanya rangka baja yang mengapung di laut luas tanpa makna.

“Laut tidak bisa ditaklukkan oleh kekuatan satu korps, tetapi hanya oleh kerja sama yang utuh antara mereka yang menjaga, menggerakkan, dan mempertahankan kapal—bersama dalam satu semboyan: Jalesveva Jayamahe — Di Laut Kita Jaya.”
Keadilan di Laut: Jangan Ada Korps yang Jadi Anak Emas
Keadilan dalam Struktur Kekuatan
Kapal perang adalah representasi miniatur dari negara. Di dalamnya, korps pelaut mengatur arah, teknik memastikan tenaga, elektronika menjaga kesadaran situasional, suplai memelihara daya tahan, dan marinir menjadi ujung tombak di darat. Bila satu korps dianggap lebih penting dari yang lain, maka keseimbangan moral di kapal akan terguncang.
Dalam militer, keadilan bukan hanya soal aturan, tetapi soal kepercayaan. Begitu satu korps merasa diperlakukan lebih rendah atau diabaikan, keutuhan disiplin dan esprit de corps mulai retak. Kapal perang yang kehilangan harmoni antar korps ibarat kapal tanpa kompas—berlayar, tapi tanpa arah.
Bahaya “Anak Emas” dalam Institusi Militer
Ketika satu korps dijadikan “anak emas”, baik karena faktor politik, figur publik, atau pandangan yang tidak proporsional, maka timbul kecemburuan struktural. Hal ini berbahaya karena TNI AL bekerja dalam sistem hierarki tertutup yang sangat bergantung pada solidaritas horizontal dan vertikal.

Fenomena seperti ini menciptakan dua bahaya besar:
- Bahaya pertama, adalah rusaknya profesionalisme. Anggota korps lain akan merasa kontribusinya tidak dihargai dan semangat pengabdian akan menurun.
- Bahaya kedua, adalah terjadinya distorsi nilai. Bila penghargaan diberikan bukan berdasarkan prestasi, tetapi karena kedekatan atau citra, maka lahir budaya “simbolisme kehormatan”, bukan “substansi pengabdian”.
Di dunia militer, itu bisa menjadi bom waktu moral, karena setiap penghargaan adalah simbol nilai tertinggi: loyalitas, keberanian, dan pengorbanan.
Ukuran Penghargaan Harus Objektif dan Terukur
Bintang kehormatan atau tanda jasa seharusnya tidak diberikan karena seseorang populer atau memiliki jabatan tertentu, tetapi karena telah memberi kontribusi luar biasa terhadap kekuatan dan kehormatan Angkatan Laut.
Ukuran itu seharusnya meliputi:
- Dedikasi dalam operasi laut atau pertempuran nyata;
- Inovasi yang meningkatkan kemampuan tempur atau teknologi;
- Peran nyata dalam pendidikan, logistik, atau kesejahteraan prajurit;
- Kepemimpinan yang melahirkan generasi unggul, bukan sekadar posisi administratif.
Jika ukuran ini tidak dijaga, maka pemberian penghargaan akan kehilangan maknanya, menjadi sekadar formalitas atau bahkan alat politik.
Bintang kehormatan tanpa ukuran adalah bukan tanda jasa, melainkan tanda kelalaian sistem.

Keadilan Penghargaan sebagai Cermin Keadilan Negara
TNI AL adalah miniatur negara di lautan. Bila di dalamnya ada ketimpangan penghargaan, maka itu mencerminkan bagaimana negara menilai keadilan dalam lingkup lebih luas. Negara yang adil adalah negara yang menilai peran bukan dari tampilan, tetapi dari kontribusi nyata.
Karena itu, Pelaut yang mengemudikan kapal di badai, teknisi yang menjaga mesin tetap hidup di bawah dek tekanan tinggi, ahli elektronika yang menjaga radar tetap hidup di malam gelap, petugas suplai yang memastikan logistik tiba di tengah ombak, dan Marinir yang mempertaruhkan nyawa di pantai musuh—semuanya sama pentingnya. Mereka hanya berbeda fungsi, bukan derajat.
Marinir: Pasukan Pendarat, Bukan Armada Mandiri
Tidak ada yang salah dengan Korps Marinir. Mereka adalah prajurit garis depan, ujung tombak yang membawa kehormatan bangsa di pantai musuh. Namun, ketika struktur organisasi memungkinkan satu korps menjadi dominan secara simbolik dan struktural, sedangkan korps lain — yang secara sistemik menopang kapal dan armada — tidak memperoleh pengakuan seimbang, maka TNI AL kehilangan keseimbangan alaminya.
Keadilan struktural bukan soal iri atau ambisi. Ini soal menjaga roh profesionalisme Angkatan Laut, yang sejak dulu hidup dalam semboyan “One Ship, One Team, One Fight.”

Kalimat ini tidak pernah menyebut siapa yang paling penting, karena laut mengajarkan: yang tidak bekerja sama akan tenggelam bersama-sama.
Dalam konteks operasional, Marinir bukan pasukan yang berdiri sendiri seperti infanteri di Angkatan Darat. Mereka adalah komponen operasi laut gabungan (amphibious forces), yang diangkut dan didukung oleh armada kapal perang TNI AL.
Artinya, kapal adalah rumah bagi Marinir, dan tanpa kapal, Marinir tidak bisa mendarat.Oleh karena itu:
- Jumlah pasukan Marinir tidak boleh melebihi kapasitas kapal pengangkut yang tersedia, karena hal itu tidak rasional secara militer.
- Bila jumlahnya terlalu sedikit, maka pangkat struktural bintang tiga (Letnan Jenderal) menjadi tidak proporsional terhadap ruang lingkup tanggung jawabnya.
Dalam doktrin militer, pangkat harus seimbang dengan fungsi dan beban komando.
Marinir adalah kekuatan tempur penting, tetapi bukan komando independen yang memerlukan jabatan setingkat bintang tiga.
Struktur bintang dua (Mayor Jenderal) sudah proporsional dan selaras dengan sistem armada laut.
Ketimpangan yang Muncul di Tengah Harmoni Laut
Belakangan ini, muncul realitas yang membuat banyak prajurit laut mengernyitkan dahi — Korps Marinir kini dapat mencapai pangkat bintang tiga struktural, sementara perwira korps pelaut yang sudah lama purna tugas justru memperoleh bintang kehormatan.
Sekilas ini tampak wajar: penghargaan bagi yang berjasa, atau kenaikan bagi yang berprestasi. Namun, di balik simbol-simbol kehormatan itu tersembunyi pertanyaan mendasar: apa ukuran sebenarnya dari penghargaan itu?
Karena dalam tradisi Angkatan Laut, tidak ada keberhasilan yang lahir dari satu korps saja. Kapal tidak akan berlayar tanpa sinergi antara pelaut, teknisi, elektronika, suplai, dan marinir. Semua hidup bersama di ruang sempit, mengandalkan satu sama lain bukan hanya untuk menang, tapi untuk bertahan hidup di tengah laut yang tidak bersahabat.
Jika satu korps mulai mendapat ruang lebih luas, atau satu perwira diberi bintang tanpa dasar kinerja yang jelas, maka pondasi moral keadilan dalam TNI AL mulai retak.
Bintang Kehormatan dan Krisis Ukuran
Penghargaan militer — terutama bintang kehormatan — adalah simbol tertinggi pengabdian.
Namun simbol kehilangan maknanya jika ukurannya kabur.
Bintang seharusnya diberikan kepada mereka yang mendedikasikan diri dalam operasi, inovasi, atau kepemimpinan nyata yang memperkuat Angkatan Laut.
Ketika penghargaan diberikan kepada yang sudah purna tanpa kontribusi aktif, atau karena alasan sosial, maka kehormatan itu tidak lagi memuliakan sistem, melainkan menyakiti mereka yang masih berjuang di laut.
Bintang kehormatan tanpa ukuran bukan lagi tanda jasa, tetapi tanda kemunduran nilai.
Ketimpangan Pangkat Antar-Korps: Ketika Laut Tidak Lagi Seimbang
Kenyataan hari ini menunjukkan ketimpangan yang nyata:
- Korps Marinir dapat mencapai pangkat bintang tiga struktural (Letnan Jenderal).
- Korps Teknik, Elektronika, dan Suplai — yang menjaga hidupnya kapal — hanya bisa maksimal bintang dua (Laksamana Muda).
- Dan kini muncul perwira Korps Pelaut yang sudah pensiun tetapi diberikan bintang empat kehormatan.
Inilah anomali struktural yang berpotensi merusak sistem meritokrasi TNI AL.
Jika Marinir naik ke bintang tiga karena alasan politis atau simbolik, dan Pelaut purna tugas diberi bintang empat karena jasa masa lalu, maka seluruh sistem penghargaan dan karier kehilangan arah kompasnya.
Pangkat yang melampaui struktur adalah badai sunyi yang perlahan meruntuhkan disiplin organisasi.
Kerikil yang Bisa Jadi Batu Karang
Fenomena seperti ini — kecil, lembut, bahkan nyaris tak terlihat — adalah kerikil kecil di dalam sepatu besar bernama TNI AL.
Tetapi bila dibiarkan, ia akan tumbuh menjadi batu karang yang merobek lambung kapal dari dalam.
Karena masalah di laut tidak pernah datang dari gelombang besar semata, tetapi dari retakan kecil yang tidak segera diperbaiki.
TNI AL telah membuktikan diri selama delapan puluh tahun sebagai kekuatan yang tangguh, disiplin, dan berkarakter. Namun tantangan terbesar bukan di medan tempur, melainkan di dalam tubuhnya sendiri: menjaga keadilan di antara korps.
Dampak Moral dan Kelembagaan
Ketimpangan ini membawa dampak berlapis bagi TNI AL:
1. Disorientasi hierarki
Ketika penghargaan tidak lagi mengikuti struktur, maka garis komando menjadi kabur.
Bagaimana mungkin perwira aktif menghormati sistem, jika di luar sistem ada yang berpangkat lebih tinggi tanpa jabatan?
2. Erosi moral antar-korps
Korps Teknik, Elektronika, dan Suplai — yang bekerja siang malam di ruang mesin, ruang radar, dan dapur kapal — akan merasa pengorbanannya tidak dihargai.
3. Distorsi budaya meritokrasi
Kapal laut adalah ruang meritokrasi sejati: siapa yang bekerja keras, dialah yang dihormati.
Bila pangkat dan bintang ditentukan bukan oleh kerja, tetapi oleh faktor lain, maka esprit de corps perlahan pudar.
4. Efek domino kelembagaan
Setelah Marinir bintang tiga dan Pelaut purna mendapat bintang empat kehormatan, bisa muncul tuntutan serupa dari korps lain.
Hasilnya: pangkat kehilangan makna, sistem penghargaan kehilangan kredibilitas.
Keadilan Struktural: Pilar Kekuatan TNI AL
Keadilan antar-korps bukan sekadar urusan gaji atau seragam, tetapi menyangkut jati diri profesionalisme militer.
TNI AL hanya akan kuat bila semua korps diperlakukan sejajar dalam penghargaan dan pengakuan.
Jika Marinir diberi ruang lebih tinggi karena dianggap simbol heroik, dan Pelaut pensiunan diberi bintang empat karena nostalgia, sementara korps Teknik, Elektronika, dan Suplai tidak pernah melewati bintang dua, maka TNI AL kehilangan keseimbangan moralnya.
“Kapal tidak bisa berlayar jika satu awak merasa lebih berharga dari yang lain. Di laut, semua berpangkat sama: pejuang ombak.”
Perbedaan Alam Operasi: Laut Menuntut Sinergi Total
Di darat dan udara, medan operasinya bisa dipisahkan secara fisik dan fungsional — pasukan infanteri bisa bergerak tanpa pesawat, dan pesawat bisa terbang tanpa dukungan pasukan darat. Tetapi di laut, semua fungsi melebur di satu platform yang sama: kapal.
Kapal perang bukan hanya alat transportasi, tapi sistem senjata yang kompleks di mana semua korps bekerja secara simultan. Tidak ada ruang untuk individualisme atau operasi tunggal. Di satu dek, semua saling bergantung:
- Pelaut menavigasi dan memimpin arah,
- Teknik memastikan mesin hidup,
- Elektronika menjaga komunikasi dan radar,
- Suplai memastikan energi dan logistik tetap tersedia,
- Marinir bersiap menjadi kekuatan serbu bila misi menuntut pendaratan.
Tanpa salah satu dari mereka, kapal tidak bisa bergerak, tidak bisa melihat, tidak bisa berkomunikasi, dan tidak bisa berperang.
Di laut, tidak ada “sendiri”. Semua terikat oleh satu nasib: kapal harus tetap hidup.
Di Darat dan Udara, Sistem Bisa Beroperasi Secara Parsial
TNI Angkatan Darat
Satuan darat bisa beroperasi secara modular dan otonom.
Batalyon infanteri bisa bergerak tanpa artileri, pasukan kavaleri bisa beroperasi tanpa dukungan zeni, dan logistik bisa datang belakangan. Dalam istilah taktik, darat memungkinkan sekuens operasi bertahap.
Jika satu unsur terlambat, pasukan lain masih bisa bertahan atau menyesuaikan.
TNI Angkatan Udara
Begitu pula di udara. Satu pesawat tempur bisa lepas landas sendiri, melakukan misi, lalu kembali tanpa memerlukan koordinasi langsung dengan pesawat lain. Ground crew penting, tetapi perannya selesai ketika pesawat sudah di udara. Sistemnya linear dan terpisah antara operator dan pendukung.
Namun di laut, setiap detik koordinasi terjadi dalam ruang sempit yang sama. Kesalahan satu korps langsung berdampak ke keseluruhan sistem.
Hakikat Laut: Lingkungan yang Tidak Bersahabat
Laut adalah ruang hidup yang keras dan tidak alami bagi manusia.
Tidak ada air minum, tidak ada tanah untuk berpijak, tidak ada batas visual selain cakrawala. Karena itu, keberhasilan operasi laut bukan hanya bergantung pada kemampuan tempur, tetapi pada kesatuan psikologis dan teknis antar-korps.
Di laut, kegagalan satu fungsi kecil—seperti pompa air laut yang rusak, radar yang mati, atau perhitungan suplai yang keliru—bisa berarti bencana total.
Inilah sebabnya Angkatan Laut di seluruh dunia menanamkan budaya:
“One Ship, One Team, One Fight.”
Di Laut Tidak Ada Garis Belakang
TNI AD punya garis belakang: logistik bisa dikirim, pasukan bisa mundur.
TNI AU punya pangkalan udara: pesawat bisa kembali, perbaikan bisa dilakukan.
Tapi kapal di tengah laut tidak punya “rear base.” Semua sumber daya—mekanik, logistik, medis, bahkan moral—harus diselesaikan di dalam kapal itu sendiri..Karena itu, di laut:
- Korps Teknik adalah bengkel hidup,
- Korps Elektronika adalah laboratorium berjalan,
- Korps Suplai adalah dapur dan gudang logistik terapung,
- Korps Pelaut adalah otak navigasi,
- dan Marinir adalah kekuatan ofensif yang siap diterjunkan.
Mereka tidak bisa saling menunggu. Semua harus bekerja bersamaan, karena di laut tidak ada bantuan yang datang cepat.
Kesetaraan dan Kebutuhan Sinergi
Perbedaan fundamental ini membuat TNI AL adalah matra yang paling menuntut kesetaraan dan sinergi antar-korps.
Jika di darat dan udara, keberhasilan bisa diukur per individu atau unit (misalnya satuan berhasil menembus garis atau pesawat menembak target), maka di laut keberhasilan selalu kolektif.
Kapal yang selamat bukan karena komandannya hebat saja, tetapi karena:
- teknisi menjaga mesin tidak mati,
- elektronik memastikan radar tetap aktif,
- suplai memastikan air tawar cukup,
- marinir menjaga keamanan,
- dan pelaut menjaga arah serta taktik.
Maka, penghargaan di TNI AL harus setara, karena tidak ada peran yang berdiri sendiri.
Jika satu korps dijadikan “anak emas”, maka rusaklah moral seluruh sistem, sebab kapal tidak bisa berlayar hanya dengan satu korps saja.
Laut Mengajarkan Kolektivitas
Laut adalah guru kesetaraan. Gelombang tidak membedakan siapa pelaut, teknisi, atau marinir. Kapal hanya akan tetap tegak jika semua bekerja dalam harmoni yang sama.
“Di darat, pasukan bisa berdiri sendiri. Di udara, pesawat bisa terbang sendiri. Tapi di laut, tidak ada yang bisa hidup sendiri. Laut menguji bukan kekuatan individu, tapi kekompakan seluruh jiwa dalam satu kapal.”
Itulah sebabnya di TNI Angkatan Laut, kerja sama bukan pilihan — melainkan syarat untuk tetap hidup dan berjaya.
Laut Mengajarkan Keadilan
Laut selalu menjadi guru keadilan. Ia tidak menanyakan korps apa seseorang berasal, hanya menilai siapa yang bekerja dan berkorban.
Dalam 80 tahun TNI, terutama di tubuh Angkatan Laut, keadilan antar-korps harus tetap menjadi jangkar moral.
“Bintang sejati tidak bersinar di pundak, tetapi di pengabdian. Kapal besar tidak karam karena badai dari luar, tetapi karena retak kecil di dalam lambungnya. Maka jaga keadilan itu — karena di laut, yang tidak seimbang pasti akan tenggelam.”
Keadilan adalah Energi Laut yang Sesungguhnya
Kekuatan laut bukan hanya soal kapal atau meriam, tetapi tentang rasa keadilan dan kehormatan yang hidup dalam hati setiap prajurit. Bila penghargaan dibagi dengan adil, semangat kolektif akan menguat. Namun bila ada yang dijadikan “anak emas”, kapal itu perlahan kehilangan arah moralnya.
“Bintang kehormatan sejati tidak tergantung pada seragam yang dikenakan, tetapi pada pengorbanan yang tidak terlihat. Di laut, semua korps berdiri sejajar di bawah satu langit, berjuang untuk satu kehormatan: Jalesveva Jayamahe — Di Laut Kita Jaya.”
Jalan Ke Depan: Kembalikan Kompas Keadilan
Refleksi 80 tahun TNI harus menjadi momentum korektif — bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk mengembalikan arah.
Langkah yang perlu diambil antara lain:
1. Reformasi sistem penghargaan dan pangkat kehormatan. Bintang kehormatan hanya diberikan pada yang memenuhi ukuran pengabdian strategis, bukan hubungan sosial.
2. Penataan struktur proporsional antar-korps. Setiap korps harus memiliki peluang karier yang sejajar dengan kontribusi dan risiko kerjanya.
3. Penguatan meritokrasi. Semua pangkat dan penghargaan harus dilandasi oleh prestasi nyata, bukan simbol politik atau sentimentalitas.
4. Evaluasi jabatan bintang tiga Marinir. Kaji ulang secara rasional dan efisien berdasarkan doktrin, jumlah pasukan, dan kebutuhan pertahanan laut.
Penutup: Jangan Biarkan Gelombang Keadilan Surut
Delapan puluh tahun TNI bukan hanya usia panjang, tetapi ujian kedewasaan.
TNI AL harus kembali kepada jati dirinya — bukan institusi yang memuja simbol, tetapi yang menghormati pengabdian.
“Keadilan di laut adalah keseimbangan. Kapal hanya kuat bila semua korps bekerja sejajar. di laut, tidak ada anak emas — yang ada hanya saudara seperjuangan.”
Refleksi 80 tahun TNI seharusnya menjadi momen kembali ke prinsip proporsionalitas dan keadilan di laut.
Pangkat dan penghargaan harus sejalan dengan fungsi, tanggung jawab, dan kontribusi nyata, bukan sekadar tradisi atau simbol heroik masa lalu.
Marinir memang pasukan tangguh dan disegani, tetapi mereka tidak berdiri sendiri. Mereka diangkut, dilindungi, dan didukung oleh kapal yang dijalankan oleh empat korps lainnya. Maka tidak adil bila struktur mereka lebih tinggi dari fondasi yang menopangnya.
“Di laut, tidak ada korps utama dan korps pembantu. Yang ada hanyalah satu kapal, satu komando, satu kehormatan.”
Jika keadilan struktural ini tidak dijaga, maka gelombang pertama yang menghantam TNI AL bukan datang dari luar — melainkan dari dalam tubuhnya sendiri.
Jalesveva Jayamahe – Di Laut Kita Jaya.
———–
*Penulis Laksda TNI Purn Adv Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB, Kabais TNI 2011-2013