Minggu, 5 Oktober 2025

Refleksi 80 Tahun TNI: Maju dalam Alutsista, Mundur dalam Jati Diri

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto*

“Pangkat dalam militer bukan sekadar tanda di pundak, tapi tanda pengorbanan, pengalaman, dan dedikasi.”

1. Antara Kemajuan dan Kehormatan yang Terlupakan

DELAPAN puluh tahun sudah Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdiri sebagai benteng pertahanan negara. Dari revolusi bersenjata 1945 hingga era siber dan antariksa, TNI telah bertransformasi menjadi kekuatan pertahanan yang modern dan tangguh.

Namun di balik kemajuan itu, muncul refleksi getir: apakah TNI hari ini benar-benar semakin maju, atau justru mundur dalam jati diri?

Kemajuan dalam alutsista tidak selalu berarti kemajuan dalam nilai.

Kekuatan TNI hari ini memang meningkat secara fisik — radar canggih, kapal selam, pesawat tempur, dan sistem komando gabungan sudah menjadi realitas. Tetapi, di sisi lain, jiwa Sapta Marga dan semangat “tentara rakyat” perlahan terkikis oleh simbol-simbol kekuasaan.

2. Pangkat Kehormatan: Dari Penghargaan Menjadi Objek Politisasi

Salah satu fenomena paling ironis di usia 80 tahun TNI adalah pemberian pangkat kehormatan kepada para purnawirawan yang sudah lama pensiun.

Dalam beberapa tahun terakhir, praktik ini seolah menjadi tradisi baru — pangkat kehormatan “jenderal” diberikan kepada tokoh-tokoh yang sudah tidak lagi aktif puluhan tahun.

Pertanyaannya sederhana tapi tajam: Apakah waktu mereka bertugas dulu tidak terdeteksi “kehebatannya”, ataukah memang tidak hebat, namun kini karena posisi politik diberi pangkat kehormatan?

Pangkat kehormatan sejatinya adalah penghargaan atas jasa luar biasa terhadap bangsa dan negara. Tapi ketika pangkat itu diberikan karena faktor kedekatan politik atau popularitas publik, maka yang hilang bukan hanya makna kehormatan, tetapi juga wibawa institusi militer.

3. Kekosongan Norma dan “Diskresi yang Diobral”

Secara hukum, pemberian pangkat kehormatan kepada purnawirawan lama tidak memiliki dasar normatif yang tegas.

UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI hanya mengatur pangkat bagi prajurit aktif,

sedangkan UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar dan Tanda Kehormatan hanya menyebut “kenaikan pangkat istimewa” sebagai bagian dari penghargaan negara tanpa menjelaskan konteks militer.

Artinya, ketika seorang pensiunan diberi pangkat jenderal kehormatan melalui Keputusan Presiden, hal itu berdiri di atas diskresi politik, bukan perintah hukum.

Diskresi boleh, tetapi ketika diskresi menjadi kebiasaan, maka ia berubah menjadi obral kehormatan.

Dan di sinilah persoalan moral muncul: TNI yang dulu dikenal disiplin dan tegas terhadap hierarki pangkat kini membiarkan simbol pangkat — lambang kehormatan tertinggi prajurit — menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Pangkat yang diperjuangkan dengan darah prajurit di medan perang kini bisa diberikan di meja politik.

4. Ketika Simbol Mengalahkan Substansi

TNI lahir sebagai tentara pejuang, bukan tentara upacara.

Pangkat dalam militer bukan sekadar tanda di pundak, tapi tanda pengorbanan, pengalaman, dan dedikasi.

Ketika seorang purnawirawan yang sudah dua dekade pensiun tiba-tiba diberi pangkat jenderal kehormatan, publik bertanya-tanya:

“Apakah pengabdiannya baru diketahui sekarang?”

Atau justru, pangkat itu diberikan karena fungsi politik, bukan karena jasa keprajuritan?

Fenomena ini membuat nilai “kehormatan” kehilangan bobotnya.

Pangkat yang seharusnya lahir dari pengabdian kini tumbuh dari pertimbangan kekuasaan. Jika ini dibiarkan berulang, TNI akan kehilangan simbol moral yang menjadi pembeda antara prajurit dan politisi.

5. Mundur dalam Jati Diri: Tentara atau Simbol Kekuasaan?

Reformasi 1998 dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 telah menegaskan bahwa TNI adalah alat pertahanan negara, bukan alat politik.

Namun dalam praktik hari ini, kita menyaksikan kembalinya nuansa “dwifungsi” dalam bentuk yang lebih halus — simbol, jabatan, dan penghargaan digunakan untuk membangun legitimasi politik sipil.

Ini bukan lagi persoalan teknis, melainkan krisis jati diri.

TNI seharusnya menjadi pelindung hukum dan rakyat, bukan pelengkap panggung kekuasaan.

Semakin sering kehormatan diberikan tanpa makna, semakin kabur batas antara prajurit sejati dan penguasa sipil.

6. Neo Cortex Warfare: Perang di Alam Pikiran

Tantangan TNI hari ini bukan lagi perang fisik, melainkan perang kesadaran — sebuah Neo Cortex Warfare.

Musuh tidak lagi datang dengan senjata, tetapi dengan informasi, persepsi, dan manipulasi pikiran.

Bangsa yang gagal memahami medan perang kognitif akan kalah tanpa peluru.

Sementara TNI masih sibuk dengan simbol kehormatan, dunia sedang bertempur dalam battlefield of the mind.

Peperangan abad ini tidak lagi memerlukan tank atau meriam, melainkan penguasaan atas kesadaran manusia.

Maka, TNI tidak cukup hanya kuat dalam alutsista, tapi harus kuat dalam kesadaran intelektual dan moral.

Musuh baru TNI bukan hanya infiltrasi teritorial, tapi infiltrasi kesadaran bangsa.

7. Maju dalam Alutsista, Mundur dalam Kesadaran

Mari jujur menilai:

Dalam hal teknologi dan pertahanan fisik — TNI maju. Dalam hal integritas, jati diri, dan moral keprajuritan — TNI mundur. Dalam menghadapi perang kesadaran global — TNI tertinggal.

Kekuatan sejati TNI bukan pada jumlah bintang di pundak, tetapi pada bintang moral dalam hati para prajuritnya.

Dan ketika simbol pangkat lebih sering dibicarakan daripada profesionalisme, maka itu tanda bahwa bangsa ini lebih sibuk menciptakan kehormatan semu daripada membangun kehormatan sejati.

8. Penutup: Jalan Pulang ke Sapta Marga

Delapan puluh tahun adalah usia dewasa bagi sebuah institusi negara.

TNI harus kembali ke jalan pulang — Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Kekuatan TNI bukan untuk ditakuti, tetapi untuk melindungi.

Bukan untuk dihormati karena pangkat, tetapi karena keteladanan.

Jika TNI ingin benar-benar menjadi kekuatan abad ke-21, maka kehormatan tidak boleh diobral, dan pangkat tidak boleh lahir dari politik.

TNI yang sejati bukan yang mendapat pangkat kehormatan di masa pensiun, tapi yang menjaga kehormatan itu sepanjang hidupnya.

Selamat Ulang Tahun ke-80 Tentara Nasional Indonesia.

Maju dalam alutsista, tapi jangan mundur dalam jati diri!

—-

*Penulis Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB,  KABAIS TNI 2011-2013

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru