Sabtu, 5 Juli 2025

Reformasi Dibajak, Konstitusi Dikudeta: Kesaksian Dua Mantan Rektor

Oleh: dr. Zulkifi S Ekomei *

HASIL diskusi dengan 2 orang mantan Rektor, Prof Sofian Effendi mantan Rektor UGM dan mantan Rektor Unsuri Dr. Gunawan Adji menginspirasi tulisan ini. Saat peristiwa kudeta konstitusi ini berlangsung, Prof Sofian Efendi adalah Rektor UGM yang juga Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), sedangkan Dr. Gunawan Adji adalah aktivis mahasiswa ketika itu.

Keduanya memotret langsung peristiwa yang terjadi sejak lengsernya presiden Soeharto hingga terjadi amandemen I sampai IV. “Pak Harto lengser bulan Mei 1998, lalu pada bulan November 1998 ada Sidang Istimewa MPR yang menghasilkan 12 TAP MPR. Amati yang terjadi dalam rentang waktu selama 6 bulan ini. Maka sesungguhnya tuntutan reformasi sudah dipenuhi pada Sidang Istimewa MPR 1998,” Ujar Gunawan Adji.

Dari diskusi sambil ngopi saat berlangsungnya FGD Konstitusi oleh Forum Guru Besar UGM bekerjasama dengan DPD RI di Jogjakarta pada pertengahan bulan Januari 2023 ini dapat disimpulkan, *”satu peristiwa sejarah yang selama ini disembunyikan”*.

Usai Orde Baru berakhir, terbit 12 Ketetapan/TAP MPR produk dari (era) rezim transisi. Tak pelak, bahwa ke-12 TAP MPR dimaksud ialah jawaban dari tuntutan rèformasi yang meliputi: 1) Adili Soeharto dan pengikutnya; 2) Amandemen UUD 1945; 3) Otonomi Daerah seluas-luasnya; 4) Hapus Dwi Fungsi ABRI; 5) hapus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); dan 6) tegakkan supremasi hukum.

Adapun TAP MPR sebagai jawaban agenda/tuntutan reformasi tersebut antara lain adalah:

1. TAP MPR No VII/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas TAP MPR No I/1983 tentang Perubahan Tata Tertib MPR;

2. TAP MPR No VIII/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No IV/1993 tentang Referendum;

3. TAP MPR No IX/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No II/1998 tentang GBHN;

4. TAP MPR No X/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;

5. TAP MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;

6. TAP MPR No XII/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No V/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Mensukseskan dan Mengamankan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila;

7. TAP MPR No XIII/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI;

8. TAP MPR No XIV/1998 tentang Perubahan dan Tambahan TAP MPR No III/1998 tentang Pemilu;

9. TAP MPR No XV/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan Pembangunan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI;

10. TAP MPR No XVI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi;

11. TAP MPR No XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia; dan

12. TAP MPR No XVIII/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No II/1978 tentang Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa).

Dengan demikian, reformasi sebagai tuntutan kaum reformis, secara substatif — SUDAH SELESAI pada tahun 1998. Sebab, empat TAP MPR (TAP No VIII, No XII, No XIII dan No XVIII) dari 12 TAP di atas, sekali lagi — secara substansi telah mengakomodir Tuntutan Reformasi. Artinya, rezim selanjutnya, entah Gus Dur, Presiden RI ke-4, atau Megawati sebagai Presiden RI ke-5, dan Presiden lainnya tinggal menindak lanjuti ke-12 TAP MPR tadi dalam ujud aturan di bawahnya semacam UU, PP, Keppres, dan lain-lain.

Akan tetapi, praktiknya justru melenceng jauh. Reformasi dibajak di tengah jalan oleh _National Democratic Institute_ (NDI) —kekuatan asing— pimpinan Madellein Albraight yang dibantu 18 LSM lokal yang tergabung dalam Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru melalui kerja sama dengan kaum komprador yang kala itu duduk di MPR masa bakti 1999 – 2004. Inilah KUDETA KONSTITUSI di republik tercinta.

Seyogianya, setelah terbit 12 TAP MPR tadi, siapapun rezim yang berkuasa, tinggal menindaklanjuti dengan produk turunan (UU) yang menginduk pada ke-12 TAP di atas, namun praktiknya UUD 1945 —karya agung _founding fathers_ — justru diamandemen empat kali (1999 – 2002). Sungguh keterlaluan lagi khianat!

Dan hasil penelitian Prof Kaelan dari UGM, sekitar 90% pasal-pasalnya diganti. Sekali lagi, bukan sekedar diamandemen, tetapi diganti baik isu maupun formatnya.

UUD Naskah Asli, misalnya, formatnya adalah pembukaan, batang tubuh (pasal-pasal), penjelasan, aturan peralihan dan aturan tambahan; sedangkan UUD Hasil Amandemen hanya berisi pembukaan dan isi saja. Tak lebìh. Kolom penjelasan, kolom aturan peralihan dan aturan tambahan DIHILANGKAN pada UUD Hasil Amandemen;

UUD Naskah Asli berisi 16 Bab dan 37 Pasal. Sedangkan UUD Hasil Amandemen berisi 16 Bab, tetapi Bab IV-nya kosong. Jadi, sebenarnya cuma 15 bab saja. Dan memang tertulis 37 Pasal pada UUD Hasil Amandemen, namun sebenarnya isinya 73 Pasal karena ada Pasal 20A, misalnya, atau 20B, 20C dan seterusnya.

Lebih unik lagi, TAP MPR tertanggal 10 Agustus 2002 yang menerbitkan UUD Hasil Amandemen ini tanpa nomor alias nomornya kosong. Dan tak boleh dipungkiri, sesuai judul tulisan — *Reformasi Memang Dibajak, Dan Konstitusi Telah Dikudeta*.

Lantas, apakah segenap anak bangsa ini rela dan diam-diam saja?

* Penulis dr. Zulkifi S. Ekomei adalah aktivis Kembali Ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ASLI

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru