Perubahan mendasar dalam paradigma berbangsa dan bernegara yang telah dirintis oleh Presiden Jokowi selama 5 tahun belakangan ini harus disempurnakan pada masa pemerintahannya yang kedua. Jangan sampai upaya yang sudah dilakukan Presiden Jokowi menjadi sia-sia, karena tidak ada jaminan bahwa Presiden terpilih pada Pemilu 2024 akan melanjutkannya. Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Saurip Kadi, Tenaga Ahli Menko Polhukam RI menuliskannya buat pembaca Bergelora.com (Redaksi).
Oleh: Saurip Kadi
POTENSI konflik pada negara yang berdiri di atas bangsa yang majemuk memang besar, tapi sebaliknya dari kemajemukannya akan lahir harmoni, keindahan dan bahkan daya “survival” yang tidak mungkin dijumpai pada negara yang bangsanya homogen. Fakta juga membuktikan bahwa tidak sedikit negara yang majemuk justru berhasil membangun peradaban bangsanya dengan gemilang. Sebaliknya, banyak negara yang homogen, malah terus dilanda konflik internal secara berkepanjangan dan sudah barang tentu dengan biaya politik yang sangat besar termasuk jatuhnya korban diantara anak bangsanya sendiri.
Lantas bagaimana dengan Indonesia yang sangat majemuk, kedepan, kalau realitanya sudah 21 tahun masa demokratisasipun terus dilanda politik gaduh dengan latar belakang SARA, seperti yang baru-baru saja terjadi yaitu kasus Rasis terhadap mahasiswa kita asal Papua.
Potret Bangsa
Dimasa lalu, dalam menjaga keutuhan dan masa depan NKRI, bangsa ini sempat beberapa kali menggunakan kekuatan bersenjata seperti yang terjadi dalam penumpasan PRRI/ PERMESTA dan DI/TII. Hal yang sejenis juga dalam menangani dinamika politik nasional paska tragedi berdarah G 30’S/PKI. Atas nama kepentingan nasional dan demi terwujudnya keamanan nasional sebagai prasyarat pembangunan nasional, secara SAH berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, TNI kemudian dikerahkan menghadapi rakyatnya sendiri seperti yang terjadi di Aceh, Papua dan banyak tempat lainnya tak terkecuali dalam urusan gusur menggusur penduduk demi kepentingan pembangunan nasional. Sudah barang tentu dampak ikutan yang tidak bisa dielakkan adalah jatuhnya korban sesama anak bangsa sendiri dalam jumlah yang sangat besar.
Sebagian anak bangsanya sendiri kemudian diposisikan sebagai ancaman alias musuh negara, dengan stempel politis sebagai EKKI (Ektrim Kiri/PKI), EKKA (Ekstrim Kanan/Islam), dan EKLA (Ektrim Lain/Non PKI dan Islam). Dengan skrening politik layaknya di negara komunis, negara juga melakukan control sosial. Yang pasti anak keturunan PKI dalam jumlah puluhan juta hanya bisa jadi “pelacur” (bagi yang wanita), babu, atau pekerja kasar lainnya. Sementara yang dicap EKKA dan EKLA banyak yang harus dipenjara dan atau diisolasi secara sosial, sebagian lagi terpaksa harus lari keluar negeri.
Akal sehat dan etika moral dalam perpolitikan nasional secara SAH menurut hukum juga pernah dikesampingkan. Bagaimana tidak, kalau Bung Karno sebagai presiden dilengserkan karena terlibat G-30’S, dimana G 30’S distempel melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang SAH. Sementara Pemerintahan yang SAH itu sendiri dipimpin oleh Sukarno, seolah Bung Karno dan Sukarno adalah 2 figure yang berbeda. Sementara Gusdur yang ulama besar, juga harus dipermalukan oleh bangsanya sendiri, dengan tuduhan secara politis menerima uang kecil yang berasal dari uang zakat yang dilingkungan kehidupan Islam adalah bagian tak terpisahkan dari tata cara beribadah itu sendiri.
Begitu pula dalam tata kelola ekonomi nasional, Sumber Daya Nasional dalam jumlah besar kemudian dibagi-bagikan kepada kroni penguasa dan sedikit untuk BUMN. Menjadi wajar kalau kemudian melahirkan kesenjangan sosial dan juga menjadi sumber konflik sosial. Belum lagi praktek diskriminasi pelayanan sosial, dimana dana APBN yang begitu besar untuk pendidikan dan kesehatan dalam prakteknya berpuluh tahun hanya dinikmati oleh keluarga kaya. Dan masih banyak lagi kebijakan nasional yang belum mencerminkan makna kesatuan dalam sebutan NKRI bagi segenap orang, golongan dan juga wilayah dinegeri ini. Disanalah sakit hati, dendam, dan kesenjangan sosial dan juga daerah tumbuh subur.
Fakta juga membuktikan, berkat semangat positif anak keturunan PRRI/PREMESTA dan DI/TII serta Masyumi tak terkecuali yang dilingkungan TNI / Polri, sejak menjelang reformasi telah berhasil tampil di panggung politik nasional. Hal yang serupa juga terjadi pada anak keturunan PKI, paska reformasi 1998, berkat kegigihannya melalui jalur yang legal diantara mereka kini berhasil duduk sebagai anggota DPR melalui sejumlah Partai dan sejumlah kedudukan posisi strategis dalam pemerintahan.
Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, paska Orde Baru bangsa ini menanggung akumulasi residu masa lalu yang begitu berat dan akhirnya dengan mudah terjebak dalam politik balas dendam, hina menghina dan saling jegal yang bersumber pada SARA serta kesenjangan sosial dan daerah, tak terkecuali antar sesama korban masa lalu itu sendiri.
Menutup Masa Lalu, Membangun Indonesia Baru
Tanpa harus menyalahkan rezim berkuasa terdahulu, cara buruk yang pernah terjadi dimasa lalu haruslah dicegah agar tidak terulang kembali dimasa mendatang. Begitu juga luka jiwa dan perasaan yang penuh derita, duka, lara, pilu serta nestapa dan bahkan dendam kesumat harus segera dihentikan. Disanalah maka bangsa ini pelu mengambil langkah terukur untuk mengakhiri sisi buruk kejiwaan bangsa dan realitas peninggalan masa lalu tersebut diatas, dalam bentuk Islah atau rekonsiliasi. Tanpa rekonsiliasi, maka turbulensi elite politik yang dilingkupi phobia dan dendam serta kebencian serta upaya saling jegal seperti yang terjadi selama 20 tahu lebih belakangan ini akan terus terjadi, dan bahkan kedepan dipastikan akan lebih dasyat lagi.
Disamping itu, untuk menjamin kepastian hukum bangsa ini juga harus segera melaksanakan amanat “Founding Father’s” tentang sifat “kekilatan dan kedaruratan” UUD 1945. Bung Karno sendiri dengan lugas pada sidang PPKI tanggal 18-Agustus-1945 menyampaikan amanat untuk “membuat UUD yang lebih lebih lengkap dan sempurna”.
Kita memang sudah melakukan 4 kali Amandemen UUD-1945, namun dalam prakteknya tidak didahului dengan perubahan “mindset dan faltform“ dari negara otoriter menjadi demokrasi, dari UUD “kilat dan darurat” menjadi UUD dalam keadaan normal/tertib sipil, karena prosesnya langsung menukik ke perubahan Bab dan Pasal-Pasal.
Dan dalam amandemen kelima tersebut, kita gunakan untuk memformat ulang sistem kenegaraan dengan mengelaborasi secara utuh dan menyeluruh semua nilai-nilai luhur Pancasila kedalam batang tubuh UUD kita sebagai hukum dasar, yang memang belum sempat dikerjakan oleh “founding Father’s” dan generasi pendahulu. Melalui sistem demokrasi yang benar-benar dijiwai secara utuh dan menyeluruh oleh nilai-nilai Pancasila, kedepan kedudukan rakyat dalam negara adalah “majikan” karena rakyatlah yang bertanggung jawab atas pembiayaan dan masa depan, serta eksistensi negara.
Sebaliknya, semua yang mengawaki pemerintahan negara tak pandang pangkat dan jabatan adalah karyawan, buruh, pelayan atau abdi alias “jongos” yang tidak patut tidak sopan terhadap majikannya, apalagi mendholiminya. Dan peran negara adalah wadah sekaligus alat bagi rakyat dalam mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dan yang pasti tanpa kedua warisan mulia tersebut diatas, maka perubahan mendasar paradigma dalam berbangsa dan bernegara yang telah dirintis oleh Presiden Jokowi selama 5 tahun belakangan ini dan akan disempurnakan pada masa pemerintahannya yang kedua, bisa jadi akan menjadi sia-sia, karena tidak ada jaminan bahwa Presiden terpilih pada Pemilu 2024 akan melanjutkannya.