Revisi Undang-Undang KPK dianggap sebuah titik balik politik parlemen yang justru ingin melemahkan politik Jokowi yang nantinya dianggap menguntungkan koruptor. Himawan Sutanto, Aktivis 1980-an membedahnya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Himawan Sutanto
DISAHKANNYA revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada Selasa, 17 September 2019 tidak menjadi penolakan berakhir. Sebab revisi UU KPK menempatkan posisi KPK tidak lagi independen. Dimana sekarang sudah menjadi “eksekutif” baru di bidang penegakan hukum.
Hal itu terlihat ada beberapa pasal yang dirubah dan dihilangkan seperti dalam Pasal 1 Ayat (3)
Sebelum revisi:
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Setelah revisi:
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Artinya KPK menjadi bagian lembaga eksekutif kekuasaan.
Pasal 1 Ayat (5)
Setelah revisi:
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.
Artinya, berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU No. 5/2014 tentang ASN yang mengatur bahwa ASN terdiri atas pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Batas usia PNS adalah 35 tahun, sedangkan di atas usia tersebut diangkat menjadi P3K. Artinya, sebagian besar pegawai KPK yang berstatus pegawai tetap akan menjadi P3K, termasuk para penyidik independen, seperti Novel Baswedan.
Pasal 10
Sebelum revisi:
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Setelah revisi pasal 10 A
(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
(2) ayat (f) Keadaan lain yang menurut pertimbangan Kepolisian atau Kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dan masih banyak yang lainnya.
Hal ditas bisa kita Lihat, bahwa perubahan dalam revisi UU KPK telah memastikan bahwa KPK sudah tidak lagi seperti sebelum revisi. Hal itu sangat dimaklumi, jika DPR melakukan revisi dengan sangat tergesa-gesa dan bisa dikatakan super kilat.
Politik Parlemen
Dalam revisi UU KPK jelas bahwa DPR menjadi gerah ketika banyak anggotanya dicokol oleh KPK. Sejak tahun 2015 revisi itu muncul dan dihentikan pada tahun 2016, dan dilanjutkan pada tahun 2019 bulan Agustus. Hal itu nampak jelas ketika Jokowi memberika dukungan revisi UU KPK di tanda tangani dan diputuskan super cepat.
Memang tidak ada yang salah dalam usulan revisi tersebut diatas, tetapi ada yang janggal dalam prosesnya. DPR dengan kerja politiknya menunjukkan sikap agresif kepada pemerintah dan pemerintah membuka angin segar sebagai sasaran target dan berhasil melobby eksekutif terlibat secara aktif dan hasilnya revisi UU KPK disetujui.
Tapi dibalik itu semua politik parlemen tidak memberikan ruang pembelajaran kepada presiden, melainkan lebih mengemukakan pelemahan politik Presiden terhadap kekuasaannya. Sebab penolakan membuat para pendukung utama Jokowi bisa berbelok arah dan mulai mencabut dukungannya. Sebab masyarakat anti korupsi juga telah tertipu dengan janji-janji Jokowi pada saat kampanye. Bahwa revisi UU KPK adalah salah satu cara untuk bersatunya para penggiat anti korupsi melakulan perlawanan yang sangat signifikan kepada pemerintah. Gerakan mencari dukungan menolak revisi UU KPK akan terus berjalan seiring kekuasaan Jokowi yang dipertanyakan konsistensinya.
Bukan tidak mungkin revisi UU KPK adalah sebuah titik balik politik parlemen yang justru ingin melemahkan politik Jokowi yang dianggap menguntungkan koruptor. Jadi sangat mungkin, bila ini berlanjut dengan sikap KPK yang menersangkakan Imam Nahrowi sebagai tumbal perlawanannya. Juga tidak mungkin ada lagi para pejabat lain yang akan menjadi target. Itulah realitas kita dimana ketika hukum dijadikan alat politik parlemen untuk memperlemah kekuasaan. Kita tinggal tunggu waktu saja, apakah tanggal 20 Oktober 2019 menjadi hari bersejarah atau menjadi hari pesakitan baru. Walahualam.

