JAKARTA- Revisi Undang-Undang Perikanan seharusnya menjadi pintu masuk bagi kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan di Indonesia. Revisi ini seharusnya melakukan porsi yang besar dengan pembagian usaha perikanan dengan menekankan kegiatan pasca-produksi. Marthin Hadiwinata, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (28/2).
“Dengan menekankan kegiatan pasca-produksi akan meningkatkan nilai komoditas perikanan yang dapat bersaing di dalam maupun di luar negeri,” katanya.
Ia menjelaskan, permasalahan Undang-Undang Perikanan sebelumnya yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tidak memiliki pengaturan mengenai pasca-produksi. Secara politik hukum Undang-Undang Perikanan berfokus berat kepada kegiatan Produksi. Hal ini dilihat dari lebih dari 100 pasal dalam Undang-Undang Perikanan, sebanyak 52% membahas tentang produksi; sebanyak 29,4% membahas tentang praproduksi; 15% mengatur tentang pra hingga pasca produksi; dan hanya 17,6% membahas tentang pasca produksi. Revisi Undang-Undang Perikanan dengan draft terakhir tertanggal 13 Februari 2017 masih berbicara di tataran yang sama: bertumpu kepada aspek produksi.
Di sisi lain, Dari lebih dari 13 juta tenaga kerja di sektor perikanan, sebanyak 51% beraktivitas di produksi (tangkap dan budidaya), 38% di pemasaran, dan hanya 11% di sektor pengolahan. Padahal dengan lapangan kerja yang terbuka di bagian pasca produksi yaitu di pengeolahan maka akan membuka lapangan pekerjaan yang lebih besar. Namun tentu dengan adanya perlindungan pekerja yang baik meliputi kondisi kerja yang layak, perlindungan asuransi dan masa tua, pengawasan ketenagakerjaan yang kuat hingga masalah pengupahan. Hal tersebut juga tidak diatur Revisi Undang-Undang Perikanan.
Lebih lanjut, permasalahan lintas kementerian dan lembaga patut menjadi perhatian khusus. Khususnya terkait dengan hasil uji 226 sampel kapal ikan yang uji petik oleh KKP pada tahun 2015. Hasilnya menunjukkan terdapat lebih dari 80%-nya melakukan mark-down berat kotor (gross tonnage) menjadi kurang dari 30 GT. Hal ini berimbas kepada penyelundupan kewajiban pajak hingga pungutan hasil perikanan dan diperparah dengan mengakses bahan bakar minyak yang disubsidi oleh negara. Permasalahan ini tidak diselesaikan oleh revisi Undang-Undang Perikanan.
Terakhir, terkait dengan nelayan kecil yang masih dihadapkan dengan rezim pengaturan yang sama yang akan kembali memarjinalkan mereka dengan pengaturan yang lemah terkait dengan tenurial. Nelayan kecil diberikan kebebasan menangkap ikan di seluruh wilayah Indonesia tetapi tidak ada upaya untuk melindungi wilayah perikanan tangkap yang telah dimanfaatkan secar turun temurun. Pada akhirnya nelayan kecil berada dalam situasi terpaksa kompetisi dengan nelayan/perikanan skala lainnya belum dihadapkan dengan perampasan laut dan tanah melaui proyek reklamasi, infrastruktur di pesisir, dan proyek pariwisata yang meminggirkan warga. (Telly Nathalia)