Indonesia semakin jauh dari yang diharapkan. Christianto Wibisono, penulis buku ‘Kencan Covid Dinasti Menteng’ mempertanyakan, kapan Revolusi Agustus dan Revolusi Oktober di Indonesia berhenti memakan anak anaknya sendiri. (Redaksi)
Oleh: Christianto Wibisono
REPUBLIK INDONESIA didirikan pada 17Agustus 1945 dan selama 75 tahun mengenal 7 presiden, 12 wapres dan 10 Perdana Menteri memimpin 17 kabinet dengan total jumlah Menteri 738 orang. Dinamika revolusi Agustus mirip revolusi Prancis 1789-1794 yang menelan anak-anaknya sendiri. Sejak pemakzulan dan eksekusi guillotine Raja Louis XVI dan Permaisuri Marie Antoinette, kaum revolusioner saling mengguilotine antara Saint Just, Danton dan Robespierre. Sampai distabilkan oleh Napoleon Bonaparte yang mengangkat dirinya kembali menjadi Kaisar dan memerlukan koalisi Eropa untuk menurunkan dari kekuasaan karena seluruh Prancis dikuasai secara absolut.
Sementara di Inggris meskipun Charles I (lahir 19 November 1600 naik tahta 27 Maret 1624 dieksekusi 30 January 1649) oleh Cromwell (lahir 25 April 1599 wafat 3 September 1658) bisa mengubah diri menjadi monarki konstitusional demokratis dengan suksesi damai. Itulah sebabnya imigran Inggris dan Eropa lain yang bermigrasi ke Amerika, sukses mendirikan federasi Amerika Serikat sebagai induk demokrasi modern sedunia.
Di Indonesia elite oligarki politik gemar memainkan saling kudeta secara inkonstitusional dengan kekerasan seperti penculikan PM Syahrir pada 27 Juni 1946 oleh kudeta 3 Juli 1946 yang dipimpin Tan Malaka, Mohamad Yamin, Mayjen Sudarsono dan lainnya. Tan Malaka Cs kemudian ditahan dan dihukum penjara oleh Ketua Mahkamah Agung Mr Kusumah Atmaja (yang namanya diabadikan untuk Jalan Tosari di Menteng). Perbedaan pandangan negosiasi dengan Belanda dipolemikkan secara panas mirip Gerakan anti RUU Ciptaker sekarang.
PM Syahrir jatuh karena diangap lemah menerima Persetujuan Linggajati 1947 maka diganti oleh mantan tangan kanannya, Mr Amir Syarifudin yang malah menandatangani Perjanjian Renville. Kekuasaan RI justru semakin mengecil dibanding negara bagian lain yang dibentuk oleh Van Mook untuk menguasai Federasi Republik Indonesia Serikat yang disepakati. Karena polemik itu justru meskipun ada perang gerilya, nasib perundingan RI Belanda tergantung dari lobby AS dan Inggris,
Pada 18 September 1948 Musso, memproklamirkan Republik Soviet di Madiun mengikuti doktrin Zdhanov yang menganjurkan dunia mendirikan rezim komunis seperti Uni Soviet setelah kekalahan fasisme Nazi Jerman. Tragisnya, mantan PM Amir Syarifuddin yang berhenti jadi PM Januari 1948 justru terlibat dalam pemberontakan PKI Musso dan di eksekusi bersama Maruto Darusman (paman Marzuki Darusman) yang ikut sebagai Menteri Negara kabinet Amir Syarifudin I-II.
Tan Malaka sendiri akan terbunuh oleh militer yang menganggap semua Marxis adalah komunis,– sama saja. Meskipun Tan Malaka adalah Trotskyist dan berbeda dari Musso. Tapi pasukan di bawah Sukoco yang kelak jadi Walikota Surabaya,–tidak paham soal ideologi.
Pada 24 Februari 1949, Menteri Pembangunan Pemuda Supeno yang bergerilya tertangkap dan dieksekusi oleh Belanda. Supeno lahir 12 Juni 1916 dan jadi Menteri termuda Kabinet Hatta 23 Januari 1948. Namanya dijadikan nama jalan lokasi kantor Gubernur dan DPRD Jateng di areal Simpang Lima Semarang.
Karena pemerintah Hatta serius menumpas pemberontakan PKI Musso 1948 maka AS menekan Belanda untuk segera mengakui Indonesia dan menyelesaikan sengketa kedua pihak secara damai. AS juga berjanji akan menggelontorkan bantuan kepada Indonesia, karena itu dianjurkan menerima saja tuntutan Belanda agar utang pemerintah Hindia Belanda diambil alih pemerintah RIS.
Maka dalam perstujuan KMB 1949 Indonesia harus membayar utang US$ 1,2 milyar. Ini akan dicicil sampai 1956 dan sisa 10% terhenti. Karena sejak 1957 Bung Karno menasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Ini disebabkan sengketa Irian Barat terkatung katung sejak 1949 tidak diserahkan kepada Indonesia.
Tahun 1957 adalah revolusi Agustus tahap II dimana Indonesia mengubah struktur ekonomi nasional yang tadinya kelanjutan Hindia Belanda, diubah menjadi Ekonomi Terpimpin dengan Perusahaan Negara (ex Belanda) jadi tulang punggung.
Sayang pemberontakan PRRI/Permesta memperburuk kinerja ekonomi Indonesia yang kemudian membelanjakan US$ 2,4 milyar untuk mendirikan Angkatan Udara dan Angkatan Laut terbesar di belahan bumi Selatan untuk merebut Irian Barat. Kita (Indonesia) hok gie) masih mempunyai hopeng. Presiden Kennedy yang satu hobby dengan Bung Karno dalam berkencan dengan Marilyn Monroe, maka Kennedy mendamaikan Indonesia-Belanda Agustus 1962, Belanda menyerahkan Irian Baat kepada Indonesia melalui transisi UNTEA ( Otorita temporer PBB).
Trobosan itu sebetulnya layak dapat hadiah Nobel tapi Bung Karno malah berkonfrontasi dengan Malaysia. Presiden Kennedy mendadak tertembak mati November 1963 dan Indonesia semakin mengisolasi diri dengan keluar dari PBB 1965 ingin membuat PBB tandingan Conefo. Gedung yang ditargetkan jadi markas PBB tandingan sekarang jadi kantor MPR DPR yang selalu harus menyaksikan konflik politik dengan kekerasan yang menyedihkan dan memalukan elite politik yang mengadu domba bangsanya sendiri dijalan raya dengan kekerasan berdarah yang kurang beradab manusia modern.
Sementara di Tiongkok selama satu abad juga berlangsung Revolusi Oktober yang menjungkirbalikkan monarki Mancu dinasti Qing pada 1911. DR Sun Yat Sen menjadi presiden pertama yang rela menyerahkan posisi kepada Yuan Shikai dan Tiongkok seperti Prancis dan Indonesia juga mengalami gonjang ganjing gonta ganti Presiden/Perdana Menteri.
Belasan presiden silih berganti antara 1911-1949. Pada 1 Oktober 1949 Partai Komunis Tiongkok (Kung Chan Tang) memproklamirkan Republik Rakyat Tiongkok di Beijing, sedang Chiang Kai Shek, Presiden ke-20 Republik Tiongkok yang diproklamirkan 10 Oktober 1911 mengungsi dan hanya menguasai satu pulau Taiwan.
Chiang Kai Shek berkuasa di Taiwan selama 25 tahun dari 1950-1975, diselingi Yan Chia dan dilanjutkan oleh putra Chiang Kai Shek, Chiang Ching Kuo 1978-1988. Dan Lee Teng Hui 1988-2000 dan setelah itu tiap 4 tahun ada pilpres dengan petahana bertahan Chen Hsuibian (2000-2008), Ma Yingjeou (2008 -2016), dan Tsai Ingwen (2016-2024).
Di Beijing Kepresidenan berganti 11 kali sejak Mao Zedong (1949-1959 ), Liu Shaoqi (1959-1964) Soong Cingling (1968-1972) Dong Biwu (1972-1975) Zu De (1975-1976), Ye Jianying (1978 1983), Li Xiannian (1983-1988), Yang Shangkun (1988-1993), Jiang Zemin(1993-2003), Hu Jintao (2003-2013), dan Xi Jinping (2013-2023).
Jabatan Perdana Menteri dipegang oleh Zhou Enlai (1949–1976), Hua Guofeng (1976–1980), Zhao Ziyang (1980–1987), Li Peng. (1987–1998), Zhu Rongji (1998–2003), Wen Jiabao 2003–2013) dan Li Keqiang (2013–kini)
Tiongkok juga pernah mengalami konflik elite. Presiden Liu Shaoqi dipenjara selama Revolusi Kebudayaan. Marsekal Lin Biao tewas karena pesawatnya jatuh ketika melarikan diri ke Uni Soviet. PM Zhao Ziyang dipecat karena mendatangi demonstran mahasiswa di Tiananmen Juni 1989 sebelum tank menggilas pendemo. Semua itu sudah lewat 30 tahun dan Tiongkok sudah move on.
Perayaan Revolusi Oktober baik Wuchang Day 10 Oktober Double Ten Sun Yat Sen Kuo Min Tang (KMT Nasionalis) maupun proklamasi RRT 1 Oktober dirayakan dengan meriah justru dari kora sumber Covid akhir Desember 2019 hampir setahun berlalu. Mereka sudah pulih normal karena semangat move on meninggalkan sejarah konflik elite oligarki. Kita masih terus bergelut dengan demo kekerasan berdarah yang merusak fasilitas umum.
Revolusi Agustus Sukarno masih terus berkonflik dengan vs Revolusi Okrober Soeharto. Dibalik itu sisa sisa “asap revolusi DI/TII” Kartosuwiryo 7 Agustus 1949 yang baru di eksekusi 1962 masih menggejala dan mempunyai kaitan ke “ISIS global”. Kapan Revolusi Agustus dan Revolusi Oktober di Indonesia berhenti memakan anak anaknya sendiri. Kasihan rakyat, pelajar mahasiswa yang setiap pereiode jadi korban sia sia yang terlupakan setelah gugur, Kita menundukkan kepala pada seluruh anak bangsa korban “revolusi oligarki”.
Bulan Juni adalah Lahirnya Pancasila, lahirnya Bung Karno , lahirnya Jendral Soeharto, lahirnya Jokowi semoga dengan semangat kelahiran dan kebangkitan kembali, kita bisa mendamaikan konflik perang saudara “Revolusi Agustus Sukarno vs Revolusi Oktober Soeharto.