Sabtu, 12 Juli 2025

Rindu Kebangkitan Nasional

Viva Yoga Mauladi, Dewan Pembina Paguyuban Rakyat Indonesia Raya (PARAINDRA) kader dari Partai Amanat Nasional (PAN) . (Ist)

Setiap 20 Mei bangsa ini merayakan Hari Kebangkitan Nasional. Hari bersejarah yang menjadi salah satu tonggak sejarah persatuan semua suku dan daerah menjadi satu Bangsa, Indonesia. Dikemudian hari membawa Bangsa ini merdeka dari penjajahan kolonialisme di tahun 1945. Hari ini persatuan Indonesia terancam oleh hasrat beberapa orang yang ingin menggantikan dasar-dasar persatuan bangsa dan negara ini berdiri. Viva Yoga Mauladi, Dewan Pembina Paguyuban Rakyat Indonesia Raya (PARAINDRA) kader dari Partai Amanat Nasional (PAN) menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Viva Yoga Mauladi

TUMBUHNYA kesadaran bersama sebagai negara bangsa (nation state) dipicu oleh rasa tertindas, jiwa yang terbelenggu sebagai manusia yang terjajah, dan oleh bangkitnya intelektualisme para pemuda terdidik.

Indonesia sebagai satu negara, dibangun oleh ratusan (suku) bangsa. Mengapa kebersamaan dan persatuan dapat tercapai saat melawan penjajah kolonial? Karena adanya perasaan, nasib, jiwa, dan cita-cita yang sama: merebut kemerdekaan. Adanya rasa kebersamaan dan persatuan melawan kolonialisme menjadi pengikat seluruh organisasi pergerakan yang berbeda agama, ras, pendidikan, dan stratifikasi sosial.

Sekarang ini, adakah perasaan, niat, semangat, dan cita-cita untuk membangun kembali negara bangsa Indonesia menuju peradaban luhur di tengah berkecamuknya demokrasi prosedural?

Pemilu sebagai sarana pengejahwantahan kedaulatan rakyat terjebak ke urusan teknis administratif: soal mekanisme penghitungan perolehan suara. Ada yang menyatakan telah sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bahwa pemilu diselenggarakan secara Luber dan Jurdil. Di sisi lain, ada yang menyatakan bahwa penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) tidak netral sebagai wasit sehingga menguntungkan paslon tertentu di pilpres. Dari sinilah pokok masalahnya terjadi sehingga menjalar bagai virus yang mengancam rasa kebangsaan kita.

Jika yang menjadi masalah adalah tentang teknis dan mekanisme penghitungan perolehan suara di pilpres, maka sebaiknya KPU, Bawaslu, DKPP duduk bersama dengan paslon  01 TKN dan 02 BPN untuk membuat evaluasi, kesepakatan, atau komitmen bersama tentang teknis prosedural yang transparan, akuntabel, dan sesuai dengan Undang-undang Pemilu. Toh, yang digunakan acuan/ pedoman KPU dalam menentukan hasil pilpres bukan sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng), melainkan penghitungan perolehan suara secara manual.

Situng itu produk teknologi. Jika ada usulan perlu audit forensik atau seperti keputusan Bawaslu bahwa KPU terbukti secara sah melanggar tata cara dan prosedur dalam input data dan memerintahkan KPU untuk memperbaiki Situng, KPU jangan alergi untuk menolak. Perbaikilah dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Tugas KPU adalah melakukan input data yang valid, akurat, terverifikasi, sehingga dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Hal ini akan meredam keresahan, salah tafsir, dan praduga negatif ke KPU karena Kewajiban KPU adalah menghadirkan pemilu yang transparan, independen, Luber dan Jurdil.

Jika itu telah dilakukan KPU dan akan menjadi komitmen bersama paslon, apapun hasilnya nanti, adakah alasan lain agar kita tidak terjebak ke urusan teknis administratif pemilu yang mengganggu rasa kebersamaan dan persatuan kita sebagai Anak Bangsa ?

Para penyelenggara pemilu, janganlah tidak bertindak adil, obyektif, transparan; dan profesional sehingga menjadi faktor pemicu retaknya rasa kebersamaan dan persatuan yang telah kita bangun dalam momentum kebangkitan nasional 1908.

Kepada para pendukung paslon 01 TKN dan 02 BPN, janganlah gelap mata, melanggar etika moral dengan melakukan tindakan manipulasi, rekayasa, dan kecurangan di pemilu atau menebar virus hoax. Percayakan kepada penyelenggara pemilu untuk bekerja sesuai dengan perintah Undang-undang. Jika dirasa ada yang janggal, bukalah ruang diskusi untuk mempertemukan hati, demi melahirkan pemilu yang berintegritas.

Jika selanjutnya, setelah proses tabayyun dilakukan, ada yang tidak dapat menyetujui keputusan KPU, dapat menggungat ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengadilan terakhir yang keputusannya bersifat mengikat, tidak bisa digugat lagi.

Kalau tidak mau menggunakan jalur konstitusional, lalu memakai jalur apa ? People power? Aksi massa?

Lalu, jika terjadi kontra people power, kontra aksi massa dengan mobilisasi massa, tegahkah kita melihat sesama Anak Bangsa saling tikam di konflik horisontal yang berlumuran darah?

Dulu, darah dan nyawa pahlawan direlakan untuk merebut kemerdekaan. Apakah sekarang, darah dan nyawa Anak Bangsa dipertaruhkan sekedar untuk perebutan kekuasaan yang tidak abadi?

Dulu, rasa saling mengisi dan menerima antar kelompok organisasi, agama, suku, dan etnis melahirkan kebersamaan dan kekuatan patriotisme melawan kolonialisme. Apakah sekarang, kebersamaan itu dikalahkan oleh egoisme antar kelompok yang sektarian sehingga meluluh-lantakkan rasa nasionalisme Indonesia ?

Jika berkuasa di atas tumpukan mayat rakyat sendiri dan bau anyir darah rakyat tak berdosa, apakah kekuasaan itu akan dapat membawa kebaikan dan manfaat, baik untuk diri Sang Penguasa sendiri, rakyat, bangsa dan negara?

Oleh karena itu, marilah berpikir jernih. Membuang nafsu amarah kekuasaan. Mengikis egoisme identitas kelompok.

Marilah kita menuju mesin waktu mengarungi ke masa 1908. Gelora persatuan rakyat begitu menggema. Bangkitnya spirit nasionalisme menggetarkan jiwa. Apakah kita tidak rindu dengan suasana seperti itu untuk membawa Indonesia pada peradaban kemanusiaan yang luhur, modern, menebar manfaat dan kebaikan.

Bagi yang memiliki hati nurani kebangsaan, rasa rindu itu pasti ada.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru