Selasa, 15 Juli 2025

Romo Benny: Era “Partai Gincu”, Politik Hanya Diisi Pedagang & Prajurit

Antonius Benny Susetyo (Romo Benny) (Ist).

PARTAI politik (parpol), selama ini kita berharap banyak padanya. Ia tak sekadar menjadi wadah untuk meraih kekuasaan semata. Lebih dari itu, kita berhasrat, parpol bisa memerankan fungsi strategisnya, sebagai institusi yang mendorong tegak-kukuhnya demokrasi ideal di negeri ini: Demokrasi Pancasila.

Namun sayang, peran itu kini kian memudar. Partai lebih senang memoles dirinya dengan “gincu”; rajin mendorong popularitas untuk meraup elektabilitas, tapi miskin substansi dan kaderisasi. Tak keliru, jika kemudian muncul istilah “partai gincu”.

Hal inilah yang juga dirisaukan oleh Antonius Benny Susetyo, seorang agamawan Katolik yang rajin mengampanyekan Pancasila, dasar kita berbangsa dan bernegara. Romo Benny, begitu ia biasa disapa, merindukan situasi politik seperti tahun 1955. Kala itu, pendidikan humanis para politisi-negarawan begitu menghiasi kehidupan Demokrasi Pancasila kita. Bagi generasi 1955, menjadi politisi adalah sekaligus menjadi seorang filsuf. Maka mereka selalu bicara substansi, tidak seperti saat ini, politik hanya diisi pedagang dan prajurit. 

Dengan kata lain, politik hari ini acap kali tanpa argumentasi, tanpa gagasan. Politik seolah selesai pada aspek yang sangat material, duit. Romo Benny lalu merujuk Socrates dan Plato, politisi sekaligus filsuf. Di tahun 1955, bentuk dan wajah politisi kala itu nyaris serupa mereka, juga seorang filsuf. Hasilnya, perdebatan yang dihasilkan sangat menarik, argumentasi selalu mengacu pada logika, mereka sama sekali tidak emosional. Mereka juga tidak pernah menggunakan agama sebagai isu, sebab mereka kaya akan ide. 

Wartawan rilis.id Taufiq Saifuddin mendapatkan kesempatan untuk mengulas persoalan ini bersama Romo Benny di Plaza Indonesia, Jakarta pada Rabu (20/9). Dan dimuat kembali oleh Bergelora.com di Jakarta Sabtu (23/9). Berikut petikan wawancaranya.

Banyak orang mengatakan praktik politik di Indonesia belakangan seperti gincu, tampak warnanya tapi miskin substansi. Bermunculanlah “partai gincu”, lalu belakangan politik identitas juga kembali menyeruak. Tanggapan Anda? 

Kalau dalam teori komunikasi media, itu disebut gejala komodifikasi. Artinya, kalau trennya agama, maka agama itu yang dijual, kalau suku tertentu berarti suku itu juga yang dijual oleh partai politik. Ini kepentingannya memang diperuntukkan dalam pertarungan politik dan ekonomi. Cuma, kita harus paham bahwa yang memainkan ini hanya kelompok kecil sebenarnya. Kelompok-kelompok kecil inilah yang tidak mau menjalankan Pancasila. Mungkin karena mereka tidak mau fair play, tidak mau bersikap jujur, tidak punya integritas, akhirnya isu semacam ini yang dipergunakan. 

Komodifikasi itu yang membakar masyarakat, karena masyarakat pun di satu sisi memang belum melek teknologi. Akhirnya, seperti gincu itu tadi, masalah tidak dilihat secara kritis. Theodor Adorno (sosiolog dan filsuf Jerman) selalu mengatakan, abad ini adalah dominasi budaya teknologi. Dalam teologi Jurgen Habermas (filsuf Jerman), teknologi itu kerap kali mengasingkan kita dari realitas. Dari dua teori ini, kita bisa menyimpulkan, pertama, masyarakat kita itu budayanya instan; kedua, masyarakat tidak kritis karena tidak ada pendidikan kritis. 

Hal itu juga diperparah dengan kondisi masyarakat kita yang gampang percaya pada hal yang spekulatif. Akhirnya, isu yang sebenarnya hanya gincu tadi dikapitalisasi, seolah-olah terjadi sesuatu yang mengancam, padahal ini kekuatan kecil. Siapa yang mem-back up, mereka yang kekuasaannya perlahan tergeser. Melalui komodifkasi, SARA menjadi alat politik, seolah punya nilai ekonomi untuk menjatuhkan lawan politik. Dan itu terbukti sekarang, penggerak politik gincu ini adalah jaringan bisnis dan politik. 

Komodifikasi itu selalu identik dengan budaya instan yang dalam teori pop culture disebut budaya massa? 

Ya, memang seperti itu, budaya massa itu seleranya rendah dan penggeraknya adalah modal atau kapital. Cukongnya mereka yang terganggu posisi ekonomi dan politiknya. Jadi kalau bicara tentang negara, ada partai politik yang berkuasa dan menyebut kekuatan ini sebagai tangan-tangan tersembunyi. Tangan-tangan siapa itu, ya kapitalisme. Mereka tergusur karena tidak mendapatkan manfaat lagi, atau istilah konkretnya proyek. Mereka inilah yang mengapitalisasi isu SARA. 

Politik gincu atau partai gincu bila ditarik ke arah yang lebih luas tidak bisa lepas dari agama. Sejauh mana peran agamawan dalam mengayomi kekuasaan? 

Agama harus kembali menjadi inspirasi dan bukan hanya aspirasi. Kalau agama menjadi inspirasi dalam politik, maka politik pasti tertuju pada kesejahteraan rakyat dan bukan memperkaya perorangan atau kelompok. Tapi karena saat ini agama menjadi aspirasi, maka politik menjadi kotor, politik tidak mampu mewujudkan perilaku. 

Di tahun 1955, sangat jelas sekali politik tidak menjadi komoditas ekonomi dan bisnis. Politik justru menjadi keutamaan, yang disebut oleh Socrates bahwa keutamaan dalam politik adalah integritas di atas segala-galanya. Saat itu, kalau politisinya gagal, mereka mundur. Dulu orang tidak mau menggunakan mobil dinas untuk ke pasar, pantang menggunakan fasilitas negara di luar pekerjaannya, karena mereka punya keutamaan. Orde Baru keutamaan itu hilang karena materi. Politik kita sekarang menjadi sangat materialistis, tidak ada nilai, akhirnya hilanglah keutamaan itu.

Banyak orang menjadikan kasus 1955 sebagai produk politik demokrasi di Indonesia paling bagus. Para tokoh agama bergandengan, berdebat dengan sengit, tapi menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalau semangat ini dibawa ke konteks hari ini? 

Harus dicatat, saat itu mereka mampu melakukan itu semua karena masifnya pendidikan humanis. Mereka berpolitik sekaligus menjadi seorang filsuf. Maka, mereka selalu bisa bicara substansi, lah sekarang politik kita hanya diisi pedagang dan prajurit. 

Mereka lahir dari pergerakan dan mendapatkan pendidikan kritis. Orde Baru generasi ini digantikan oleh para birokrat. Era Reformasi lebih tidak jelas lagi, semuanya didominasi pedagang dan prajurit. Dengan kata lain, politik kita hari ini jarang sekali diwarnai politik argumentasi dan gagasan, seperti gincu itu tadi. Akhirnya, politik semakin materialistis, apa-apa mesti pakai duit. 

Itulah yang terjadi. Sehingga, Socrates dan Plato mengatakan, menjadi politisi berarti Anda sedang menjadi filsuf secara bersamaan. Di tahun 1955 itu, politisinya filsuf semua. Sehingga, perdebatannya menarik. Mereka menggunakan argumentasi dan logika. Sama sekali tidak emosional. Mereka tidak mau menggunakan agama sebagai isu karena mereka kaya akan gagasan. 

Sekarang ini, memang kita harus akui, politik gincu sedang merebak. Politisi kita miskin gagasan, tidak punya budaya baca, selera rendah, akhirnya agama yang sering kali dipakai. 

Artinya, politik gincu yang menyeruak ini disebabkan oleh kedangkalan partai politik dan politisi kita?

Ya, karena kedangkalan. Sebab, politik kita tidak menghasilkan filsuf, tapi pedagang dan prajurit. Kita sedang menghadapi persoalan. Ditambah lagi budaya instan. Arus global begitu sangat derasnya bersamaan dengan kultur teknologi. Tapi kita tidak siap dengan itu, politik kita seolah tanpa arah, tanpa tujuan. 

Itu yang saya rumuskan dalam buku Orde Para Bandit, yang oleh Joko Pekik dalam lukisannya digambarkan dengan Celeng yang Rakus. Tidak mudah mengembalikan Pancasila menjadi bintang pengarah dan menjadi etika politik di tengah arus zaman seperti ini. 

Kalau bicara Pancasila, saat ini ada semacam keterputusan, memori kolektif generasi milenial terkadang tidak sampai pada diskursus Pancasila. Beberapa waktu lalu, UKP-Pancasila sempat memunculkan 72 ikon berprestasi, apakah seperti itu cara membangkitkan diskursus Pancasila kembali?

Pancasila itu tantangannya pada siapa sih, ya tentu saja generasi milenial. Generasi ini tidak akan bicara historisitas Pancasila, mungkin saja mereka memang ahistoris. Sementara tumpuan politik nasional kita ada di tangan mereka. Karena itu, Pancasila harus dibahas dan digali melalui budaya milenial dan harus populer. Generasi milenial kan suka pada public figure, orang yang berprestasi dan orang yang punya kemampuan lebih di bidangnya. Orang-orang seperti inilah yang menjadi acuan dan keteladanan mereka. 

Jadi sudah tepat juga UKP-Pancasila menampilkan 72 ikon berprestasi itu dalam bahasa generasi milenial. Ikon ini yang jadi corong membumikan kembali Pancasila. Contohnya seperti juara bulu tangkis, siapa yang tidak kenal Lyliana Natsir. Generasi milenial akan mengatakan bahwa Lyliana itu Pancasilais karena dia membela bangsa, dedikasinya luar biasa dan prestasinya mengharumkan nama bangsa. Untuk ikon politik praktis memang belum ditampilkan, mungkin karena di bidang ini kita miskin keteladanan. 

Itulah yang disebut Pancasila sebagai habitus, artinya, sesuatu yang dibatinkan dalam perilaku dan perbuatan. Sekaligus bisa dicontoh dan dapat diteladani. Bentuknya konkret. Anak muda sekarang tipikalnya demikian itu. Kalau politik yang dipraktikkan parpol kita seperti gincu, mana ada yang mau melirik. 

Kembali ke partai gincu, saat ini Pancasila tidak lagi dipahami sebagai ideologi, melainkan alat kekuasaan. Bagaimana Pancasila itu hadir sebagai habitus di langgam politik kita? 

Hal itu terjadi di Orde Baru, Pancasila ditafsirkan tunggal demi kepentingan mempertahankan rezim. Seperti kasus Kedung Monggo di Malang, saat itu orang menuntut haknya lalu dituduh anti-Pancasila, seperti itulah ideologi negara menjadi sebatas gincu dan alat politik. 

Sekali lagi, Pancasila harus menjadi habitus. Kalau dikontekskan dalam politik, maka ia hadir dalam perilaku. Seperti yang dilakukan Garin Nugroho dan Putu Wijaya, mereka menghayati Pancasila lewat karya-karya seninya. Mengingatkan penguasa akan arti Pancasila dalam kehidupan demokrasi kita. Ada lagi saintis, Dokter Taruna Ikrar, yang melakukan penemuan baru di bidang medis, seperti inilah makna nasionalisme. Di politik praktis, sejak Reformasi, kita belum menemukan figur Pancasilais seperti tokoh di bidang yang saya sebutkan tadi.  

Ringkasnya, politik tanpa gincu itu ya berdasar pada Pancasila. Sederhananya, Pancasila itu adalah gotong-royong. Kosa kata ini tidak ada di kamus mana pun selain Indonesia. Gotong-royong untuk apa, untuk memberi kesejahteraan, melahirkan solusi pada kemiskinan, solusi pada ketidakadilan, begitu juga pada struktur yang menindas. Pancasila adalah tindakan, itulah habitus. Kalau Pancasila jadi habitus, maka ia hadir dalam batin dan pengamalan. 

Jika ide ini diturunkan dalam bentuk konkret program di wilayah politik praktis, bagaimana memasukkannya ke dalam parpol dan pemerintah? 

Kita harus mendorong Pancasila menjadi kebijakan. Partai politik dan pemerintah berani merumuskan ini. Misalnya program ekonomi yang berdasarkan Pancasila itu seperti apa. Politikus yang Pancasilais siapa sih, ya mereka yang tidak menjadi benalu negara. Garis politiknya tidak korup dan tidak membuat kegaduhan. 

Maka, ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berbagi. Tidak mencaplok dan tidak mendominasi. Prinsipnya adalah solidaritas dan kesetiakawanan. Contohnya seperti yang dibuat Pak Bambang Ismawan (tokoh sosiopreneur bidang koperasi dan ekonomi mikro), serupa itulah ekonomi Pancasila. Beliau memperhatikan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, buruh, dan nelayan. 

Lalu, ada juga Jacob Oetama yang tradisi perusahaannya mencirikan semangat Pancasila. Jadi banyak contoh yang bisa dipakai. Bukanlah ekonomi Pancasila itu seperti komunisme atau kapitalisme. Zaman kita ini adalah zaman yang disebut oleh Giddens sebagai jalan tengah. Pancasila itu jalan tengah. Di antara kapitalisme dan sosialisme, Pancasila berada di tengah. 

Pancasila di bidang ekonomi soko gurunya adalah koperasi. Cuma bukan koperasi seperti saat ini, yang hanya menjadi alat bagi pengurusnya. Koperasi yang dimaksud adalah yang betul-betul membangkitkan ekonomi seperti yang digagas Bung Hatta dulu. Ini malah sekarang dipraktikkan di Jerman. Ekonomi Pancasila adalah suatu bentuk praktik ekonomi yang betul-betul dijalankan dengan cara musyawarah- mufakat. 

Maraknya politik dinasti, apa juga disebut politik gincu? 

Ini problem kita sejak era Reformasi bergulir, sebab kita gagal mengejawantahkan konsep politik kenegarawanan. Politik gincu itu kan ibarat politik aji mumpung, seperti itulah dinasti keluarga di daerah menggerus nilai Pancasila kita dan dengan bengis menggerus esensi mendasar dari politik. Dinasti politik lahir dari budaya feodal. Itu warisan dari masyarakat agraris yang mengultuskan seseorang. Mengapa ini terjadi, karena kita gagal membangun apa yang disebut aufklarung atau pencerahan politik. 

Dinasti ini apa kelanjutan dari sisa-sisa kerajaan atau kesultanan lokal?

Saat ini, justru trennya berbeda, hampir semuanya politik gincu di aras lokal itu digerakkan oleh modal. Kalau dulu, penguasa atau dinasti lokal itu adalah mereka yang memiliki gelar bangsawan, kemudian beralih menjadi orang yang memiliki gelar pendidikan. Saat ini, peralihan itu begitu sangat drastis ke orang yang punya uang. Kalau punya duit, preman pun bisa jadi ketua partai politik. 

Terjadilah apa yang disebut pergeseran nilai, ada loncatan yang sangat jauh. Ketika mereka menggunakan teknologi yang tanpa narasi, tanpa arah, maka teknologi itu menjadi pelepas hajat untuk menipu orang. Sekarang ini kan, dengan mata kepala, kita melihat bagaimana orang yang tidak punya pendidikan, pengalaman manajemen, hanya dengan modal nekat mampu menggunakan sistem kekuasaan. 

Berarti praktik politik gincu telah bermigrasi masuk ke dalam kekuasaan di level daerah sampai nasional? 

Inilah tantangan kita saat ini. Kita tentu tidak perlu pesimis. Jalan yang bisa kita lakukan adalah membangun keadaban politik. Keadaban politik hanya bisa dibenahi dengan membangun sistem. Partai harus punya rekrutmen yang bagus, partai juga harus jelas kaderisasinya. Di samping itu, partai pun harus jelas ideologinya, begitu juga dengan visi dan misinya. 

Dan itu harusnya menjadi tanggung jawab bersama. Maka, harus ada proses penyadaran publik lewat pendidikan politik dan bagaimana politik itu harus menjalankan etika Pancasila. Fungsi UKP-Pancasila sendiri harus memberi guidance

Bicara soal keadaban politik, kita tentu bicara soal seleksi politik. Peran apa yang bisa dilakukan? 

Kalau posisi saya sebagai agamawan, maka kembalikan fungsi agamawan sebagai agen profetik, bukan sebagai politisi. Kebanyakan agamawan masih menjadi politisi. Maka tak jarang ada yang menjual produk agama, padahal agamawan itu bertugas menjalankan fungsi kenabian. Dia mengoreksi dan menegur, tapi dia tidak masuk ke dalam ruang politik. Itu yang disebut fungsi profetik. Ini yang hilang sekarang. 

 

Romo Benny: Era “Partai Gincu”, Politik Hanya Diisi Pedagang & Prajurit

Antonius Benny Susetyo (Romo Benny).

PARTAI politik (parpol), selama ini kita berharap banyak padanya. Ia tak sekadar menjadi wadah untuk meraih kekuasaan semata. Lebih dari itu, kita berhasrat, parpol bisa memerankan fungsi strategisnya, sebagai institusi yang mendorong tegak-kukuhnya demokrasi ideal di negeri ini: Demokrasi Pancasila.

Namun sayang, peran itu kini kian memudar. Partai lebih senang memoles dirinya dengan “gincu”; rajin mendorong popularitas untuk meraup elektabilitas, tapi miskin substansi dan kaderisasi. Tak keliru, jika kemudian muncul istilah “partai gincu”.

Hal inilah yang juga dirisaukan oleh Antonius Benny Susetyo, seorang agamawan Katolik yang rajin mengampanyekan Pancasila, dasar kita berbangsa dan bernegara. Romo Benny, begitu ia biasa disapa, merindukan situasi politik seperti tahun 1955. Kala itu, pendidikan humanis para politisi-negarawan begitu menghiasi kehidupan Demokrasi Pancasila kita. Bagi generasi 1955, menjadi politisi adalah sekaligus menjadi seorang filsuf. Maka mereka selalu bicara substansi, tidak seperti saat ini, politik hanya diisi pedagang dan prajurit. 

Dengan kata lain, politik hari ini acap kali tanpa argumentasi, tanpa gagasan. Politik seolah selesai pada aspek yang sangat material, duit. Romo Benny lalu merujuk Socrates dan Plato, politisi sekaligus filsuf. Di tahun 1955, bentuk dan wajah politisi kala itu nyaris serupa mereka, juga seorang filsuf. Hasilnya, perdebatan yang dihasilkan sangat menarik, argumentasi selalu mengacu pada logika, mereka sama sekali tidak emosional. Mereka juga tidak pernah menggunakan agama sebagai isu, sebab mereka kaya akan ide. 

Wartawan rilis.id Taufiq Saifuddin mendapatkan kesempatan untuk mengulas persoalan ini bersama Romo Benny di Plaza Indonesia, Jakarta pada Rabu (20/9). Dan dimuat kembali oleh Bergelora.com di Jakarta SaBTU (23/9). Berikut petikan wawancaranya.

Banyak orang mengatakan praktik politik di Indonesia belakangan seperti gincu, tampak warnanya tapi miskin substansi. Bermunculanlah “partai gincu”, lalu belakangan politik identitas juga kembali menyeruak. Tanggapan Anda? 

Kalau dalam teori komunikasi media, itu disebut gejala komodifikasi. Artinya, kalau trennya agama, maka agama itu yang dijual, kalau suku tertentu berarti suku itu juga yang dijual oleh partai politik. Ini kepentingannya memang diperuntukkan dalam pertarungan politik dan ekonomi. Cuma, kita harus paham bahwa yang memainkan ini hanya kelompok kecil sebenarnya. Kelompok-kelompok kecil inilah yang tidak mau menjalankan Pancasila. Mungkin karena mereka tidak mau fair play, tidak mau bersikap jujur, tidak punya integritas, akhirnya isu semacam ini yang dipergunakan. 

Komodifikasi itu yang membakar masyarakat, karena masyarakat pun di satu sisi memang belum melek teknologi. Akhirnya, seperti gincu itu tadi, masalah tidak dilihat secara kritis. Theodor Adorno (sosiolog dan filsuf Jerman) selalu mengatakan, abad ini adalah dominasi budaya teknologi. Dalam teologi Jurgen Habermas (filsuf Jerman), teknologi itu kerap kali mengasingkan kita dari realitas. Dari dua teori ini, kita bisa menyimpulkan, pertama, masyarakat kita itu budayanya instan; kedua, masyarakat tidak kritis karena tidak ada pendidikan kritis. 

Hal itu juga diperparah dengan kondisi masyarakat kita yang gampang percaya pada hal yang spekulatif. Akhirnya, isu yang sebenarnya hanya gincu tadi dikapitalisasi, seolah-olah terjadi sesuatu yang mengancam, padahal ini kekuatan kecil. Siapa yang mem-back up, mereka yang kekuasaannya perlahan tergeser. Melalui komodifkasi, SARA menjadi alat politik, seolah punya nilai ekonomi untuk menjatuhkan lawan politik. Dan itu terbukti sekarang, penggerak politik gincu ini adalah jaringan bisnis dan politik. 

Komodifikasi itu selalu identik dengan budaya instan yang dalam teori pop culture disebut budaya massa? 

Ya, memang seperti itu, budaya massa itu seleranya rendah dan penggeraknya adalah modal atau kapital. Cukongnya mereka yang terganggu posisi ekonomi dan politiknya. Jadi kalau bicara tentang negara, ada partai politik yang berkuasa dan menyebut kekuatan ini sebagai tangan-tangan tersembunyi. Tangan-tangan siapa itu, ya kapitalisme. Mereka tergusur karena tidak mendapatkan manfaat lagi, atau istilah konkretnya proyek. Mereka inilah yang mengapitalisasi isu SARA. 

Politik gincu atau partai gincu bila ditarik ke arah yang lebih luas tidak bisa lepas dari agama. Sejauh mana peran agamawan dalam mengayomi kekuasaan? 

Agama harus kembali menjadi inspirasi dan bukan hanya aspirasi. Kalau agama menjadi inspirasi dalam politik, maka politik pasti tertuju pada kesejahteraan rakyat dan bukan memperkaya perorangan atau kelompok. Tapi karena saat ini agama menjadi aspirasi, maka politik menjadi kotor, politik tidak mampu mewujudkan perilaku. 

Di tahun 1955, sangat jelas sekali politik tidak menjadi komoditas ekonomi dan bisnis. Politik justru menjadi keutamaan, yang disebut oleh Socrates bahwa keutamaan dalam politik adalah integritas di atas segala-galanya. Saat itu, kalau politisinya gagal, mereka mundur. Dulu orang tidak mau menggunakan mobil dinas untuk ke pasar, pantang menggunakan fasilitas negara di luar pekerjaannya, karena mereka punya keutamaan. Orde Baru keutamaan itu hilang karena materi. Politik kita sekarang menjadi sangat materialistis, tidak ada nilai, akhirnya hilanglah keutamaan itu.

Banyak orang menjadikan kasus 1955 sebagai produk politik demokrasi di Indonesia paling bagus. Para tokoh agama bergandengan, berdebat dengan sengit, tapi menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalau semangat ini dibawa ke konteks hari ini? 

Harus dicatat, saat itu mereka mampu melakukan itu semua karena masifnya pendidikan humanis. Mereka berpolitik sekaligus menjadi seorang filsuf. Maka, mereka selalu bisa bicara substansi, lah sekarang politik kita hanya diisi pedagang dan prajurit. 

Mereka lahir dari pergerakan dan mendapatkan pendidikan kritis. Orde Baru generasi ini digantikan oleh para birokrat. Era Reformasi lebih tidak jelas lagi, semuanya didominasi pedagang dan prajurit. Dengan kata lain, politik kita hari ini jarang sekali diwarnai politik argumentasi dan gagasan, seperti gincu itu tadi. Akhirnya, politik semakin materialistis, apa-apa mesti pakai duit. 

Itulah yang terjadi. Sehingga, Socrates dan Plato mengatakan, menjadi politisi berarti Anda sedang menjadi filsuf secara bersamaan. Di tahun 1955 itu, politisinya filsuf semua. Sehingga, perdebatannya menarik. Mereka menggunakan argumentasi dan logika. Sama sekali tidak emosional. Mereka tidak mau menggunakan agama sebagai isu karena mereka kaya akan gagasan. 

Sekarang ini, memang kita harus akui, politik gincu sedang merebak. Politisi kita miskin gagasan, tidak punya budaya baca, selera rendah, akhirnya agama yang sering kali dipakai. 

Artinya, politik gincu yang menyeruak ini disebabkan oleh kedangkalan partai politik dan politisi kita?

Ya, karena kedangkalan. Sebab, politik kita tidak menghasilkan filsuf, tapi pedagang dan prajurit. Kita sedang menghadapi persoalan. Ditambah lagi budaya instan. Arus global begitu sangat derasnya bersamaan dengan kultur teknologi. Tapi kita tidak siap dengan itu, politik kita seolah tanpa arah, tanpa tujuan. 

Itu yang saya rumuskan dalam buku Orde Para Bandit, yang oleh Joko Pekik dalam lukisannya digambarkan dengan Celeng yang Rakus. Tidak mudah mengembalikan Pancasila menjadi bintang pengarah dan menjadi etika politik di tengah arus zaman seperti ini. 

Kalau bicara Pancasila, saat ini ada semacam keterputusan, memori kolektif generasi milenial terkadang tidak sampai pada diskursus Pancasila. Beberapa waktu lalu, UKP-Pancasila sempat memunculkan 72 ikon berprestasi, apakah seperti itu cara membangkitkan diskursus Pancasila kembali?

Pancasila itu tantangannya pada siapa sih, ya tentu saja generasi milenial. Generasi ini tidak akan bicara historisitas Pancasila, mungkin saja mereka memang ahistoris. Sementara tumpuan politik nasional kita ada di tangan mereka. Karena itu, Pancasila harus dibahas dan digali melalui budaya milenial dan harus populer. Generasi milenial kan suka pada public figure, orang yang berprestasi dan orang yang punya kemampuan lebih di bidangnya. Orang-orang seperti inilah yang menjadi acuan dan keteladanan mereka. 

Jadi sudah tepat juga UKP-Pancasila menampilkan 72 ikon berprestasi itu dalam bahasa generasi milenial. Ikon ini yang jadi corong membumikan kembali Pancasila. Contohnya seperti juara bulu tangkis, siapa yang tidak kenal Lyliana Natsir. Generasi milenial akan mengatakan bahwa Lyliana itu Pancasilais karena dia membela bangsa, dedikasinya luar biasa dan prestasinya mengharumkan nama bangsa. Untuk ikon politik praktis memang belum ditampilkan, mungkin karena di bidang ini kita miskin keteladanan. 

Itulah yang disebut Pancasila sebagai habitus, artinya, sesuatu yang dibatinkan dalam perilaku dan perbuatan. Sekaligus bisa dicontoh dan dapat diteladani. Bentuknya konkret. Anak muda sekarang tipikalnya demikian itu. Kalau politik yang dipraktikkan parpol kita seperti gincu, mana ada yang mau melirik. 

Kembali ke partai gincu, saat ini Pancasila tidak lagi dipahami sebagai ideologi, melainkan alat kekuasaan. Bagaimana Pancasila itu hadir sebagai habitus di langgam politik kita? 

Hal itu terjadi di Orde Baru, Pancasila ditafsirkan tunggal demi kepentingan mempertahankan rezim. Seperti kasus Kedung Monggo di Malang, saat itu orang menuntut haknya lalu dituduh anti-Pancasila, seperti itulah ideologi negara menjadi sebatas gincu dan alat politik. 

Sekali lagi, Pancasila harus menjadi habitus. Kalau dikontekskan dalam politik, maka ia hadir dalam perilaku. Seperti yang dilakukan Garin Nugroho dan Putu Wijaya, mereka menghayati Pancasila lewat karya-karya seninya. Mengingatkan penguasa akan arti Pancasila dalam kehidupan demokrasi kita. Ada lagi saintis, Dokter Taruna Ikrar, yang melakukan penemuan baru di bidang medis, seperti inilah makna nasionalisme. Di politik praktis, sejak Reformasi, kita belum menemukan figur Pancasilais seperti tokoh di bidang yang saya sebutkan tadi.  

Ringkasnya, politik tanpa gincu itu ya berdasar pada Pancasila. Sederhananya, Pancasila itu adalah gotong-royong. Kosa kata ini tidak ada di kamus mana pun selain Indonesia. Gotong-royong untuk apa, untuk memberi kesejahteraan, melahirkan solusi pada kemiskinan, solusi pada ketidakadilan, begitu juga pada struktur yang menindas. Pancasila adalah tindakan, itulah habitus. Kalau Pancasila jadi habitus, maka ia hadir dalam batin dan pengamalan. 

Jika ide ini diturunkan dalam bentuk konkret program di wilayah politik praktis, bagaimana memasukkannya ke dalam parpol dan pemerintah? 

Kita harus mendorong Pancasila menjadi kebijakan. Partai politik dan pemerintah berani merumuskan ini. Misalnya program ekonomi yang berdasarkan Pancasila itu seperti apa. Politikus yang Pancasilais siapa sih, ya mereka yang tidak menjadi benalu negara. Garis politiknya tidak korup dan tidak membuat kegaduhan. 

Maka, ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berbagi. Tidak mencaplok dan tidak mendominasi. Prinsipnya adalah solidaritas dan kesetiakawanan. Contohnya seperti yang dibuat Pak Bambang Ismawan (tokoh sosiopreneur bidang koperasi dan ekonomi mikro), serupa itulah ekonomi Pancasila. Beliau memperhatikan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, buruh, dan nelayan. 

Lalu, ada juga Jacob Oetama yang tradisi perusahaannya mencirikan semangat Pancasila. Jadi banyak contoh yang bisa dipakai. Bukanlah ekonomi Pancasila itu seperti komunisme atau kapitalisme. Zaman kita ini adalah zaman yang disebut oleh Giddens sebagai jalan tengah. Pancasila itu jalan tengah. Di antara kapitalisme dan sosialisme, Pancasila berada di tengah. 

Pancasila di bidang ekonomi soko gurunya adalah koperasi. Cuma bukan koperasi seperti saat ini, yang hanya menjadi alat bagi pengurusnya. Koperasi yang dimaksud adalah yang betul-betul membangkitkan ekonomi seperti yang digagas Bung Hatta dulu. Ini malah sekarang dipraktikkan di Jerman. Ekonomi Pancasila adalah suatu bentuk praktik ekonomi yang betul-betul dijalankan dengan cara musyawarah- mufakat. 

Maraknya politik dinasti, apa juga disebut politik gincu? 

Ini problem kita sejak era Reformasi bergulir, sebab kita gagal mengejawantahkan konsep politik kenegarawanan. Politik gincu itu kan ibarat politik aji mumpung, seperti itulah dinasti keluarga di daerah menggerus nilai Pancasila kita dan dengan bengis menggerus esensi mendasar dari politik. Dinasti politik lahir dari budaya feodal. Itu warisan dari masyarakat agraris yang mengultuskan seseorang. Mengapa ini terjadi, karena kita gagal membangun apa yang disebut aufklarung atau pencerahan politik. 

Dinasti ini apa kelanjutan dari sisa-sisa kerajaan atau kesultanan lokal?

Saat ini, justru trennya berbeda, hampir semuanya politik gincu di aras lokal itu digerakkan oleh modal. Kalau dulu, penguasa atau dinasti lokal itu adalah mereka yang memiliki gelar bangsawan, kemudian beralih menjadi orang yang memiliki gelar pendidikan. Saat ini, peralihan itu begitu sangat drastis ke orang yang punya uang. Kalau punya duit, preman pun bisa jadi ketua partai politik. 

Terjadilah apa yang disebut pergeseran nilai, ada loncatan yang sangat jauh. Ketika mereka menggunakan teknologi yang tanpa narasi, tanpa arah, maka teknologi itu menjadi pelepas hajat untuk menipu orang. Sekarang ini kan, dengan mata kepala, kita melihat bagaimana orang yang tidak punya pendidikan, pengalaman manajemen, hanya dengan modal nekat mampu menggunakan sistem kekuasaan. 

Berarti praktik politik gincu telah bermigrasi masuk ke dalam kekuasaan di level daerah sampai nasional? 

Inilah tantangan kita saat ini. Kita tentu tidak perlu pesimis. Jalan yang bisa kita lakukan adalah membangun keadaban politik. Keadaban politik hanya bisa dibenahi dengan membangun sistem. Partai harus punya rekrutmen yang bagus, partai juga harus jelas kaderisasinya. Di samping itu, partai pun harus jelas ideologinya, begitu juga dengan visi dan misinya. 

Dan itu harusnya menjadi tanggung jawab bersama. Maka, harus ada proses penyadaran publik lewat pendidikan politik dan bagaimana politik itu harus menjalankan etika Pancasila. Fungsi UKP-Pancasila sendiri harus memberi guidance

Bicara soal keadaban politik, kita tentu bicara soal seleksi politik. Peran apa yang bisa dilakukan? 

Kalau posisi saya sebagai agamawan, maka kembalikan fungsi agamawan sebagai agen profetik, bukan sebagai politisi. Kebanyakan agamawan masih menjadi politisi. Maka tak jarang ada yang menjual produk agama, padahal agamawan itu bertugas menjalankan fungsi kenabian. Dia mengoreksi dan menegur, tapi dia tidak masuk ke dalam ruang politik. Itu yang disebut fungsi profetik. Ini yang hilang sekarang. 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru