Oleh: Dr. Ir. Justiani, M.Sc.*
PADA masa Orde Baru, kapitalisme Indonesia dibangun oleh sekumpulan keluarga pengusaha yang menduduki jabatan di lembaga-lembaga negara dan memanfaatkan kedekatan mereka dengan kekuasaan untuk mendapatkan akses terhadap modal dan sumber daya yang luas untuk memperkaya kerajaan bisnis mereka melalui serangkaian monopoli dan korupsi (Ricklefs, 1981). Sehingga kapitalisme di Indonesia bukanlah kapitalisme yang bersumber dari hukum akumulasi kapital dengan persaingan bebas yang mengandaikan negara hanya menjadi regulator, sebaliknya negara (kekuasaan) membesarkan sejumlah kecil pebisnis.
Sementara ini reformasi 1998 tidak melakukan hal yang mendasar sehingga paska reformasi, aktor-aktor kuat yang diasuh Soeharto mulai membangun kekuatan baru dengan memanfaatkan semua peluang yang ada (Kadi, 2008).
Dengan adanya perubahan UU Pemilu, semua kelompok masyarakat dapat membentuk partai politik. Namun karena para birokrat politik Orde Baru – oligarki ini sudah mapan dan mempunyai sumber daya yang lebih besar, baik permodalan maupun relasi politik,– membuat mereka dengan mudah menjadi pemain politik baru di era reformasi (Winters, 2011).
Para oligarki ini memanfaatkan kedekatannya dengan kekuasaan, dengan memonopoli sistem, dan berusaha mengeksploitasi apa pun yang dimiliki negara demi keuntungan pribadi para elite. Secara paralel, Indonesia telah berkomitmen untuk berpartisipasi dalam proses globalisasi yang tidak dapat dihindari. Hasilnya, oligarki dan pemain global mensinergikan kekuatan mereka dengan kuat di Indonesia (Dixon, 2009).
Di sisi lain. Indonesia tidak bisa terlepas dari gelombang globalisasi. Globalisasi memang mempunyai banyak sisi, bisa dilihat sebagai gejala homogenisasi sekaligus membentuk hegemoni (Barevičiūte, 2010).
Homogenisasi dan Konflik
Homogenisasi merupakan gejala meningkatnya kesamaan di tingkat global. Sedangkan hegemoni adalah pemusatan kekuasaan pada suatu negara atau peradaban yang menimbulkan suatu pusat (inti), yang merupakan hasil konsolidasi pusat hegemonik, dengan pinggiran yang mengalami marginalisasi (Almeida & Chase-Dunn, 2018) (Barevičiūte,2010) (Browne & Fishwick, 1999). Fenomena ini terlihat jelas di Indonesia. Kesenjangan antara Jawa dan Luar Jawa (Dixon, 2009), antara Kota dan Desa (bahkan Pinggiran Kota) (Pamungkas, 2015), antara kelompok Super kaya dan Super miskin (Banerjee & Duflo, 2011), antara Mayoritas vs. Minoritas, antara Modern vs Pribumi (Mander & Tauli-Corpuz, 2006), antara Birokrasi vs Rakyat, yang dijalankan secara terpisah.
Gejala-gejala tersebut terlihat jelas pada wajah NKRI dalam satu dekade terakhir, yang ditandai dengan banyaknya peristiwa bentrokan kekerasan di beberapa daerah yang dilatarbelakangi oleh diskriminasi agama dan/atau ras (Pamungkas, 2015). Pembakaran Gereja Yasmin di Bogor (Sirait, 2019), pembantaian aliran Syiah di Sampang Madura (Ramadhan, 2022) (Wahid, 2015), protes besar-besaran yang ingin merobohkan patung Dewi Kwan Im di Tuban (Marta, 2017), pelarangan aliran Ahmadiyah di Jawa Timur (Rahim, 2014) (Nasution, 2008), kekerasan yang dialami warga Papua di Jawa Timur (Dispatch, 18 Agustus 2019).
Salah satu yang paling spektakuler adalah kasus GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara) yang dilakukan oleh penganut aliran bernama MILLAH ABRAHAM, dimana pelaku kekerasan tersebut adalah aparat negara, berupa pelarangan, fitnah melalui media massa, penggusuran dan penyelenggaraan eksodus besar-besaran, serta kriminalisasi pengurus-pengurusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dinyatakan bersalah, dan dijebloskan ke penjara, yang kesemuanya dilakukan secara sah dan berdasarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Kementerian (SKB=Surat Keputusan Bersama 3 Menteri) yang hingga detik ini belum pernah dicabut, apalagi negara minta maaf.
Hukum Alat Oligarki
Wajah lain NKRI adalah carut-marutnya praktek hukum yang menyebabkan pendzaliman, penyelewengan, penyelundupan, jual-beli pasal dalam praktek hukum di NKRI. Fakta bahwa banyak sekali para penegak hukum yang dirinya terbelenggu oleh mafia, karena dibesarkan/disekolahkan/bahkan mejadi jongos dan alat mafia, sebagaimana telah sangat mendalam diulas oleh selain Jeffrey Winters (USA), ada Vedi Hadiz (Australia) yang juga meneliti dan mengulas dengan mendalam bagaimana reformasi 1998 dirampok oleh oligarki selama 25 tahun belakangan ini dan kemudian memasuki ranah hukum sehingga hukum dijadikan alat sandera politik (Sukidi, Kompas 4 Juli 2024), sementara dalam bidang bisnis, hukum dijadikan alat untuk menjustifikasi penguasaan atas hak orang lain secara sah dengan cara cepat, ringkas dan paling murah sehingga seolah sah (Justiani, 2023).
Sedemikian banyaknya pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan. Bahwa hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan Masyarakat untuk transisi dari negara otoriter menjadi negara demokrasi, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, polisi diperalat oligarki, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini.
Selain hukum diperalat oleh oligarki, pada perkara secara umum, maka pihak yang taat hukum (pihak yang benar secara hukum) tidak akan mau mengeluarkan dana (sogokan) karena hal tersebut bisa dijadilan senjata oleh lawan dalam berperkara untuk membelokkan menjadi kena pasal lain alias menjadi pintu masuk kelemahan untuk dieksploitasi pihak lawan melalui rekayas perkara (jebakan batman istilahnya), alhasil penghasilan ekstra penegak hukum adalah ketika mereka yang salah secara hukum menginginkan hukum menjadi alat pembenar kesalahan/kejahatan. Disinilah proses paradox terjadi dimana penegak hukum membela kejahatan dengan membelokkan kalimat-kalimat hukum. Hal ini sering disebut dengan hukum transaksional atau dagang pasal.
Majelis Hakim disumpah untuk menegakkan keadilan di muka bumi mewakili Tuhan YME untuk memutus perkara dengan azas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Ketika ketiga unsur tersebut justru tidak terpenuhi, artinya tidak menghadirkan keadilan (karena justru hukum dipakai untuk merekayasa kasus dan mengkriminalisasi warga tak bersalah), kepastian hukum justru menjadi barang permainan (dengan adanya hal kecil/sepele yang dipanjang-panjangkan), dan azas kemanfaatan amat jelas untuk kepentingan tameng bisnis illegal mafia di berbagai bidang (artinya sama dengan kemudaratan untuk ratusan warga yang sedang memperjuangkan hak-hak perdatanya yang diinja-injak oleh mafia oligarki dengan cara yang sudah terkenal yaitu memperalat polisi, mengatur dan mengendalikan hakim, membayar politisi dan wakil rakyat bahkan petinggi di kabinet, dll.)
RUU Polri Inisiatif DPR
Dalam carut-marut seperti diatas, lahirnya RUU POLRI atas inisiatif DPR. POLRI adalah salah satu Obyek Vital yang menjadi sasaran yang sangat berpengaruh terhadap upaya peningkatan kualitas penegakan hukum di Indonesia.
POLRI adalah salah satu ujung tombak negara demokrasi, memiliki peran sentral dalam menjaga tatanan Sosial dan Hukum di dalam bermasyarakat yang salah satunya adalah menegakkan keadilan dan penegakan hukum sehingga tercapai kedamaian, ketentraman menuju kesejahteraan rakyat Indonesia. Realitanya, sangat diperlukan ekstra kerjakeras untuk memperbaiki seluruh tatanan sistem penegakan hukum di Indonesia. Hukum itu benar atau salah bukan ragu-ragu. Rakyat dibela karena benar dan takut karena salah.
Laksda TNI (Purn) Sulaeman B. Ponto, mantan Ka BAIS TNI, menjelaskan bahwa tambahan kewenangan POLRI dalam RUU Pasal 1 Ayat 7 RUU POLRI, memiliki dampak ikutan yang fatal, yakni akan membuat POLRI menangani keamanan yang bersumber dari hakikat ancaman yang datang dari luar negeri yang tidak ada di negara manapun di dunia ini. Ini adalah norma universal tata negara di bidang keamanan.
Lalu, ada lagi pasal dimana POLRI mendapat penambahan kewenangan yang merambah ke yuridikasi hukum yang telah menjadi kewenangan Lembaga Negara lainnya seperti TNI, BIN, BSSN, dan lain-lainnya. Artinya akan terjadi tumpang-tindih kewenangan yang di lapangan akan membikin potensi konflik.
Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi, SE, MM, MBA, mantan ASTER KASAD dan anggota Tim Perumus Reformasi ABRI menyampaikan bahwa dalam konsep Reformasi Internal ABRI paham keamanan sudah diubah secara mendasar, yakni transisi dari negara otoriter menjadi negara demokrasi, yang mensyaratkan adanya pemahaman keamanan sebagai output dari sistem sipil yang berlandaskan hukum sebagai pilar demokrasi. Bukan lagi TNI/POLRI sebagai alat negara untuk menjaga keamanan. Kalau hukum tegak maka outputnya adalah rakyat aman dan damai. Kalau hukum amburadul, maka itu salah satu tolok ukur kegagalan sebagai negara demokrasi.
Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus dihinakan, bukan tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa. Dengan kata lain, situasi ketidakadilan atau kegagalan mewujudkan keadilan melalui hukum menjadi salah satu titik masalah yang harus segera ditangani dan negara harus sudah memiliki blue-print untuk dapat mewujudkan seperti apa yang dicita-citakan pendiri bangsa ini.
Konsep Reformasi ABRI dimana POLRI ditempatkan sebagai bagian dari Sistem Sipil berdasar supremasi Hukum, tidak seyogyanya dikembalikan lagi sebagaimana peranan TNI-AD di jaman Orde Baru sebagai alat kekuasaan (politik dan senjata). Ketika POLRI memegang hukum lalu dipersenjatai, dan kemudian juga masuk ke ranah politik, maka pilar demokrasi menjadi runtuh, negara kembali ke tatanan otoriter dengan aktor utama POLRI. Maka, lengkaplah sudah dalam potret negativitas pengalaman bangsa dan carut-marut diatas, POLRI tampil terdepan dengan justifikasi legalitas tertuang dalam RUU POLRI. Kasihan sekali Institusi POLRI dijadikan tumbal sejarah kegagalan demokrasi secara sah.
Semoga Presiden Jokowi tidak mengirim RUU POLRI tersebut ke DPR RI, guna memberi kesempatan kepada publik dan akademisi untuk berpartisipasi, kecuali pasal perpanjangan umur pensiun dan kesejahteraan anggota baik dalam RUU POLRI dan RUU TNI itu silahkan disegerakan.
*Penulis Oleh: Dr. Ir. Justiani, M.Sc.*, Direktur Eksekutif GeMOI (Gerakan Muliakan Orang Indonesia) Centre