Kengerian dan kepanikan di tengah bencana Palu, Sigi dan Donggala di Sulawesi Tengah sulit digambarkan. Lia Somba, aktivis agraria dan wartawan Bergelora.com yang tinggal di Palu mencoba menceritakan pengalamannya dari saat peristiwa hingga saat ini di tempat pengungsian. Tulisan ini juga dimuat diakun Facebook Lia Halimun (Redaksi)
Oleh: Lia Somba
HARI ini sudah 10 Hari pasca bencana yang meluluh lantakkan tanah Kaili, Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Menuliskan cerita ini paling tidak, akan terus tersimpan dalam ingatan betapa besar kuasa Sang Khaliq Allah SWT karena semua atas kehendak-Nya.
Jum’at 28 september 2018 saat gempa pertama sekitar pukul 4 sore aku bersama bayiku Aira dan kakak merasakan getaran yang kuat dan mungkin sama dengan orang lain menganggap itu gempa biasa. Karena juga sering kami rasakan di wilayah ini.
Saat itu aku masih mencari dimana pusat gempa lewat info BMKG. Dapat kabar bahwa pusat gempa ada di wilayah Pantai Barat Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala. Istri ponakanku punya orang tua ada disana sudah menyampaikan bahwa disana banyak rumah rusak.
Membuka grup WA ada instruksi untuk cari tahu pusat gempa untuk segera menyalurkan bantuan dengan mencari tahu berapa banyak yang butuh. Karena itu biasanya tugasku maka segera mencari informasi lewat teman-teman lain yang ada diwilayah itu.
Sambil menunggu informasi aku mengajak ponakan yang pulang kantor belanja kebutuhan bayiku yakni pempers dan lainnya di swalayan tetangga kampung. Mumpung bayiku sedang tidur diayunan dan kutitip dengan ponakan yang cowok.
Di swalayan itu sambil belanja mendengar cerita karyawan yang sedang membereskan barang yang berhamburan.
Sepulang dari swalayan saya pun dapati bayiku masih terlelap tidur ditemani kakak yang sudah pulang kantor. Setelah bayiku Aira bangun pukul 17.30 sore rencana mau beri makan dan mandikan. Masih sempat ke rumah belakang membawa biskuit untuk cucuku (anak ponakan) dan ingatkan ke mamanya supaya menelpon dan ingatkan orang tuanya yang di Lende, Pantai Barat agar tetap waspada sebaiknya duduk diteras rumah saja karena sudah tua.
Kembali kerumah kakak, tempatku tinggal, sambil gendong Aira, aku angkat kipas angin dari depan tivi dibagian dapur masuk kamar bagian depan rumah beratapkan genteng. Sambil mengajak Aira bermain duduk di kasur dan aku berbaring sejenak. Aku teringat teman yang ada di Pantai Barat tepatnya Desa Tanjung Padang, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala. Nining menelpon dan aku menanyakan kondisinya dan keluarganya dan mengingatkan supaya jangan dulu masuk di rumah cukup di depan tokonya saja.
Pas ucapkan salam penutup goncangan bumi begitu kuat dan spontan aku bangun dan hanya dengan satu tangan dengan cepat saya menarik sebelah tangan bayiku Aira yang sedang duduku.
Aku berdiri sambil menggendong tangan kiri dan tangan kanan melindungi kepala bayiku khawatir dan panik karena atap genteng yang tanpa plafon tapi goncangan terasa semakin kuat.
Aku bersama Aira kembali jatuh berulang kali dan terus berteriak Allah Akbar.. Allah Akbar.. dan berteriak nama kakakku Udin…Udin.. meminta tolong. Karena saya tahu terakhir dia ada di depan tivi di dapur. Tapi suara gemuruh rumah terasa lebih besar dari suaraku.
Aku sempat tersandar dikasur springbed dekat dinding sambil terus memeluk Aira dan pasrah. Tapi tersadar bahwa saya harus selamatkan anak bayiku dan coba kembali berdiri dengan goncangan yang masih kuat.
Saat coba berdiri berusaha menjangkau pintu kamar yang sisa setengah meter yang tertutup sendiri sambil tetap memeluk kuat Aira, aku merasakan benturan tembok di kepalaku. Bahkan Aira dalam pelukanku tersandar di dinding. Ia sempat menangis dan saya berpikir mungkin dia juga terbentur.
Aku tidak putus asa untuk bisa keluar dari kamar. Ingin keluar ke dapur tapi melihat pintu ruang depan sudah terbuka sendiri aku pun lari dengan terus berteriak Allah Akbar.
Sampai teras rumah depan, aku melihat kakakku Udin sudah ada di aspal jalan lorong rumah yang ternyata hanya bisa merayap duduk menarik kakinya yang memang sudah sakit beberapa hari sebelumnya.
Aku dan aira mendekatinya. Ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, hanya berteriak agar aku mundur jauh dari pohon-pohon jambu besar yang ada di halaman. Beruntung setelah kami di jalan barulah ranting besar pohon jambu itu jatuh. Sebelumnya aku dan Aira sempat melintas di bawah pohon.
Masih di jalan lorong rumah kakak tertuaku Sonya keluar dari bagian belakang rumah karena ternyata posisinya sedang memasak di dapur. Ia ternyata sempat jatuh di pintu dapur.
Merasa sudah agak aman, meski getaran kuat masih terus terasa aku menenangkan kakak perempuanku yang bergantung dibahuku sambil menangis yang mungkin tidak sadar bahwa aku sedang menggendo Aira.
Akhirnya kakakku Udin memaksakan kakinya berdiri mendekati kami bertiga. Getaran tetap ada dan sedikit reda. Aku pun teringat ada tanah lapang bekas penjemuran gilingan padi milik tetangga depan rumah seberang jalan poros. Akupun mengajak kakakku menyeberang jalan. Teringat materi penanganan bencana dulu untuk mencari tanah lapang saat ada gempa.
Kami pun berdiri dengan kegelapan karena listrik sudah padam. Sejenak masih ada jaringan untuk hubungi teman di Palu. Teringat anakku yang kakak belum tahu kabarnya. Aku hubungi teman ternyata sudah tidak ada yang bisa berikan jawaban.
Sampai jam 7 malam ponakan aku minta untuk jemput anakku Geni yang sekolah di SDN 3 Palu. Ia biasa minta dijemput sore karena harus ikut kegiatan Pramuka.
Ponakanku Lela datang sendirian tanpa adiknya. Aku pun menangis karena dia bilang tidak sempat jemput Geni. Karena akses jalan dalam kota Palu sudah kacau dan tertutup. Bahkan Mall Tatura roboh dan ponakanku memilih untuk balik ke Dolo.
Melihat aku menangis karena tidak tahu kabar anakku yang saya yakin pulang habis pramuka singgah ke kantor ayahnya di Kantor DPW NasDem. Maka ponakan yang baru pulang ajak kakaknya yang cowok balik lagi ke Palu untuk cari kabar Geni.
Setelah 30 menit mereka berangkat tapi kenapa sudah balik lagi. Ternyata akses jalan Dolo-Palu tertutup lumpur di Desa Kabobona. Meraka coba ambil jalur Kecamatan Biromaru tapi baru sampai Langaleso, jembatan juga dikabarkan putus akibat lumpur dari Desa Jono Oge.
Akhirnya mereka balik ke Dolo lagi untu isi bensin tapi tidak dapat. Mereka coba lagi lewat jalur Desa Potoya jalur Sidera tapi jalan juga rusak parah tidak bisa tembus. Maka mereka ambil jalur jalan poros Palu-Bangga menyeberang Desa Kaleke dan tembus sampai dalam kota.
Tempat pertama datangi kantor DPW NasDem Sulawesi Tengah. Di taman GOR ternyata sudah kosong tersisa dua mobil dan dapat sedikit info mungkin ke rumah Bendum NasDem, Ahmad Ali. Tadi Aristan, Ketua DPW Nasdem yang bawa.
Ponakan agak sedikit tenang karena nama yang disebut sudah dikenal tapi tetap cari adiknya ke jalan Swadaya, rumah kak Mat.
Di sana ketemu dengan Ketua Badik Nasdem, Atha Mahmud menyampaikan pesan, “Bilang ibunya kalau Geni sudah aman dan ada sama Aristan. Kalau sudah ada jaringan akan hubungi ibunya.”
Aku sudah lebih tenang tapi tetap ingin pastikan mereka bawa Geni ngungsi kemana. Akhirnya coba ke lapangan Vatulemo. Walikota Palu bahkan memasang pengumuman tapi tak kunjung datang. Akhirnya sepanjang jalan pulang ponakanku berdua setiap kali ketemu mobil branding Nasdem ditanyakan adiknya. Geni akhirnya pulang.
Sementara menunggu pagi hari kami di Dolo yang berkumpul dengan lainnya bertahan di halaman rumah tetangga yang cukup luas. Perlahan mengangkat tikar untuk duduk. Anak-anak terus istigfar karena hampir selang dua menit terasa getaran gempa yang kuat.
Ponakan perlahan dengan senter angkat tikar dan sarung yang bisa diambil untuk menutupi anak-anak termasuk bayiku Aira yang hanya gunakan kaos gantung tipis dan celana pendek saat lari keluar rumah.
Hingga pagi tak sedikitpun mata terpejam dengan kondisi menahan lapar bersama dua bayi usia 7bulan yang harus dibujuk agar bisa tidur seadanya dibawah udara dingin beratapkan langit. Pukul 2 malam barulah menemukan baliho bekas untuk dijadikan atap dan diikatkan di 4 buah motor. Kami disini hingga pagi datang.
Pagi hari getaran gempa tidak pernah redah. Sedih melihat kondisi anakku, ponakan dan cucuku juga anak-anak tetangga. Beberapa org tua yang bergelatak di halaman bekas gilingan padi.
Pagi ini tugas kami masih harus saling mencari informasi ponakan dan saudaraku yang ada didesa lain. Ada kabar gempa dan tsunami terjang Palu dan Donggala sementara Sigi ada kampung yang hancur menjadi tanah lapang. Kami berbagi tugas untuk siapkan makanan anak-anak dan ponakanku kembali ke Palu cari adik-adiknya.
Geni pun pulang ke pelukanku dan saling komunikasi dengan jaringan telpon eksis dan XL yang sangat membantu menghubungi ayahnya yang memang saat bencana itu ada di luar kota dan sudah pasti gelisah untuk bisa cepat pulang ke Palu. Terimakasih ya Allah atas segala berkah perlindungan dan kesehatan bagiku dan semua anggota keluargaku yang selamat dan hingga saat ini bisa berkumpul.
terimakasih ya Allah ini smua adalah peringatan bagi kami umat Mu bahwa begitu besar kuasa Mu. Karena segala sesuatu yang terjadi atas kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Allah Maha Pengampun. Hanya kepadaMu kami berserah diri.
Terimakasih Engkau memberi keselamatan kepadaku dan keluaragaku, sahabat dan teman-temanku tetangga dan semua umatMu disini. Dan semoga saudara kami yang meninggal dunia mendapatkan tempat terbaik disisiMu dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan kekuatan.
Kini saatnya kita bangkit kembali bersama untuk daerah tercinta tanahku Kaili. Duka yang mendalam tak akan cepat hilang namun semangat untuk kembali bangkit demi yang masih diberi kesempatan hidup berjuang kembali bergotongroyong saling membantu.
Terimakasih kepada seluruh warga Indonesia dimanapun yang telah membantu kami masyarakat Sulawesi Tengah khususnya di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala. #PaluSigiDonggala Bangkit. (Lia Somba)

