JAKARTA –Indonesia akhirnya gagal dapat ‘pengampunan’ tarif impor dari Presiden AS Donald Trump selayaknya Vietnam meskipun sudah merayu Negeri Uwak Sam dengan tawaran investasi dan impor Rp551 triliun.
Informasi itu diketahui dari surat yang diunggah di platform Truth Social milik Trump. Mengutip diketahui AFP, dalam unggahan produk dari Indonesia tersebut akan dikenakan tarif sebesar 32 persen.
Tarif itu sama dengan yang diancamkan Trump saat mengobarkan perang dagang ke sejumlah negara awal April 2025 lalu.
Tak hanya Indonesia, Trump juga tetap mengenakan tarif 35 persen untuk Bangladesh dan Thailand 36 persen.
Sudah Rayu AS dengan Rp551 T, RI Tetap Dihajar Trump Tarif 32 Persen
Sementara itu mengutip Reuters, selain Indonesia, Bangladesh dan Thailand, AS juga mengenakan tarif 25 persen untuk barang-barang impor dari Tunisia, Malaysia, dan Kazakhstan; 30 persen untuk Afrika Selatan, Bosnia dan Herzegovina; 35 persen untuk Serbia; 36 persen untuk Kamboja, dan 40 persen untuk Laos dan Myanmar.
Tarif itu berbeda dengan yang dikenakan Trump terhadap Vietnam. Lobi-lobi sukses negara tetangga Indonesia itu sukses meluluhkan Trump yang akhirnya memangkas besaran tarif impor untuk produk Vietnam dari 46 persen menjadi 20 persen.
Tarif tinggi yang dikenakan Trump terhadap produk impor Indonesia sebenarnya sudah sesuai prediksi para pengamat.
Keterlibatan Indonesia dalam blok ekonomi BRICS menjadi salah satu biang keroknya. Indonesia berstatus anggota kelompok tersebut sejak Januari 2025.
Bahkan, Presiden Prabowo Subianto baru saja menghadiri rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 di Brasil.
Di sisi lain, Donald Trump bekerja sama dengan Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan (BRICS) dan kelompoknya. Ia bahkan mengancam akan memberlakukan tarif tambahan khusus kepada anggota blok ekonomi tersebut.
“Negara mana pun dari BRICS yang mendukung kebijakan anti-Amerika akan mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen. Tidak ada yang mendukung kebijakan ini!” tegasnya dalam akun Truth Social @realDonaldTrump.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF M Rizal Taufikurahman menilai tekanan yang dihadapi Indonesia dari Trump sulit meredam buntut keikutsertaan tersebut, bahkan berpotensi memanas.
Apalagi pada saat yang sama, ia menyebut postur kebijakan Indonesia dianggap tidak kooperatif terhadap kepentingan strategi perdagangan AS. Salah satunya terkait kebijakan hilirisasi, larangan ekspor komoditas mentah, serta pelanggaran regulasi investasi.
“Faktor keanggotaan Indonesia di BRICS memperberat posisi. Di bawah narasi Trump, BRICS dipandang sebagai blok yang berpotensi menyebarkan dominasi ekonomi AS. Dalam konteks itu, kehadiran Presiden Prabowo di KTT BRICS dapat dianggap sebagai sinyal geopolitik yang kontraproduktif dengan upaya perundingan tarif,” jelasnya, Senin (7/7).
Masalah ini membuat posisi Indonesia berada dalam posisi kurang menguntungkan dibandingkan dengan yang dirasakan Vietnam.
Kombinasi tersebut membuat Indonesia terancam menjadi samsak Amerika yang ingin mengerek tarif tambahan. Apalagi, defisit neraca dagang AS dengan Indonesia cukup besar mencapai US$17 miliar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memang mengklaim Indonesia sudah menyampaikan tawaran kedua kepada AS.
Salah satu tawaran bantuan itu adalah kenikmatan mengolah mineral kritis dengan Danantara. Namun, Rizal menyebut tawaran itu tidak cukup untuk meluluhkan Trump.
Rencana mengalihkan impor energi sampai di atas US$10 miliar juga rasanya tidak berdampak banyak bagi AS. Meski bisa memperbaiki neraca dagang Amerika, manfaatnya hanya bertahan dalam jangka pendek.
“Selama Indonesia tidak menunjukkan keseriusan dalam membuka pasar secara sistemik serta memberikan kepastian dalam isu regulasi ekspor-impor dan izin usaha pertambangan (IUP) mineral, maka AS tetap memiliki insentif untuk mempertahankan atau bahkan menaikkan tarif. Dalam kalkulasi Washington, Indonesia masih dipandang belum cukup kredibel sebagai mitra dagang strategis,” tutur Rizal.
Ia mewanti-wanti pemerintah untuk segera membebaskan diri dari framing geopolitik BRICS. Menurutnya, sikap politik Presiden Prabowo justru berpotensi menguntungkan sebagai aliansi strategis dengan blok China-Rusia.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana melihat Indonesia memang sulit mendapatkan tarif yang jauh lebih rendah dari Vietnam. Pasalnya, Vietnam sedari awal langsung memilih jalur damai dengan menawarkan tarif 0 persen untuk produk Amerika.
Hal itu berbeda dengan Indonesia. Ia mengatakan berbagai tawaran pemerintahan Prabowo memang sudah cukup mendorong Trump untuk ‘mengampuni’ Indonesia. Apalagi Prabowo tak ikut jalur perlawanan yang ditempuh Presiden China Xi Jinping.
Namun lagi-lagi, keikutsertaan Indonesia di BRICS menjadi ganjalan.
Kalaupun negosiasi yang dilakukan Indonesia selama 3 bulan kemarin berhasil, Andri menilai Trump memiliki beban untuk menetapkan tarif lebih rendah dari 20 persen bagi negara-negara yang tidak se-kooperatif Vietnam.
“Andaikan tarif Indonesia dikurangi sekalipun, angkanya tidak bisa serta merta jauh di bawah 20 persen atau sama dengan tarif ‘Liberation Day’ 2 April (32 persen). Apalagi, dengan keikutsertaan Indonesia dalam BRICS yang akan sulit membuat tarif Indonesia menjadi di bawah 10 persen,” kata Andri.
“Indonesia pada dasarnya ingin ikut menerima manfaat dari BRICS, namun tidak siap menerima konsekuensi geopolitik dari keikutsertaan dengan BRICS. Indonesia yang tadinya bisa mencoba untuk bermain dua kaki, bisa jadi kini dua kakinya sama-sama jatuh karena tidak bisa berpijak di salah satu sisi,” sambungnya.
Tarif RI Terancam Bengkak Hingga 40 persen
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet sejatinya sudah punya dua skenario tarif yang diperoleh Indonesia dari AS.
Pertama, proyeksi tarif realistis di kisaran 35 persen-40 persen. Skenario ini ia buat karena karena nihil terobosan yang ditawarkan Prabowo Cs ke pemerintahan Trump.
Sedangkan yang kedua adalah skenario moderat, di mana tarifnya bisa ditekan ke level 25 persen-28 persen andai Trump sudi menerima paket penawaran Indonesia.
Ia menganggap akses hilirisasi mineral bagi pengusaha-pengusaha AS sampai pengalihan impor energi yang ditawarkan Indonesia ke Trump sejatinya sudah cukup menarik.
Akan tetapi, keanggotaan Indonesia di BRICS dan partisipasi Presiden Prabowo dalam KTT berisiko dibaca sebagai pergeseran aliansi strategis. Ini jelas memperlemah posisi tawar Indonesia dalam konteks geopolitik.
“Ini membuka ruang bagi tarif tambahan 10 persen, seperti yang diancamkan Trump terhadap seluruh anggota BRICS. Jika diterapkan, total tarif atas produk Indonesia bisa menembus 40 persen,” beber Yusuf.
“Risiko utama bukan hanya dari defisit dagang AS, tapi juga persepsi bahwa Indonesia menjauh dari pengaruh ekonomi Washington. Tanpa konsesi tambahan yang lebih eksplisit, terutama dalam isu Indo-Pasifik dan investasi strategis, peluang menghindari tekanan tarif makin kecil,” imbuhnya.
Yusuf memberikan tiga opsi yang bisa dilakukan Indonesia sembari terus melakukan negosiasi dengan Gedung Putih.
Pertama, diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara BRICS dan mitra nontradisional lainnya.
Kedua, mempercepat implementasi perjanjian perdagangan bebas yang sedang berjalan. Ketiga, memberikan insentif fiskal dan nonfiskal bagi eksportir terdampak. (Web Warouw)