Berbagai konflik agraria yang hingga kini belum diselesaikan menjadi penghambat program Pemerintah untuk mempercepat pembangunan berbagai proyek di daerah-daerah. Untuk itu Serikat Tani Nasional mendesak pemerintahan Jokowi segera membentuk Panitia Nasionl Penyelesaian Konflik Agraria. Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) Ahmad Rifai, SH menuliskannya untuk pembaca bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Ahmad Rifai, SH
UNTUK kesekian kalinya, konflik agraria kembali terjadi dan memakan korban. Sebagaimana diketahui bahwa dalam beberapa hari ini terjadi konflik kepemilikan lahan di dua lokasi yang berbeda, yakni Kabupaten Mesuji Lampung dan Kabupaten Batanghari Jambi.
Dalam konflik Mesuji dikabarkan setidaknya ada 5 orang meninggal dunia dan beberapa lainnya terluka akibat bentrokan antar warga. Selain itu, pada konflik kepemilikan lahan di Batanghari, terdapat 3 anggota TNI-Polri terluka dan setidaknya 45 warga ditangkap akibat persoalan tersebut.
Selama beberapa tahun terakhir, terutama sejak kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, berulang-ulang kali konflik agraria selalu mengambil korban, entah itu meninggal maupun terluka akibat penganiayaan atau ditembak.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang kepemimpinan Jokowi-JK, yakni sejak tahun 2014 hingga 2018 terdapat 41 orang meninggal dan 546 orang terluka akibat dianiaya dan 51 orang tertembak akibat konflik agraria.

Tidak tanggung-tanggung, sebagaimana dicatat oleh KPA, luas lahan yang memicu konflik tersebut mencapai 807.177 hektar. Parahnya lagi, sekira 591.640 hektar lahan dipicu oleh konflik kepemilikan lahan untuk perkebunan sawit. Baru sisanya disebabkan olleh beberapa sektor seperti kehutanan 65.000 hektar, pesisir 54.000 hektar dan pertambangan 49.000 hektar.
Menurut STN, konflik-konflik semacam ini akan terus terjadi di Indonesia. Apalagi, dalam visi pemerintahannya ke depan, Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin akan semakin membuka pintu selebar-lebarnya untuk investasi. Bahkan, pemerintah akan melawan siapa saja yang menghambat investasi di Indonesia.
Kita telah memahami bersama bahwa pemicu utama perebutan kepemilikan lahan dan konflik agraria lainnya di Indonesia adalah karena maraknya investasi di Indonesia. Dengan kata lain, pemerintahan ke depan akan melakukan perampasan besar-besaran tanah rakyat hanya demi kepentingan investasi.
Padahal, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 bahwa redistribusi lahan atau tanah diperuntukkan untuk rakyat, petani gurem, buruh tani dan rakyat yang tidak memiliki tanah, bukan untuk investor atau perusahaan-perusahaan tertentu yang hanya menguntungkan pemilik modal besar.
Maka dari itu, STN menganggap bahwa selama ini tata kelola agraria saat ini masih berwatak kolonial dan hanya berpihak kepada kepentingan pemodal besar. Pemerintah tidak segan-segan mengeluarkan izin kepada korporasi untuk melakukan penyerobotan lahan yang dimiliki atau dikelola oleh masyarakat.
Jika masyarakat melawan, maka pemerintah juga tidak tanggung-tanggung dalam menggunakan aparatus negara demi kepentingan investasi. Hal itu terbukti dari banyaknya korban yang harus meregang nyawa demi mempertahankan tanahnya.
Dengan berlandaskan beberapa persoalan di atas, STN mendesak kepada Pemerintah dan DPR untuk membentuk Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria. Dalam penyelesaiannya, panitia ini harus mampu menyelesaikan pelbagai persoalan agraria dengan berlandaskan pada Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No. 5 Tahun 1960.
Tidak seperti saat ini bahwa penyelesaian konflik agraria hanya melibatkan unsur-unsur tertentu, panitia khusus ini harus melibatkan partisipasi rakyat secara aktif dengan mengutamakan pendekatan dialogis.
Dengan begitu, keterlibatan TNI-Polri dalam penyelesaian konflik agraria dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan. Keterlibatan Polri hanya dimungkinkan jika ada pihak-pihak yang melawan keputusan panitia tersebut.
Jika hal-hal di atas mampu dilaksanakan oleh pemerintah, maka pertumpahan darah yang diakibatkan oleh konflik agraria bisa diminimalisir. Selain itu, tidak akan ada lagi tanah rakyat yang dirampas oleh negara atau korporasi.

