Oleh: dr. Erta Priadi Wirawijaya, Sp.JP*
JAKARTA- Rasio dokter per penduduk di Indonesia menduduki peringkat paling rendah di antara negara ASEAN. Jumlah dokter spesialis di Indonesia juga masih jauh dari cukup. Di pulau Jawa saja masih banyak daerah yang kekurangan dokter spesialis, apalagi di luar Jawa. Nasib Indonesia soal minimnya tenaga dokter ini jauh berbeda dengan Malaysia yang kebutuhan dokternya saat ini sudah lebih dari cukup.
Kenapa nasib Indonesia bisa beda jauh? Beberapa dekade sebelumnya Malaysia sangat sangat kekurangan dokter, mereka mengirimkan warganya dibiayai oleh beasiwa untuk belajar menjadi dokter ke Indonesia dan banyak negara lainnya. Tenaga dokter dari Indonesia saat itu juga banyak yang ditarik oleh Malaysia untuk bekerja dan mengajar di sana.
Â
Tapi itu saja tidak cukup. Malaysa mengadopsi sepenuhnya sistem pendidikan dan kurikulum dokter dan spesialis yang ditinggalkan Inggris, sementara Indonesia memilih berjalan sendiri. Akibatnya sejak tahun 70-an, lulusan dokter Indonesia sudah tidak diakui lagi oleh Belanda ataupun negara lainnya di dunia.
Di Malaysia, sama halnya di negara-negara lainnya di dunia, pendidikan dokter spesialis bukanlah pendidikan formal yang harus diselenggarakan Universitas dibawah Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI). Disana pendidikan dokter spesialis diselenggarakan oleh rumah sakit pendidikan dengam kurikulum dan standar yang dibuat oleh kolegium atau perkumpulan dokter spesialis.
Perkumpulan dokter spesialis di Malaysia berafiliasi erat dengan perkumpulan dokter spesialis di Inggris. Karenanya standar pendidikannya sama,— berapa jumlah kasus dan pasien yang harus dikelola, berapa banyak tindakan yang harus dikerjakan, ujian tingkat dan ujian kompetensinya diseragamkan dan berlaku Internasional. Dokter spesialis malaysia mau kerja di Inggris bisa, sebaliknya dokter lulusan Inggris mau kerja di Malaysia juga bisa.
Poin penting lainnya yang berbeda dalam sistem Malaysia tersebut adalah dokter yang menempuh pendidikan spesialis / dokter residen dianggap bekerja dalam bimbingan dokter senior yang lebih ahli dan berhak mendapatkan hak dan perlindungan sebagai pekerja. Artinya mereka masuk program tidak perlu bayar uang masuk atau SPP, mereka justru digaji, dapat asurasi kesehatan, asuransi malpraktek bahkan asuransi jiwa. Jam kerja, jam istirahat dan hak untuk cuti pun ada.
Karena diselenggarakan oleh rumah sakit banyaklah berdiri senter pendidikan dokter di Malaysia. Dokter umum yang ingin mengambil spesialisasi bisa lebih mudah masuk kedalam program spesialis tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk masuk program.
Bagaimana di Indonesia? Di Indonesia karena kurikulumnya dibuat sendiri dan tidak distandarkan dengan kurikulum kolegium di negara lain, dokter Indonesia hanya diakui kerja di Indonesia. Dokter Indonesia lulusan luar juga tidak diakui untuk kerja Indonesia. Mau kerja di Indonesia harus mengikuti program penyetaraan dulu.
Di Indonesia yang mengatur kurikulumnya Kolegium Dokter Spesialis. Tapi yang menyelenggarakannya adalah universitas yang berada di bawah DIKTI. Universitas yang menyelenggarakan hanya univeritas milik pemerintah. Otomatis jumlahnya sangat terbatas.
Ambil daerah yang sudah cukup berkembang seperti Jawa Barat, 46 juta penduduk, tapi hanya punya 1 senter pendidikan spesialis yaitu UNPAD dengan rumah sakit pendidikan terpusat di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Otomatis jumlah lulusannya terbatas dan sulit untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis di Jawa Barat sendiri, apalagi bisa bantu memenuhi kebutuhan nasional.
Yang seringkali dilupakan, dokter yang sedang menempuh pendidikan spesialis atau dokter residen adalah bagian penting dalam JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Mereka bekerja keras melayani pasien yang jumlahnya sangat banyak di rumah-rumah sakit pendidikan yang umumnya merupakan rumah sakit PPK3 (rujukan). Walau pasiennya banyak, mereka sama sekali tidak dibayar. Jangankan upah, ketika sakitpun banyak diantara dokternya yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Hal ini tentunya sangat menyedihkan dan harus dirubah.
Sistem Hospital Based Recidency bukanlah barang baru. Program pendidikan dokter spesialis pertama di dunia yang diprakarsai Sir William Osler di John Hopkins Hospital diselenggarakan oleh rumah sakit. Pesertanya tidak perlu bayar uang sepeserpun. Mereka mendapatkan gaji dan dibayar pantas. Sistem serupa diterapkan hampir di setiap negara di dunia. Hanya Indonesia yang lain sendiri.
Karena itulah saya dan teman-teman terdorong untuk merubahnya. Negara ini masih butuh banyak dokter spesialis. Tapi tanpa perubahan sistem, negara ini kan selalu kekurangan dokter spesialis. Demi kemaslahatan bersama sistemnya harus mau dirubah.
Terkait minimnya dokter spesialis di Indonesia, Dokter Indonesia Bersatu (DIB) menuntut agar pemerintah harus mengadopsi sistem pendidikan dokter spesialis Hospital Based yang menjadi kewajaran di negara lainnya di dunia. Pemerintah juga dituntut untuk membebaskan peserta pendidikan spesialis dari sumbangan, SPP atau pungutan liar lainnya.
Dokter Residen juga harus memiliki kontrak kerja yang menjamin gaji yang layak, jam kerja yang rasional, waktu istirahat dan cuti yang cukup serta asuransi kesehatan.
*Penulis adalah dokter spesialis jantung pembuluh. Aktif dalam gerakan Dokter Indonesia Bersatu (DIB), tinggal dan bekerja di Bandung
Â