JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak secara pribadi mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyunat vonis hukuman eks Ketua DPR Setya Novanto menjadi 12,5 tahun penjara tak bisa diintervensi. Sebab, kata Johanis, kekuasaan hakim adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
“Selaku pribadi saya cuma ingin mengatakan bahwa tidak ada seorang pun di negeri ini yang bisa mengintervensi hakim dalam melaksanakan tugasnya karena kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945,” kata Johanis, dikutip Bergelora.com di Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Meski demikian, Johanis mengatakan, perlu adanya upaya untuk mengugah perasaan hakim bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang luar biasa.
Karenanya, kata dia, penanganan kasus korupsi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa pula, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, dan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
“Oleh karena itu, sudah selayaknya pelaku tindak pidana korupsi dihukum dengan hukuman yang setinggi-tingginya/seberat-beratnya,” ujar dia. Johanis menyinggung, almarhum Hakim Agung Artidjo Alkostar yang semasa hidupnya ditakuti oleh koruptor karena sering memperberat vonis hukuman dalam putusan kasasi atau PK.
“Saat almarhum Artidjo Alkostar menjadi hakim agung, banyak terdakwa tindak pidana korupsi yang mengajukan permohonan kasasi atau PK. Dalam putusan kasasi atau PK, hukumannya diperberat sehingga banyak terdakwa tidak berani mengajukan permohonan kasasi atau terpidana tidak berani mengajukan permohonan PK,” tutur dia.
Johanis menekankan bahwa sikap tegas seperti yang ditunjukkan Artidjo perlu diteruskan agar menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.
“Hal seperti itu yang perlu dilakukan agar orang takut melakukan tindak pidana korupsi yang sangat meresahkan rakyat selaku pemilik uang yang dipungut oleh negara untuk kepentingan pembangunan negeri, bukan untuk dikorupsi/dicuri untuk kepentingan pribadi atau kelompok orang tertentu,” ucap dia.
Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Ketua DPR Setya Novanto terkait vonis hukumannya dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Vonis hukuman Setya Novanto disunat dari 15 tahun penjara menjadi 12,5 tahun penjara. “Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan,” demikian keterangan dari putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dikutip dari laman resmi MA, Kamis (3/7/2025).
Setya Novanto juga dihukum pidana denda sebesar Rp 500.000.000 dan subsidair 6 bulan kurungan serta Uang Pengganti (UP) 7,3 juta Dollar Amerika Serikat (AS).
Adapun uang pengganti dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan oleh terpidana kepada Penyidik KPK dan yang telah disetorkan terpidana.
“UP USD 7,300,000 dikompensasi sebesar Rp 5.000.000.000,00 yang telah dititipkan oleh terpidana kepada Penyidik KPK dan yang telah disetorkan terpidana, sisa UP Rp 49.052.289.803,00 subsidair 2 tahun penjara,” demikian keterangan putusan tersebut.
Novanto juga dijatuhi pidana tambahan mencabut hak untuk menduduki jabatan publik selama 2 tahun dan 6 bulan terhitung sejak selesai menjalani masa pemidanaan.
“Pidana tambahan mencabut hak terpidana untuk menduduki jabatan publik selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan,” demikian keterangan putusan tersebut. (Web Warouw)