Tulisan 5 seri dari Analis Pertahanan dan Militer, Dr. Connie Rahakundini Bakrie di Bergelora.com beberapa waktu lalu mendapatkan berbagai respon dari pembaca. Salah satu tanggapan yang cukup penting adalah masukan tulisan dari Lembaga Kajian Indonesia-China (LKIC).
Terjemahan Winoto dari LKIC ini diambil dari sebuah tulisan yang berjudul asli ‘Asal Usul Masalah Laut China Selatan’,–yang dimuat pada tahun 2017 dalam 百度百科 (Baidu Baike: terjemahan bebasnya adalah ‘Encyclopedia Baidu’). Tulisan ini adalah bagian keempat dari 5 seri yang dimuat untuk pembaca Bergelora.com agar mengerti duduk persoalan di Laut China Selatan. (Redaksi)
Oleh: Winoto
SEJARAH penemuan orang-orang China paling awal pada pulau-pulau di Laut China Selatan berawal dari Dinasti Han. Dalam catatan “Benda Asing” Han Timur Yang Fu memiliki catatan “naiknya laut, dengan air dangkal dan banyak batu magnet”. “Laut yang naik” di sini adalah nama orang China untuk Laut China Selatan pada waktu itu, dan “Qidou” adalah nama untuk pulau-pulau, terumbu, pasir, dan pantai di pulau-pulau Laut China Selatan termasuk Kepulauan Xisha dan Kepulauan Nansha pada waktu itu.
“Funan Zhuan” yang ditulis oleh Kang Tai, seorang jenderal dari Tiga Kerajaan (Sam Kok), tidak hanya menyebutkan Kepulauan Nansha, tetapi juga menggambarkan bentuknya: “saat laut naik, sampai ke benua karang, ada Pangu di dasar benua, dan terumbu karang juga dilahirkan di atasnya”.
Selama dinasti Tang dan Song, banyak Karya-karya sejarah geografis telah menamai kepulauan Xisha dan Kepulauan Nansha secara berturut-turut sebagai “Sembilan Ruluozhou”, “Shitang”, “Changsha”, “Jian Li Changsha” (Seribu mil/Li Changsa, Satu Li = Setengah km), “Jian Li Shitang” (Seribu mil/Li Shitang), “Wan Li Changsha” (sepuluh ribu mil/Li Changsa), “Wan Li Shitang” (sepuluh ribu mil/Li Shitang), dan seterusnya.
Dalam dinasti Song, Yuan, Ming dan Qing, ada ratusan buku yang menggambarkan pulau-pulau di Laut China Selatan dengan nama “Shitang” dan “Changsha”.

Pada Dinasti Yuan, catatan lokasi geografis pulau-pulau di Laut China Selatan lebih detail lagi. Buku “Panduan Pulau ke Pulau” karya dari Wang Dayuan berisi “Wan Li Shi Tang, lahir dari Chaozhou, seperti ular, melintasi tengah laut … tempat aslinya, semua dapat dilihat dan diuji. Satu jalur ke Jawa, satu jalur ke Bo Ni dan Gulitimen, satu jalur ke Shi Yang Jia Kun Lun”. “Wan Li Shitang” mengacu pada pulau-pulau di Laut China Selatan termasuk Nansha saat ini.
Pada dinasti Ming, Shitang, Changsha ditandai dalam “Peta Ibukota Campuran Kerajaan Masa Lalu”. Dari posisi yang digambarkan dalam gambar, Shitang adalah Kepulauan Nansha.
Dalam “Buku Ganlu” Dinasti Qing mencatat lokasi spesifik dari nama-nama pulau, karang, pantai, dan benua dari Kepulauan Nansha yang digunakan oleh para nelayan China di Pulau Hainan, diantaranya terhitung 73 nama tempat di kepulauan Nansha.
Pengembangan
Orang-orang China pergi ke Kepulauan Nansha untuk terlibat dalam pengembangan perikanan sejak awal Dinasti Ming. Pada awal Dinasti Ming, para nelayan dari Pelabuhan Haikou, Pelabuhan Puqian, Pelabuhan Qinglan, dan para nelayan dari Kabupaten Wenchang pergi ke Kepulauan Nansha untuk menangkap teripang, kerang dan hasil laut lainnya.
“Panduan Laut China” pada tahun 1868 telah mencatat kegiatan nelayan China di Kepulauan Nansha. Nelayan Hainan mengandalkan hidup dari menangkap teripang dan kerang, disetiap pulau ada jejak-jejaknya. Ada juga orang yang tinggal di terumbu untuk waktu yang lama. Pada musim-musim tertentu ada perahu berlayar ke pulau itu.

Mereka membawa beras dan keperluan lainnya untuk bertukar dengan teripang, kerang dan hasil laut lain dengan para nelayan. Kapal itu meninggalkan Hainan pada bulan Desember atau Januari setiap tahun dan kembali ketika angin barat daya pertama naik.
Sejak akhir Dinasti Qing, Nelayan China dari pulau Hainan dan dari semua bagian Semenanjung Leizhou pergi ke Kepulauan Nansha untuk menangkap ikan, di antara mereka, dari kabupaten Wenchang dan Qionghai adalah yang paling banyak jumlahnya. Setiap tahun, ada lebih dari lusinan hingga beberapa puluh kapal nelayan.
“Book of Changing Roads” adalah bukti kuat lain bahwa orang-orang China telah mengembangkan pulau-pulau di Laut China Selatan sejak Dinasti Ming dan Qing. Ini adalah panduan navigasi bagi para nelayan Pulau Hainan untuk melakukan kegiatan produksi di Kepulauan Xisha dan Nansha, yang merupakan Karya Ciptaan kolektif yang telah mengumpulkan banyak pengalaman navigasi praktis dari banyak orang, yang disusun pada masa Dinasti Ming dan terus disempurnakan. Yang telah mencatat Arah Perlayaran dan Jalur Perlayaran nelayan Hainan dari Kabupaten Wenchang dan Kabupaten Qionghai yang berangkat dari Pelabuhan Tanmen berlayar menuju pulau-pulau dan terumbu karang Kepulauan Xisha dan Nansha.
Sejak Republik Tiongkok (pemerintahan Chiang Kai Sek) fakta sejarah mengembangan dan eksploitasi Kepulauan Nansha oleh nelayan Tiongkok telah dicatat baik di Tiongkok maupun di luar negeri. “Pulau Badai” karya orang Jepang Ogura Yusuke mencatat bahwa pada tahun 1918, ketika tim ekspedisinya mencapai Pulau Beizi, menemukan tiga orang dari “Haikou Wilayah Wenchang”.
Pada tahun 1933 Ketika Miyoshi dan Matsuo dari Jepang melakukan inspeksi pemeriksaan ke Nansha, mereka melihat ada dua orang China tinggal di Pulau Beizi dan tiga orang China tinggal di Pulau Nanzi. “New South Islands Overview” dari Jepang mencatat bahwa para nelayan “menanam ubi jalar” di Pulau Zhongye. Di masa lalu, para nelayan Republik China hidup di pulau ini dan menanam kelapa, pepaya, ubi jalar, dan sayuran.
Yurisdiksi
Setidaknya mulai Dinasti Yuan (1271-1368), Kepulauan Nansha telah berada di bawah yurisdiksi Tiongkok. Buku Geografi “Yuanshi” (Sejarah Dinasti Yuan) dan “Peta Wilayah Dinasti Yuan” mencatat bahwa wilayah Dinasti Yuan termasuk Kepulauan Nansha. Diantaranya “Yuanshi” (Sejarah Dinasti Yuan) mencatat bahwa angkatan laut Dinasti Yuan berpatroli di Kepulauan Nansha.
Pada Dinasti Ming, pada makam perwira Komandan Pertahanan Laut Selatan Zhai tertera prasati : “Guangdong dekat dengan laut, laut didepan propinsi Guangdong dan wilayahnya adalah negara bagian”, “Sepuluh ribu tentara dan lima puluh kapal besar”, “berpatroli puluhan ribu Li di laut”. Ini menunjukkan bahwa Kepulauan Nansha adalah wilayah kekuasaan Dinasti Ming, dari pulau Hainan Dinasti Ming telah melakukan patroli mengendalikan dan mengelola Kepulauan Xisha, Zhongsha dan Nansha.
Di era Dinasti Ming pula, Kaisar Tiongkok mengirim Expedisi Maritim terbesar didunia yang dipimpin oleh Cheng Ho. Armada Cheng Ho tercatat terdiri 307 buah kapal besar dan kecil, terbesar dengan ukuran panjang 120m, lebar 50m, dengan jumlah awak kapal mencapai 27.000 orang. Cheng Ho melakukan ekspedisi 7 kali, yang terjauh telah mengunjungi negara2 sepanjang ekspedisinya sampai ke Sri Langka, India, Persia, Arab, Laut Merah, Afrika hingga selat Mozambik (1405-1433), dan 7 kali pula mengunjungi kepulauan Nusantara. Sayang catatan terakhir Cheng Ho dibakar oleh kaisar yang menghentikan ekspedisi Cheng Ho.
Pada Dinasti Qing, pemerintah China memetakan Kepulauan Nansha pada peta resmi wilayah kekuasaannya, dan menjalankan yurisdiksi administratif atas Kepulauan Nansha (Peta Kang Xi World Map). “Peta Umum Dunia” dan “Peta Provinsi Qing” tahun 1724. “Peta Kekaisaran Qing tiap Propinsi” dan “Peta Umum Dunia” tahun 1755.
Pada tahun 1767 diterbutkan “Peta Komprehensif Dunia pada Dinasti Qing”, tahun 1810-an banyak peta, seperti “peta terpadu Daqing Wannian” dan tahun 1817 “peta terpadu dunia Daqing” dan lainnya,– semua terdapat Kepulauan Nansha di dalam wilayah teritori China.
Pada tahun 1932 dan 1935, Markas Besar Staf China, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Angkatan Laut, Kementerian Pendidikan, dan Komite Mongolia-Tibet, bersama-sama membentuk Komite Tinjauan Peta Tanah dan Air, yang secara khusus telah memeriksa dan menyetujui total 132 nama pulau di Laut China Selatan, tersebar diwilayah yuridiksi Xisha dan Zhongsha , Kepulauan Dongsha dan Nansha.
Pada tahun 1933, Prancis menginvasi sembilan pulau, termasuk Taiping dan Zhongye, di Kepulauan Nansha di Tiongkok, yang langsung ditentang oleh nelayan China yang tinggal di Kepulauan Nansha dan nelayan yang terlibat dalam kegiatan produksi di kepulauan Nansha. Pemerintah China mengajukan protes kepada pemerintah Prancis.
Pada tahun 1935, Komite Tinjauan Peta Tanah dan Air dari Pemerintah Tiongkok menyusun “Peta Kepulauan di Laut China Selatan”, secara rinci dan jelas menandai nama-nama spesifik pulau dan terumbu di Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Nansha.
Pada tahun 1939, Jepang menduduki Kepulauan Laut China Selatan. Pada tahun 1946, sesuai dengan semangat Deklarasi Kairo dan Pengumuman Potsdam, Kementerian Dalam Negeri Tiongkok, bersama dengan Kementerian Angkatan Laut dan Pemerintah Provinsi Guangdong, masing-masing menunjuk Xiao Ciyin dan Mai Yunyu sebagai Komisaris Kepulauan Xisha dan Kepulauan Nansha, untuk mengambil alih Kepulauan Xisha dan Kepulauan Nansha, dan Mendirikan monumen berdaulat di pulau itu.
Setelah Jepang menyerah, Lin Zun, yang saat itu Panglima Armada Kedua dari Pertahanan Pesisir Laut Republik Tiongkok KMT (Kuo Min Tang), memimpin kapal perang “Taiping” dan “Zhongye” menerima Kepulauan Nansha dan mengubah nama pulau utama Nansha menjadi “Pulau Taiping”. Dan mendirikan monumen dengan tulisan “Pulau Taiping”.
Pada tahun 1947, Kementerian Dalam Negeri Republik Tiongkok memperbarui nama pulau, terumbu dan pantai karang ada 159 buah di Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Nansha, dan mengumumkan implementasinya.
Pada tahun 1983, Komite Nama Geografis Tiongkok mengesahkan publikasi nama standar atas pulau2, terumbu dan pantai karang di Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Nansha (Spratly).
Singkatnya, sejumlah besar fakta sejarah yang terperinci membuktikan bahwa Kepulauan Nansha pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh rakyat China, dan pemerintah China telah menggunakan yurisdiksi dan kedaulatan atas kepulauan tsb. Kepulauan Nansha telah menjadi bagian integral dari wilayah Tiongkok sejak zaman kuno.