Minggu, 13 Juli 2025

Selamat Jalan Amato Assegaf: Kami Lanjutkan Perjuanganmu Kawan!

Oleh: Arief Hariyadi *

SELASA siang, 7 Januari 2025, saya tiba di Kampung Arab kota Manado untuk ikut melepas seorang kawan yang telah berpulang. Sudah banyak orang yang hadir dari berbagai kalangan.

Sebelumnya, Senin malam, 6 Januari 2025 berita lelayu, dukacita berseliweran di media sosial. Padahal Sabtu 4 januari, saya masih bercerita dengan Amato, istri dan kedua anaknya waktu besuk di RSUP Kandouw.
Bahkan, sempat bercerita juga via phone dengan Idon sambil baku sedu.

Ternyata waktu-nya telah tiba. Siapa pun tidak bisa menghindari. Demikian sebagai manusia (yang bernyawa), setiap kita akan berpulang, kembali kepada-Nya.

Mengenang-nya, dengan mengingat segala kebaikan dan kemurahan hati-nya. Mengenang-nya, dengan mengingat segala ikhtiar dan dedikasi-nya pada kepenyairan, seni peran, pengetahuan dan filsafat. Mengenang-nya, dengan mengingat segala pemberian diri-nya pada soal kemanusiaan dan pluralisme.

Perjumpaan dengan Amato untuk pertama kalinya, tahun 1995. Waktu itu Forum Solidaritas Mahasiswa Unsrat (FSMU) sedang melakukan protes tentang kebiajakan kampus terkait POM/IKOM. Amato salah satu partisipan, yang secara bergantian bersama Cecep (andi koemadji) membacakan puisi karya Widji Tukul.

Sebagai alumnus IKJ, ketertarikan dan kepedulian pada problem sosial, membawanya berkenalan dengan berbagai tema dan gagasan yang menggugat eksistensi rejim Orde Baru.

Melalui proses berikutnya, saya bertemu dengan Amato lagi. Kali itu selain Amato, ada Coen Pontoh, Yudi, Idon, Rudi, Teddy, Herni Sualang, Eri Scholastinus, Naomi, Senawati, Yuli, Didi Ratumbanua, Calvin, Pengky, dan Ale Nasim. Semua kawan tersebut berhimpun dan mendeklarasikan terbentuknya SMID di kota Manado melalui Konferensi Cabang, Desember 1995, dengan dipandu kawan Koordinasi Divisi PP SMID yang hadir, IG Anom Astika.

Sejak itu, SMID Manado, FSMU dan organ lain atau komite aksi bersama-sama LBH Manado dan warga korban kebijakan Negara, seperti SUTET, berlawan Bersama.

SUTET yang tower nya dibangun di tengah desa dan kabel nya berada di atas perkampungan desa Kaneyan. Dan itu membahayakan bagi warga yang tinggal di bawah lintasan SUTET.

Selain itu, bersama LBH Manado mendampingi warga desa Bongo, Bongo Nol dan Lakea, yang tanahnya dirampas untuk pembangunan pabrik gula pasir di kecamatan Paguyaman, kabupaten Gorontalo (saat itu masih masuk dalam Provinsi Sulawesi Utara.

Termasuk berlawan bersama PDI Pro Mega dalam menghadapi tekanan rejim Orde Baru.
Dan dalam semua pergumulan itu, Amato berada di dalamnya, berlawan.

Hingga tiba pada peristiwa 27 Juli 1996, dimana SMID-PRD beserta organ yang berafiliasi pada nya, disebut rejim Soeharto sebagai dalang, sehingga diburu dan harus ditangkap. Tentu saja itu juga berimbas di semua daerah dimana SMID-PRD berada.

Peristiwa 27 Juli 1996, berimbas pada pelarangan aktivitas SMID secara terbuka di seluruh Indonesia, tidak terkecuali yang di Manado. Masa itu, semua aktivitas dilakukan secara tertutup. Perburuan dan penangkapan rejim Orde Baru Soeharto, membuat para aktivis SMID, PRD dan organ lain yang berafiliasi atau punya kedekatan atau berjaringan dan berkolaborasi dengannya, tiarap.
Semua aktivitas protes, baik yang dilakukan secara terbuka maupun tersirat, terhadap Negara Orde Baru memang benar-benar menghadapi situasi keras yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Di Manado, situasi tersebut juga dirasakan. Komunikasi dan koordinasi dilakukan dengan sangat hati-hati. Tidak terkecuali kawan yang bukan sebagai anggota SMID Manado, tapi ditandai aparat Negara sebagai bagian dari-nya.

Dalam situasi seperti itu, Amato pernah menyampaikan kepada beberapa kawan bahwa situasi belum memungkinkan ketemuan. jadi, bertahan dengan naluri untuk tetap survive di tempat yang terpisah.

Dalam suatu kesempatan Lebaran 2023, Amato sempat cerita bagaimana dirinya bertahan, ‘’Aba yang minta kita menyingkir, kase tahu pa dia pe tampa, pas kejadian keos di Jakarta dan pasti berimbas ke semua tampa, begitu ujarnya.

Empat kawan SMID Manado diinterogasi dan harus bolak-balik ke Korem dan Polda. Saat itu proses nya didampingi oleh beberapa PBH dari LBH Manado. Bahkan sampe pada gugatan di pengadilan tentang keterlibatan dalam peristiwa 27 Juli 1996, OTB, KGB dan ini tidak bisa dibuktikan dan tidak jelas keberlanjutan kasusnya.

Paska keriuhan 27 Juli 1996, saya mendengar kabar dari kawan di Palu, bahwa Amato sudah berada di sana. Bahkan ada kawan dari SMID Manado yang ke Palu sempat juga bertemu dengannya di Palu, selain berkolaborasi dengan berbagai komunitas seni dan NGO, juga mengembangkan aktivitas seni teater-nya.

Tahun 2001, saya mendengar Amato sudah di Jakarta. Beberapa tahun kemudian, saya juga mendengar Amato sudah berada kembali di Manado, bahkan sudah mendirikan Padepokan Puisi Amato Assagaf.

Perjumpaan secara langsung kembali dengan Amato terjadi di suatu pertemuan, Agustus 2021. Sejak itu, kami sering bertemu di setiap rapat atau pertemuan informal (di Manado atau di Tomohon), hingga ku dengar 2 minggu sebelum kepulangan-nya, Amato masuk rawat inap di Rumah Sakit Advent dan terakhir di RSUP Kandouw hingga Tuhan memanggilnya pulang.

Sungguh begitu banyak rencana bersama yang tertunda dan akhirnya belum bisa diwujudkan. Tapi Narasi, tulisan (artikel dan puisi), refleksi (lisan dan tertulis) yang kau toreh, akan tetap menginspirasi bagi semua kawan yang bersimpati dan berjuang bersama-mu, apapun latar belakangnya.

Aku bersaksi kau orang yang baik Amato. Insya Allah akhir-mu baik dan dilempangkan jalan berpulang-mu. Semoga Allah SWT, memberi-mu sebaik-baiknya tempat di sisi-Nya.

*Penulis Arief Hariyadi, mantan pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD), kawan seperjuangan

Artikel diambil dari Facebook Arief Hariyadi

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru