Melonjaknya harga tiket pesawat udara ternyata hanyalah puncak gunung es dari berbagai persoalan transportasi udara saat ini di Indonesia. Selain persoalan keselamatan penumpang, ternyata persoalan pendataan penumpang juga rentan,–data penumpang tidak sulit untuk dimanipulasi. Hasan Aoni, pegiat Omah Dongeng Marwah menulis pengalaman kawannya sebagai ‘saya’,–untuk pembaca Bergelora.com dan otoritas yang bertanggung jawab. (Redaksi)
Oleh: Hasan Aoni
MELALUI WAG yang anggotanya hanya tiga orang, sahabat saya mengirim pesan dan baru saya baca setelah turun di Semarang, “Sudah mendarat?” tanya dia.
Saya jawab dengan mengirim gambar signage pengambilan bagasi. “Yes!” Jawab saya. “Wah, kelucuan benar-benar terjadi. Nanti kalau ketemu akan saya ceritakan kisah ini dengan berapi-api!” sambung saya.
Jawaban ini malah bikin mereka penasaran. “Boleh kasih sinopsisnya dulu? Paling tidak guideline nya dulu. Judul, Bab, dan Pasalnya dulu?” desak mereka bergantian sambil bercanda.
Hari ini saya pergi dengan boarding pass asli tapi palsu. Saya menggunakan maskapai salah satu penerbangan ternama Indonesia. Berbagai sistem dan prosedur IT maskapai ini menurut saya sudah sangat canggih. Tapi, saya berhasil melaluinya dengan selamat. Cukup menegangkan sebetulnya, tapi saya mencoba bersikap tenang menghadapi semua pintu pemeriksaan yang cukup ketat. Bagaimana kejadiannya? Begini kisahnya.
Sahabat saya setiap minggu bolak-balik Semarang-Jakarta untuk sebuah pekerjaan dengan moda pesawat. Demikian juga saya. Hari Kamis lalu dia memilih pulang jalan darat dengan mobil sahabat kami yang satu lagi. Kami bertiga pekan pertama bulan ini maraton mengikuti rangkaian diskusi dan rapat dengan teman-teman LSM, Kementerian, dan salah satu lembaga pemeriksa korupsi di Jakarta.
“Pakai saja tiket saya kalau Jumat jadi pulang ke Semarang. Sudah terlanjur saya beli dan sudah saya undur dua kali” tawar dia kepada saya. Saya awalnya ragu. Itu bukan tiket saya. Tapi, setelah memerhatikan foto yang tertera di ID SIM A nya, sudah kadaluarsa masa berlakunya, agak buram dan sekilas kalau tidak benar-benar diperhatikan mirip wajah saya, maka saya memutuskan mencoba petualangan ini. “Oke!” Jawab saya.
Pagi sesampai di bandara Soekarno-Hatta, saya hampir mengurungkan niat itu. Menyalakan sebatang kretek di ruang merokok, dan akhirnya memutuskan mencoba petualangan terbang bukan dengan tiket atas nama saya. Sekalian menguji keandalan sistem maskapai ini. Di ruang merokok itu saya sempat baca ID sahabat saya dan menghapal tanggal lahir dan alamatnya. Siapa tahu akan ditanya saat mereka ragu melihat antara foto dan wajah saya.
Menuju loket priority untuk check in, semua sudah terisi antrian. Saya maju ke loket kosong. Petugas perempuan datang melayani, dan lancar saya lalui sampai dapat boarding pass dengan tempat duduk yang saya sukai.
Panggilan penumpang untuk filght penerbangan saya sudah dua kali diumumkan lewat pengeras suara. Saya bergegas masuk. Dua X-ray saya lalui. Tibalah pemeriksaan terakhir. Barcode di boarding pass ditempelkan di mesin pemeriksa. “Trit!” Oke selesai. Tapi, rupanya petugas berpakaian jilbab itu menghadang saya. “Tunggu sebentar, Pak!” Ada apakah?
Dia melihat lagi foto di ID SIM dan wajah saya. Mungkin ada tanda di dalam komputer yang dikirim secara sistem dari loket check in tadi memerintah agar diperiksa ulang. Segera saya sebut nama yang ada di ID itu dengan suara agak tegas. “Oke silahkan,” jawab dia. Plong rasanya. Segera saya ikut antrian masuk kabin dan tak mau menengok lagi ke belakang. Ini gaya untuk berpenampilan wajar. Saya tak mau kesangsian orang muncul karena tengokan saya.
Ternyata ujian masih belum berakhir. Ada saja satu-dua pramugari menghampiri saya, nanya apa butuh bantuan tas ransel laptop yang saya peluk mau ditaruh di kabin. Ada lagi yang datang menghampiri, ternyata mengambil kertas yang jatuh di dekat kaki saya.
Perasaan saya belum benar-benar lega. Jangan-jangan ini tanda mereka sedang menguji ketenangan saya dan penyamaran sebetulnya sudah terbongkar. Kalau ada kesalahan, seseorang biasanya bertingkah sangat ganjil. Bermacam dugaan muncul di kepala saya. Apa petugas menghubungi nomor HP sahabat saya, dan pengecekan ini bisa saja dilakukan untuk meyakinkan prosedur mereka jika ada keraguan. Apalagi sahabat saya memiliki kartu kelas elit di maskapai itu, pasti mereka menyimpan nomor HP nya.
Dan waktu berjalan. Pengumuman di speaker dinyalakan: “Bapak dan Ibu yang terhormat, mohon maaf, pesawat ini sudah siap meninggalkan landasan, tetapi kami masih harus menunggu beberapa saat untuk….” pramugari berhenti sejenak. Saya memperhatikan dengan khusyuk lanjutannya. “…untuk menunggu tiga penumpang lain yang masih belum masuk kabin. Mohon Bapak dan Ibu menunggu beberapa saat,” demikian katanya.
Wah, aman, batin saya. Sampai datang pramugari membawa kertas entah isinya apa menghampiri saya dan bertanya hal yang tidak penting. “Pak ……, ya?” Dia menyebut nama, mengajak saya bercakap. Saya hampir tidak memperhatikan, sebab bukan nama saya yang disebut pramugari itu. Apa dia salah sapa, pikir saya. Tapi, seketika saya sadar. Hari ini saya sedang berperan jadi sahabat yang tertulis di boarding pass asli tapi palsu itu.
“Ohya, ya, ya, ada apa, ya?” timpal saya agak gugup. Dia memeriksa boarding pass saya.
“Bapak duduk di kursi yang salah. Bapak yang di belakang ini. Kebetulan sementara di sini kosong. Tapi, kalau Bapak tidak pindah tidak apa-apa,” kata dia. Plong rasanya. Ada-ada saja kesalahan ini, sampai pakai salah kursi segala. Hadeh. Saya berharap tidak ada lagi pertanyaan pramugari. Setiap pertanyan sesopan apapun rasanya seperti intregrosi. Dengan seluruh rangkaian itu, saya segera berdoa dengan permintaan hanya satu, semoga tidak ada lagi kesopanan menghampiri saya.
Seperempat jam dari kejadian itu pilot mengumumankan pesawat siap take off. Dan selesai sudah semua ujian berpura-pura jadi Mr ….. hanya dalam 3 jam terhitung sejak check in sampai landing.
Di luar bandara A Yani Semarang sambil menunggu supir menjemput, saya mulai mengingat proses check in pagi tadi. Mengapa mbak yang berjilbab di pemeriksaan terakhir sempat mencegat saya? Di sini rupanya masalahnya.
Saat saya mencari loket kosong dari antrian sewaktu check in, seorang perempuan cantik menghampiri saya. Mengenakan dress code maskapai itu tanpa name tag , dia menyapa nama belakang saya, “Hallo Pak …, apa kabar, lama tidak ketemu? Apa sudah jarang pergi ke Jakarta?” sapa dia sangat ramah. Di boarding pass tiket, nama belakang selalu ditulis di depan. Dan dia selalu memanggil nama belakang saya setiap bertemu. Dibukalah mendadak loket yang tadinya tutup untuk melayani saya dengan mbak cantik itu yang menjaga.
Inilah sumber semua ketegangan itu. Lagi-lagi, mungkin dasar nasib apes lagi menghampiri saya. Dengan mengenal saya saat check in, saya tidak bisa mendaku sahabat saya yang namanya tercantum dalam ID itu sebagai saya, dan tidak mungkin mengaku sekarang saya ganti nama. “Bapak tidak bareng naik pesawat?” Saya jawab tidak. Lalu saya ajak ngobrol dia supaya segera dilakukan print out boarding pass sambil basa-basi menanyakan kabar, dst.
Tapi, tetap saja ada pertanyaan prosedural soal tiket itu, “Ini tiket siapa, Pak?” Setelah saya jawab punya teman, dia tanya lagi, apa sudah datang orangnya? Dan macam-macam pertanyaan diajukan lalu print, selesai.
Sebelum masuk, saya membaca tertulis di boarding pass keterangan: “Special Request”. Saya agak curiga dengan tulisan itu. Sebagai penumpang yang pernah punya kartu level platinum plus seperti yang dimiliki sahabat saya, rasanya dulu tidak pernah ada tambahan tulisan itu. Dan itu benar. Itu tanda agar saat check in di pintu terakhir, petugas harus cek ulang kebenaran antara ticket, ID dan orangnya. Sebab utamanya karena yang check in bukan nama yang tertera di boarding pass itu.
Ini perjalanan sangat lucu sekaligus menegangkan. Tapi, jika ini uji keandalan sistem, pengalaman ini sangat berguna. Ternyata kelemaham bukan pada sistem, tapi pada orang yang memeriksa dan mengoperasikannya.
Suatu ketika setelah kisah ini saya tulis, saya akan menemui managemen maskapai itu dan meminta maaf dengan segala kemungkinan teguran yang akan saya terima. Tapi, tak apa demi menyelamatkan kejujuran pada diri sendiri. Dan cukup sudah ujian dan tes keandalan itu, nggak lagi-lagi deh.
Demikian kisah teman saya yang saya tulis kembali seolah sebagai pengalaman saya.