Kritik terhadap Amien Rais dari berbagai kalangan menyoroti cara berpolitiknya yang kerap menggunakan agama sebagai alat. Salah satunya dari Revitriyoso Husodo, Koordinator Front Kebudayaan Nasional, yang saat ini sedang bekerja sebagai pekerja lepas pantai Laut Jawa di sebuah anjungan minyak,–yang dikirimkan kepada Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Revitriyoso Husodo
TIDAK seorang pun mampu meramal apapun yang akan terjadi di dunia ini seperti bencana alam, kematian,keberhasilan hingga hasil pilpres 2019, kita hanya dapat memprediksi. Tidak juga Amien Rais, sang politisi senior penyandang gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, mantan ketua ICMI dan mantan ketua MPR ini.
Dalam acara Tabligh Akbar Persaudaraan Alumni 212 di Gladag, Kota Solo, Jawa Tengah pada hari Minggu (13/1/2019) siang, beliau menyatakan: “Saya sudah melihat tanda-tanda dari langit saya kira.” “Di manapun sudah ada tanda (tentang pergantian Presiden), bahkan dari bawah insya Allah saya lihat juga,” Ia percaya bahwa alam telah memberi tanda-tanda kemenangan bagi pasangan Capres nomor urut 2 Prabowo-Sandi.
Melontarkan ramalan tanpa landasan ilmiah merupakan manuver politik cerdik namun membodohkan. Dengan menggunakan metode lontarkan ramalan swawujud atau self-fulfilling prophecy hanya melalui simbol-simbol ‘langit’, ‘bawah’, ia dapat mempengaruhi keberpihakan para calon pemilih yang basis primordial agamanya adalah Islam, Islam Kejawen dan kejawen, yang dalam jumlah luar biasa besar.
Manuver ini sangat efektif mengingat tablig akbar tersebut di gelar di Gladag, Solo, salah satu pusat peradaban Islam dan Kejawen di wilayah selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seakan ia mencoba mengulangi keberhasilan Ronggowarsito (1802-1873) seorang pujangga keraton Kasunanan Surakarta, legenda dalam hal ramal-meramal.
Self-fulfilling prophecy ramalan swawujud atau ramalan yang terkabulkan sendiri adalah penamaan untuk gejala di mana ramalan menjadi kenyataan oleh seorang ahli psikologi Robert K Merton. Ia menyimpulkan bahwa perilaku manusia ditentukan persepsi dan makna yang kita berikan pada situasi tertentu baik positif maupun negatif. Semisal, bila seorang pekerja mendapat ramalan bahwa ia akan mendapat promosi jabatan atau kenaikan gaji, maka ia akan kerja lebih keras dan akhirnya memang ia mendapatkan kenaikan jabatan atau kenaikan gaji.
Terlepas dari terbukti atau tidaknya nanti, penggunaan kekuatan ramalan dalam pemenangan dalam perebutan posisi RI-1 ini, walaupun sah-sah saja namun hal ini merupakan praktek kampanye politik yang tidaklah bijaksana karena mengandung beberapa resiko dampak sosial yang destruktif.
Pertama, praktek peramalan tanpa menyampaikan landasan basis material seperti data fakta adalah tindakan yang tidak mendidik karena tidak ilmiah. Sepak terjang seorang tokoh terkemuka sebesar AR, pasti mempengaruhi cara berfikir masyarakat dalam memprediksi segala sesuatu untuk tidak harus menggunakan hukum sebab akibat: tidak terukur, bahkan mengingkari logika seolah dibenarkan. Masyarakat diajarkan untuk menjadi masyarakat klenik dan ahistoris. Dengan demikian perkembangan masyarakat akan mengalami kemunduran.
Seharusnya seorang terdidik akan mengajarkan masyarakat untuk membiasakan diri dengan metode ilmiah melalui sistem investigasi fenomena yang ketat. Dalam memprediksi segala sesuatu sebaiknya melalui beberapa langkah seperti
Melalui penetapan hipotesis atau pemberian penjelasan teoretis atas dugaan berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran serigid mungkin. Selanjutnya dapat memunculkan prediksi yang merupakan deduksi logis dari hipotesis. Selanjutnya dapat dilakukan pengujian. Sehingga hasil prediksi salah ataupun benar akan mendekati kenyataan.
Kedua, ramalan menyinggung keyakinan umat Islam. Di dalam keyakinan Islam, ramalan bertentangan dengan dalil yang ada. Sebuah ayat Al-Quran menyatakan: “Katakanlah (hai Muhammad) tidak ada seorang pun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara gaib kecuali Allah saja” (QS : An-Naml: 65). Sehingga kita menilai seorang tokoh muslim terpelajar seperti Amin Rais tidak layak menyampaikan ramalannya yang bersifat gaib di atas kepada khalayak luas. Saya rasa sewajarnya umat muslim harus jeli dan bertanya-tanya perihal keyakinan dan pengetahuan beliau. Jika tidak, maka umat muslim akan mudah didekatkan kepada keyakinan yang musyrik. Kemudian umat akan terpelah karena tercipta dikotomi ilmiah dan keyakinan tanpa dasar.
Ketiga, dalam dunia spiritual Jawa(Kejawen) dan banyak aliran kebatinan seperi Susila Budhi Dharma (SUBUD), Paguyuban Sumarah, Jamus Kalimasada, dan masih banyak lagi, kuasa ramalan yang mendahului kehendak Pangeran, justru tidak sejalan dengan salah satu aspek ‘ketauihidan’nya: “Pangeran iku biso ngawohi kahanan opo wae tan keno kinoyo ngopo” secara agak longgar dapat diartikan: Tuhan bisa mengubah segalanya tanpa mungkin dapat diperkirakan manusia. Hal ini berarti mereka percaya bahwa kehendak Tuhan akan masa depan adalah rahasia Tuhan, dan tidak seorangpun akan pasti mengetahui. Bagi mereka ini ucapan mas Amin terdengar lucu.
Jika nantinya hasil ramalan tersebut terbukti, semoga beliau menyadari lalu akan menyampaikan klarifikasi bahwa ucapan tersebut adalah sebuah manuver politik belaka. Namun bila ramalan beliau meleset, maka kita harus tetap bisa memaafkan dan menganggap beliau hanyalah seorang pecundang yang berusaha menjadi ahli ramal yang fail fulfilled, atau gagal mewujud.

