Rabu, 11 September 2024

Sepetak: Usir Texmaco dan Podomoro dari Karawang!

KARAWANG- Dalam rangka peringatan Hari Tani Nasional, Serikat Petani Karawang (Sepetak) menyerukan pengusiran beberapa perusahaan yang telah merugikan petani Karawang dan Subang.

“Pada peringatan hari lahirnya UUPA 1960 atau biasa disebut dengan Hari Tani Nasional yang ke 50 tahun, Kami Serikat Petani Karawang menyatakan menuntut hak atas tanah bagi kaum tani. mengusir PT. Agung Podomoro Land dari Kabupaten Karawang. Mengusir PTPN VIII dan PT. TEXMACO dari Kabupaten Subang. Usut tuntas konflik tanah yang ada di kabupaten Karawang dan Subang,” tegas Ketua Umum Sepetak, Engkos Koswara kepada Bergelora.com di Karawang, Rabu (24/9)

Menurutnya Kabupaten Karawang, sebagai daerah terdekat dari ibukota Negara, yang konon disebut sebagai lumbung padi Jawa Barat tak luput dari berbagai kasus konflik tanah, baik berupa perampasan tanah, alih fungsi lahan sampai pertambangan kekayaan alam.

“Masih segar di ingatan kita beberapa bulan lalu, Perusahaan Agung Podomoro Land (APL) melalui beberapa anak perusahaannya melakukan perampasan tanah-tanah petani yang berujung dengan eksekusi tanah seluas ± 350 ha, yang ironisnya Negara dalam hal ini justru membekingi pengusaha melalui kepolisian dan tentara dan bukannya melindungi rakyatnya,” ujarnya.

Subang menurutnya, sebagai salah satu daerah yang pengelolaan kekayaan hutannya oleh PTPN VIII, tak luput dari berbagai konflik tanah yang terjadi. Sebagaimana diketahui keberadaan tanah-tanah negara yang berada di kabupaten Subang sangatlah luas, tercatat wilayah lebih dari 700 ha wilayah tanah negara, ironisnya tanah-tanah tersebut sebetulnya adalah wilayah pemukiman kaum tani. Mereka mengelola, menguasai dan menggarap tanah-tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.

“Namun negara yang seharusnya memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani tersebut tidak pernah dilakukan, malah ironisnya Negara memberikan pengelolaan kepada perusahaan bangkrut PT. TEXMACO yang seharusnya petani penggarap-lah yang diberikan hak atas tanah dikarenakan mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun mengelola, menggarap dan menguasai tanah tersebut,” ujarnya.

Serikat Petani Karawang (SEPETAK), bersama petani dari Karawang dan Subang, sampai sejauh ini telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan hak atas tanah. Petani yang sudah menggarap, mengelola serta menguasai tanah di kabupaten Karawang dan Subang tersebut dipaksa dijadikan kaum tani tak bertanah oleh penguasa negeri ini untuk kepentingan pengusaha asing.

“Tentu saja petani tidak diam begitu saja sebab apa yang sudah di uraikan diatas, tanah adalah tempat hidup dan matinya kaum tani, tanah merupakan alat produksi kaum tani, namun ketika tanah tersebut terampas, tak ada alasan bagi kaum tani untuk tidak melakukan perlawanan,” jelasnya.

Menurutnya, konflik tanah di negeri ini seakan tak pernah menemukan ujung kisahnya. Masih segar di ingatan bangsa ini konflik-konflik tanah di berbgai daerah di Indonesia kian menumpuk, belum usai satu masalah datang masalah lainnya sehingga menjadi suatu tumpukan yang sulit di urai kembali. Negara sebagai tempat berpijak hidup dan matinya rakyat seharusnya mampu memberikan hak-hak rakyat, baik itu hak atas tanah, kesehatan pendidikan dan kebebasan berpendapat.

“Petani sebagai kaum mayoritas tentunya mempunyai peranan serta pengaruh besar terhadap keadaan bangsa, baik itu politik, ekonomi, social dan budaya. Namun ironis petani sebagai kaum mayoritas bangsa ini hanya menjadi komoditi politik penguasa negeri ini,” ujarnya.

Tanah sebagai hak paling mendasar kaum tani, menurutnya sampai saat ini hanya menjadi sebuah polemik yang berakhir konflik yang berkepanjangan dikarenakan kepentingan politik bangsa ini belum jua memihak kepentingan rakyatnya melainkan kepentingan pengusaha bermodal.

Tercatat dalam sampai akhir tahun 2013 konflik tanah yang ada di Indonesia mencapai angka 1.725 diberbagai pelosok negeri ini. Tentu saja dalam hal ini lagi-lagi petani menjadi korban akibat keserakahan pengusaha yang tentu saja di bekingi oleh penguasa dan perangkat Negara.

“Tanah bagi petani merupakan tempat hidup dan matinya petani. Tanah merupakan alat produksi petani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik itu pangan, sandang, kesehatan dan pendidikan mereka. Hak atas, ha katas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas kebebasan mengemukakan pendapat harus dijamin oleh Negara sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar 1945,” tegasnya.

Pesanan Asing

Menurutnya Master Plan Perencanaan Percepatan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah sebuah program pesanan pemodal asing (kapitalis) yang di keluarkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai upaya memuluskan upaya-upaya perluasa kekuasaan asing di negeri ini.

“Tentu saja, hal tersebut bukanlah menjawab berbagai persoalan mendasar di negeri ini, melainkan sebaliknya dalam program tersebut justru merenggut hak-hak rakyat, terutama kaum tani,” tegasnya.

Alih fungsi lahan besar-besaran terjadi di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di daerah yang tak jauh dari ibu kota Jakarta yaitu Karawang dan subang terjadi berbagai konflik tanah antara kaum tani dan pengusaha bermodal yang di bekingi perangkat Negara (Kepolisian, TNI).

Menurut Sepetak Karawang dan Subang sebagai daerah penyangga Ibukota tentu saja menjadi daerah yang potensial sebagai daerah incaran pengusaha bermodal untuk menancapkan kekuasaan kapitalnya, terutama kekuasaan atas tanah yang memang menjadi hal pokok bagi kaum pemodal.

Tanah dan segala yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara dan diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat yang se-besar-besarnya. Kutipan UUD 1945 yang juga terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria tersebut juga menjadi bukti kuat bahwasanya rakyat-lah yang harus menjadi pioritas utama bagi negara terkait hak atas tanah,”tegasnya. (Muhamad Mustofa Bisry)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru