Rabu, 22 Oktober 2025

Sertifikasi Tanah Untuk Siapa?

Presiden Joko Widodo dan sertifikasi tanah. (Ist)

BLITAR- Tanah, terbatas sifatnya maka nilai tanah akan semakin mahal ke depan.  Semua berebut untuk menguasainya, individu ataupun komunal hingga pemilik modal besar.

 
Kemudahan berusaha,  berinvestasi jangan sampai terjebak pada anggapan publik, rasa kekhawatiran publik soal minimnya perlindungan atas hak rakyat untuk hidup lebih sejahtera di tanah miliknya sendiri, di negerinya sendiri. 
 
Apakah hidup sejahtera, harapan hidup lebih baik adalah sebatas utopia semata? 
 
Konsolidasi data pertanahan penting, agar kasus penyerobotan tanah, pemanfaatan tanah demi kepentingan umum bisa bermakna membawa kesejahteraan untuk rakyat,  bukan sebaliknya. Bukan hanya klaim dan slogan semata-mata tapi nyata adanya.
 
Sedikit mundur ke belakang,  merunut sejarah peradaban,  Guttenberg menemukan mesin cetak. Hadirnya abad mesin cetak dan kemajuan teknologi membawa mesin keyboard, susun pencetak huruf, kata dan kalimat lebih mudah dan sederhana.    
 
Teknologi inilah yang kemudian berkembang sedemikian rupa dengan hadirnya mesin ketik,  kertas yang dicetak dan buku buku sebagai sumber data, sumber otoritatif.  Tentu dengan stempel khusus,  yang menunjukan keaslian. Di dalam urusan pertanahan mewujud dalam sertifikasi.   
 
Seiring perkembangan jaman, inovasi teknologi terkini terus berkembang. Ada kebutuhan untuk memudahkan akses, wujud data semakin besar,  dibutuhkan ruang penyimpanan yang lebih kecil. Hadirlah nano teknologi. Kini beralih ke byte,   being digital.  Semua data bisa terbaca dan terenskripsi untuk keamanan.
 
*****
 
Respon publik soal BPN yang melakukan proses digitalisasi data pertanahan, cukup ramai di komentar atas judul. Belum ke isi, ke konten dan tujuan digitalisask data. Respon terutama mengindikasikan rendahnya rasa kepercayaan publik atas tata kelola data.  
 
Sangat ekstrem,  rasa percaya terutama keraguan soal perlindungan hukum atas tanah yang telah dikuasai.  Tanah (yang diakui) milik warga dan sebaliknya tanah (yang diakui) milik negara saling diklaim adalah persoalan jamak dalam urusan pertanahan. 
 
Di UU Cipta Kerja,  masalah pertanahan terbingkai dalam pasal kemudahan berusaha, kemudahan perijinan usaha. Urusan ini pula yang  kemudian disoroti banyak pihak lebih menguntungkan buat korporasi untuk menguasai lahan,  ancaman kerusakan lingkungan dan seterusnya. 
 
Kekhawatiran publik sangatlah wajar, apalagi dengan pengalaman kasus kehilangan atas hak tanah karena ada urusan untuk kepentingan publik. 
 
Benang kusut urusan pertanahan memang butuh perhatian lebih karena dalam prakteknya pemerintah harus memberikan pelayanan yang cepat, ringkas dan ada kepastian hukum.  Inilah yang dipermudah urusan, sekaligus dibutuhkan kecermatan dan kehati-hatian. 
 
Namanya saja UU Cipta Kerja,  jelas lebih berorientasi penciptaan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya.  Namun, secara faktual ini juga bermasalah sebenarnya. 
 
Setidaknya dalam beberapa kasus peruntukan lahan untuk kebutuhan publik seperti lahan bandara, jalan yang berbeda untuk bangunan residensial untuk jasa hotel dan apartemen. 
 
Untuk urusan kasus pertanahan begini, DIY dengan luas wilayah yang terbatas sangat menonjol beberapa contoh kasusnya.  Lahan bandara NYIA,  lahan milik keraton yang digunakan untuk publik seperti kawasan yang ditempati oleh PJKA (dulunya) misalnya. 
 
Apalagi? Masih berderet urusan pertanahan yang bisa cukup panjang dan butuh energi guna menyelesaikan problematika. Tanah milik adat,  tanah milik negara, tanah milik perusahaan,  tanah magersari dan lain lain. 
 
*****
Negara dan aparatusnya wajib memberikan pelayanan publik terbaik. 
 
Kepercayaan publik telah diwakilkan dengan persetujuan kepesertaan rakyat dalam pemilihan kepala daerah, legislatif dan Presiden beserta wakilnya. 
 
Belum lama berselang, proses politik elektoralnya, negara telah menghadiahkan UU Cipta Kerja, yang baru selesai. Dinamika politiknya sudah dirasakan bersama.  DPR sudah setuju dan Presiden telah menetapkan sebagai Undang-undang.  Prosesnya sangat cepat, omnibus law ini jadi bahan perdebatan publik yang serius.  
 
Ada kubu ekstrim yang menolak,  jelas.  Alasan penolakan juga jelas. Bisa mudah diakses apa saja poin poin masalah yang dipersoalkan. Ujung penolakan,  tentu adanya harapan terwujudnya kepastian hukum,  terutama pemanfaatan sumberdaya untuk sebesar besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 
 
Kembali ke urusan serfitikat tanah, sebagai dasar hukum penguasaan atas tanah.  Negara setelah memberikan hak atas tanah tak boleh seenaknya menarik lagi hak yang telah diberikan.
 
Di buku sertipikat (tanda bukti hak) yang diterbitkan oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ada ketentuan P.P 24 tahun 1997, pasal 17, pasal 52, pasal 36, pasal 40 dan pasal 42 sudah jelas. 
 
Prona,  program nasional agraria dengan PTSL pendaftaran tanah sistematis lengkap telah dikerjakan. 
 
Apakah mencapai target? Di dalam pelaksanaan PTSL terkini ada sebagian proses yang belum selesai. Ini setidaknya merujuk pada pengalaman sendiri dalam mengikuti proses urusan pertanahan di lingkup keluarga penulis.  Meski sama-sama mengajukan di waktu yang bersamaan,  ada sertifikat tanah yang belum diterbitkan. 
 
Ada masalah apa?  Tidak ada penjelasan dari penyedia pelayanan,  kantor BPN misalnya memberikan sesuai keterbukaan informasi publik,  harusnya ada penjelasan terbuka kepada warga masyarakat.  Minimal keterbukaan informasi soal tahapan sertifikasi terkendala di mana?  Prosesnya butuh berapa lama.  
 
Kala informasi bisa diterima langsung oleh rakyat,  lewat nomor kontak yang sudah diserahkan tentu melegakan.  Jangan kalah dengan pihak jasa keuangan swasta yang sudah lebih agresif memanfaatkan nomor telpon untuk jasa peminjaman uang, jaminan sertifikat. 
 
Informasi terbuka yang diperoleh, terkini  adalah rencana akan  ditariknya sertifikat bentuk fisik yang sudah diserahkan kepada masyarakat. 
 
Itu yang dipersoalkan dan menjadi bahan gunjingan di media sosial. Meski yang semestinya dipahami dan harus jelas adalah yang ditarik lagi bukanlah hak atas tanah dan telah diakui oleh negara.
 
Urusan pertanahan,  eh sertifikat masih panjang narasinya.  Dilanjutkan lagi kapan saja,   kalau sempat dan ada waktu luang.  Sembari menunggu aparatur negara dan pelayanan publik yang bekerja. (Much. Fatchurochman)
 
#ceritapinggirjalan
#bersepedaselalu
#ceritatanah
#isupublik
 
 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru