JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dalam Perkara Nomor 156/PUU-XXII/2024 dan 182/PUU-XXII/2024 ke-IX pada Selasa (14/10/2025) pukul 13.30 WIB. Agenda hari itu adalah sidang mendengar keterangan Ahli yang dihadirkan Mahkamah, yaitu dokter Iqbal Mochtar serta profesor sekaligus Guru Besar Bidang Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Gandes Retno Rahayu.
Iqbal mengatakan saat ini Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah membentuk kolegium berbagai disiplin keilmuan sehingga menghapus kolegium lama yang dibentuk organisasi profesi. Menurut dia, kolegium yang dibentuk Kemenkes tersebut bukan hanya tidak tepat secara struktur, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak serius, di antaranya standar pendidikan dan kompetensi dapat diatur atau diturunkan demi program dan target politik.
“Saya beri contoh adanya usulan bahwa dokter umum bisa memasang cincin jantung, jadi mereka hanya diberikan pelatihan selama beberapa bulan kemudian mereka diberikan kompetensi untuk memasang cincin jantung. Ini tentu saja sangat berbahaya dari segi keselamatan pasien,” tutur Iqbal secara daring dari Qatar dikutip Bergelora.com di Jakarta, Kamis (16/10).
Kemudian kolegium yang dibentuk Kemenkes juga berpotensi menimbulkan konflik struktural. Kemenkes berperan ganda sebagai regulator sekaligus penyedia layanan kesehatan. Hasilnya, kata Iqbal, keputusan-keputusan sepihak yang berlandaskan kebutuhan politik dan birokrasi.
Iqbal menyebut, beberapa negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada menerapkan kolegium sebagai lembaga independen, bukan didirikan Pemerintah. Hampir di semua negara, pengawasan etika dan disiplin kedokteran tidak dilakukan Pemerintah secara langsung, melainkan lembaga profesi atau konsil independen.
Sementara di Indonesia, melalui UU Kesehatan yang baru, Pemerintah berwenang melakukan pengawasan etika dan disiplin profesi. Padahal, menurut Iqbal, secara ilmiah, pengawasan etika dan disiplin profesi tidak bisa dilakukan birokrat atau pejabat administratif yang tidak memiliki kompetensi klinis maupun etis.
“Etika dan disiplin profesi bersumber dari nilai-nilai moral, sumpah profesi, dan kaidah keilmuan. Ia merupakan norma internal profesi yang hanya dapat dinilai oleh sejawat yang memahami konteks praktik medis, dilema klinis, dan standar profesi,” tutur Iqbal yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah (PDITT).
Kemudian, jika melihat praktik di berbagai negara, hampir semua sistem regulasi profesi yang matang memisahkan konsil kedokteran dari konsil tenaga kesehatan lainnya seperti Inggris, Australia, Singapura, dan Kanada. Di Indonesia, sebelum UU Kesehatan, sistem konsil di Indonesia bersifat terpisah dan fungsional, yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bertugas mengatur profesi dokter dan dokter gigi serta Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) mengatur profesi non-dokter.
Sedangkan Pemerintah melalui Pasal 268 UU Kesehatan membentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) untuk meningkatkan mutu dan kompetensi teknis keprofesian yang mencakup seluruh profesi di bidang kesehatan. Menurut Iqbal, penyatuan konsil seperti KTKI saat ini adalah terpinggirkannya suara profesi kedokteran di tengah banyaknya profesi lain yang tergabung dalam satu wadah.
“Struktur yang terlalu luas dan birokratis berpotensi mengaburkan tanggung jawab etik dan klinis yang spesifik bagi profesi dokter,” tutur Iqbal.
Potensi Penyalahgunaan Konflik dan Kepentingan MDP
Selain itu, Iqbal juga mengatakan terdapat potensi penyalahgunaan konflik dan kepentingan atas peran Majelis Disiplin Profesi (MDP). Sebagaimana Pasal 708 ayat (1) UU Kesehatan, tenaga medis yang diduga melakukan pelanggaran hukum dapat dikenai sanksi pidana setelah terlebih dahulu dimintakan rekomendasi dari MDP.
Iqbal mengatakan memang bukan hal baru dan tidak mengurangi kesetaraan hukum dalam profesi khusus seperti militer ada peradilan militer atau advokat ada Dewan Kehormatan Advokat. Namun, terdapat kendala teknis, yaitu batas waktu 14 hari pemberian rekomendasi MDP, keterbatasan geografis, serta komposisi anggota MDP.
Sebagai informasi, sebelumnya pada pukul 09.00 WIB hari ini juga, MK telah menggelar sidang ke-VIII. Sidang itu akan beragendakan mendengar keterangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) serta Asosiasi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Indonesia (ARSGMPI).
Sebelum menutup persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan sidang ini menjadi yang terakhir. Mahkamah akan mendiskusikan/membahas semua bahan yang ada di persidangan. Para pihak diberikan kesempatan untuk menyerahkan tanggapan atau kesimpulan paling lama 7 hari kerja sejak hari ini atau 22 Oktober 2025.
Untuk diketahui, para Pemohon Perkara Nomor 182/PUU-XXII/2024 terdiri dari Pengurus Besar IDI yang diwakili Ketua Umum Adib Khumaidi dan Sekretaris Jenderal Ulul Albab bersama 52 perorangan lainnya yang berstatus sebagai dokter, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dosen, karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), polisi, TNI, pelajar/mahasiswa, pensiunan, serta ibu rumah tangga. Para Pemohon menguji Pasal 311 ayat (1), Pasal 268 ayat (1), Pasal 270, Pasal 272 ayat (1), Pasal 272 ayat (3), Pasal 258 ayat (2), Pasal 264 ayat (1), Pasal 264 ayat (5), Pasal 291 ayat (2), Pasal 421 ayat (1), Pasal 442, serta Pasal 454 huruf c UU Kesehatan.
Dalam sidang pendahuluan, para Pemohon mengatakan adanya intervensi dan kontrol langsung menteri kesehatan kepada kolegium, wewenang menteri kesehatan dalam menerima peninjauan kembali putusan majelis disiplin profesi, diambil alihnya wewenang organisasi profesi atas pengelolaan pemenuhan satuan kredit profesi (SKP) tenaga medis oleh menteri, serta intervensi dan kendali penuh menteri kesehatan atas penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kedokteran.
Petitum yang disampaikan para Pemohon setidaknya ada 14 poin, di antaranya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 311 ayat (1) UU Kesehatan untuk dimaknai berbunyi “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan membentuk organisasi profesi untuk dokter adalah Ikatan Dokter Indonesia dan organisasi profesi untuk dokter gigi adalah Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia”;
menyatakan Pasal 268 ayat (1) UU Kesehatan untuk dimaknai berbunyi “Untuk meningkatkan mutu dan kompetensi teknis keprofesian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat, untuk Tenaga Medis dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia dan untuk Tenaga Kesehatan dibentuk Konsil Kesehatan Indonesia”;
menyatakan Pasal 270 UU Kesehatan untuk dimaknai “Keanggotaan Konsil sepanjang untuk Tenaga Medis berasal dari unsur. a. Pemerintah Pusat; b. organisasi profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; c. Kolegium organisasi profesi; dan d. masyarakat”;
menyatakan Pasal 272 ayat (1) UU Kesehatan untuk dimaknai berbunyi “Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, setiap kelompok ahli organisasi profesi tiap disiplin ilmu kedokteran dapat membentuk Kolegium yang dibentuk organisasi profesi”;
menyatakan Pasal 272 ayat (3) UU Kesehatan untuk dimaknai
“Kolegium untuk Tenaga Medis memiliki peran: a. menyusun standar kompetensi Tenaga Medis; dan b. menyusun standar kurikulum pelatihan berkelanjutan Tenaga Medis dilakukan oleh organisasi profesi”;
menyatakan Pasal 258 ayat (2) UU Kesehatan untuk dimaknai berbunyi
“Pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompeterisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh organisasi profesi dan/atau lembaga pelatihan yang terakreditasi oleh organisasi profesi”.
Para Pemohon juga mengajukan petitum untuk memaknai kembali sejumlah pasal lainnya yaitu Pasal 264 ayat (1) huruf b, Pasal 264 ayat (5), Pasal 291 ayat (2), Pasal 421 ayat (1), Pasal 442, serta Pasal 454 huruf c UU Kesehatan.
Sementara, Perkara 156/PUU-XXII/2024 diajukan Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) serta dua orang advokat terhadap Pasal 304 UU Kesehatan. Pasal 304 UU Kesehatan berisi ketentuan penerapan penegakan disiplin profesi dalam rangka mendukung profesionalitas tenaga medis dan tenaga kesehatan. Menteri membentuk majelis yang melaksanakan tugas di bidang disiplin profesi. Majelis dimaksud bersifat permanen atau ad hoc yang menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Aturan tersebut kemudian diturunkan dalam ketentuan pelaksananya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang mengatur mengenai pembentukan, tugas fungsi, dan keanggotaan MDP.
Menurut para Pemohon, tidak tepat apabila majelis etik serta merta diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi dan memeriksa terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan pidana atau perdata. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 308 ayat (1) sepanjang frasa “terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304”,
Pasal 308 ayat (2) sepanjang frasa “terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304”, ayat (3), ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) UU Kesehatan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (Web Warouw)