Oleh: Alfred Silangen Pontolondo,
SATU tahun sudah gerakan Save Sangihe Island (SSI) berjuang untuk membebaskan pulau Sangihe dari upaya eksploitasi oleh perusahaan pertambangan bernama PT. Tambang Mas Sangihe.
Semua berawal dari ijin dalam bentuk peningkatan tahap operasi produksi kontrak karya PT. TMS yang diterbitkan oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM-RI Nomor 163/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2022. Ijin ini berlaku selama 33 tahun di wilayah 42.000 Ha daratan pulau Sangihe.
Sementara luas darat pulau Sangihe sendiri hanya sebesar 73.698 Ha. Artinya 57 % daratan pulau Sangihe telah diserahkan untuk dieksploitasi oleh PT. TMS.
Ijin operasi produksi PT. TMS diterbitkan setelah keluarnya ijin lingkungan bernomor
503/DPMPTSPD/IL/182/IX/2020 tanggal 25 September 2020 oleh Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara. Areal seluas 65,48 Ha yang diperoleh lewat ijin lingkungan menjadi
pintu masuk bagi PT. TMS untuk mulai beroperasi di pulau Sangihe.
Semua infomasi ini menyeruak ke masyarakat setelah pada tanggal 22 – 24 Maret 2021, PT. TMS melakukan sosialisasi untuk pembebasan lahan di kampung Bowone.
Saat itu, PT. TMS menawarkan harga pembelian lahan masyarakat sebesar 50 juta rupiah/hektar, atau Rp. 5000/m. Hal ini kontan menimbulkan respon keras dari masyarakat. Berita di berbagai media online pun santer memberitakan hal ini.
Bagi sebagian kalangan, kehebohan yang terjadi hanyalah soal kontroversi harga pembelian lahan yang terlalu rendah ditawarkan perusahaan kepada masyarakat, padahal tanah yang hendak dibeli adalah tanah yang mengandung emas.
Tapi bagi kami, itu menjadi kabar yang sangat mengejutkan. Kami tidak pernah menyangka bahwa
pulau Sangihe yang sangat kecil ini akan dieksploitasi oleh sebuah perusahaan tambang, dengan modal
asing, dengan metode open pit.
Masih lekat di bayangan kita bagaimana perusahaan sekelas Freeport, dengan metode open pit yang
sama membuat lubang tambang demikian besar di tanah Papua. Lubang tambang seperti itulah
berpotensi tercipta di daratan pulau Sangihe di masa depan.
Prihatin dengan dampak yang akan dihadapi pulau Sangihe di masa depan, beberapa orang kemudian
bertemu, berdiskusi dan melakukan riset terhadap perijinan perusahaan ini. Yang didapatkan adalah informasi seperti telah tersampaikan di atas bahwa areal yang akan dieksploitasi sebesar 42.000 Ha
dengan masa berlaku selama 33 tahun.
Kepemilikan saham PT. TMS adalah 70 % dari Baru Gold Corporation yang beralamat di Kanada, sedangkan 30 % sisanya milik 3 perusahaan di Indonesia. Dua di antaranya menggunakan nama Sangihe yakni Sangihe Pratama Mineral dan Sangihe Prima Mineral, namun tidak satupun pemiliknya adalah
orang Sangihe.
Menindaklanjuti temuan informasi itu, pada 30 Maret 2021, kami bersama sejumlah pihak melakukan
audiensi dengan DPRD Sangihe untuk mencari-tahu lebih lanjut tentang keberadaan perusahaan
pertambangan yang hendak beroperasi di Sangihe ini. Sekaligus, dalam kesempatan tersebut, kami
memaparkan berbagai kasus pertambangan yang terjadi di wilayah lain yang mengakibatkan kerugian
besar di pihak masyarakat dan lingkungan.
Yang mendatangi kantor DPRD Sangihe saat itu adalah Jull Takaliuang dari Yayasan Suara Nurani
Minaesa, Omar Rolihlahla Hakeem dari Aliansi Bhineka Tunggal Ika, Theodoran Runtuwene dari WALHI
Sulut, Satriano Pangkey dari YLBHI-LBH Manado, Samsared Barahama dari Perkumpulan Sampiri, Jan
Takasihaeng dari Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Sangihe, Rendy Saselah dari Front Perjuangan
Mahasiswa Sangihe, Aike Pangemanan dari GAMKI Sangihe dan Alfred Pontolondo Perwakilan Seniman Sangihe.
Pada audiensi yang dihadiri 13 anggota DPRD itu, secara spontan lima anggota DPRD Sangihe menyatakan penolakan terhadap keberadaan PT. TMS. Mereka adalah Merry Pukoliwutang, Dikson Haling, Ruben Medea, Tony Sampakang, dan Irene Gaghana. Selebihnya dari yang hadir tanpa sikap
sama sekali.
Namun kepada kami disampaikan bahwa dalam 2-3 hari ke depan akan ada sikap resmi dari DPRD
Sangihe setelah dilakukan pembahasan di internal fraksi.
Namun sayang entah mengapa, hingga satu tahun sejak audiensi dilaksanakan, sikap itu tak kunjung
disampaikan. Kelima orang yang menyatakan sikap menolak pun tidak terlihat keterlibatannya dalam
tindakan nyata.
Setelah audiensi tersebut, wacana penolakan terhadap rencana operasi produksi PT. TMS terus
disuarakan baik lewat diskusi, maupun melalui postingan media sosial.
Sejumlah pihak kemudian menyatakan diri untuk terlibat. Masing-masing yakni, GMIST, Badan Adat
Sangihe, Politeknik Nusa Utara, Yayasan Suara Nurani Minaesa, WALHI Sulut, YLBHI-LBH Manado, KNTI Sangihe, Perkumpulan Sampiri Sangihe, Burung Indonesia, Forwas, FPMS, Pemuda Muslimin Indonesia
Sangihe, Kopitu Sangihe, AMAN Sangihe, Rumah Budaya Karangetang, IMM – Sulut, GAMKI Sangihe,
Pemuda GMPU, Komunitas Seni Visual Secret, GP Ansor Sangihe, LMND Sulut, GMNI Sangihe, Gapoktan
Organic Sangihe, AMPS, Kesatuan Pemuda Pegiat Budaya Sangihe, Kesatuan Kapitalaung (Kepala Desa)
Menolak Tambang Sangihe, MPA Anemon, KPA Mangasa Ngalipaeng, KPA Spink, Sangihe Divers Club,
Sanggar Seriwang Sangihe, Alumni SMA 1 dan SMP 201 Tahuna, serta ormas Adat MAHASATU.
3 April 2021, bertempat di Pelabuhan Tua kota Tahuna, deklarasi penolakan terhadap PT. TMS dilaksanakan. Seluruh elemen yang menyatakan terlibat, hadir dalam kegiatan tersebut.
Salah satu agenda yang dilaksanakan adalah peluncuran petisi kepada Presiden Republik Indonesia di platform change.org Indonesia dengan judul : Sangihe Pulau yang Indah, Kami TOLAK Tambang. Itu
dilanjutkan dengan penandatanganan pernyataan penolakan terhadap PT. TMS di sebuah spanduk.
Sejak itu, gema penolakan terhadap rencana eksploitasi atas pulau Sangihe terus meluas ke berbagai
daerah, ke Jakarta bahkan hingga ke mancanegara.
27 April – 5 Mei 2021, 8 orang perwakilan masyarakat Sangihe membawa pengaduan kepada Presiden
Republik Indonesia dan sejumlah lembaga tinggi setingkat kementerian di Jakarta.
Mereka yakni; Jull Takaliuang, Elbi Pieter, Elisye Paususeke, Riedel Sipir, Samsared Barahama, Frets
Besinung, Theodoran Runtuwene dan Alfred Pontolondo.
Dalam pengaduan itu turut dilampirkan telaah teologis Gereja Masehi Injili Sangihe dan Talaud yang
ditandatangani oleh ketua Sinode Pendeta, Patras Madonsa, serta pernyataan sikap Badan Adat Sangihe
yang menolak kehadiran PT. TMS dan ditandatangani oleh ketua Olden Ambui.
Dengan didampingi oleh aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Ki Bagus, 8 orang
perwakilan masyarakat Sangihe mendatangi Kantor Staff Kepresidenan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Komnas HAM, Komnas Perempuan serta menyurati
OMBUDSMAN dan KPK-RI.
Rawanda Tuturoong dari Kedeputian IV Kantor Staff Kepresidenan menyatakan akan membawa
persoalan ini kepada Presiden.
Bagian Penegakan Hukum KLHK menyatakan mereka akan menindaklanjuti laporan masyarakat.
Direktur pengelolaan pesisir dan pulau kecil menyatakan bahwa Kementerian KKP belum pernah
mengeluarkan ijin pemanfaatan pulau bagi PT. TMS.
Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Dirjen Minerba Ridwan Jamaludin menawarkan alternatif penciutan
konsesi tambang menjadi 25.000 Ha, tapi ditolak oleh perwakilan masyarakat Sangihe.
Yang menarik adalah pernyataan Kepala BNPB Doni Monardo saat ditemui warga dan Bupati
Kepulauan Sangihe, Jabes E. Gaghana serta Kepala Dinas Lingkungan Hidup Ronald Izaak.
Ia menyatakan bahwa pulau Sangihe sama sekali tidak boleh ditambang, karena selain pulau kecil,
juga rawan mengalami bencana alam. Hal itu telah disaksikan langsung oleh pak Doni Monardo di tahun
2019 saat mengunjungi desa Lebbo di Kecamatan Manganitu yang mengalami banjir bandang dan
mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan materi yang tidak kecil di pihak masyarakat.
Sementara pihak Komnas HAM dan Komnas Perempuan menyatakan akan mengunjungi langsung
pulau Sangihe.
Hal ini kemudian
ditindaklanjuti oleh Komnas Perempuan pada akhir tahun 2021. Sedangkan Komnas
HAM, dengan dipimpin langsung oleh Ketua, Ahmad Taufan Damanik bersama Komisioner bidang
pengkajian dan penelitian Sandrayati Moniaga, mengunjungi pulau Sangihe di akhir bulan Maret 2022.
Utusan masyarakat juga bertandang ke kantor PGI, dan diterima langsung oleh Sekretaris Umum Pendeta Jacky Manuputty. Ia menyatakan simpati dan pemihakannya atas nasib masyarakat pulau
Sangihe.
Ia kemudian bercerita tentang kondisi pulau-pulau di Provinsi Maluku yang juga mengalami nasib yang
sama, menjadi objek eksploitasi perusahaan tambang. Gereja menurut dia harus bersikap tegas dan
berpihak.
Di Depok, perwakilan masyarakat juga menemui tokoh-tokoh masyarakat Sangihe di Jakarta yang juga alumni SMP 201 dan SMA 1 Tahuna. Pertemuan dilaksanakan di Graha Insan Cita, Depok, yang dikelola
oleh tokoh masyakat Sangihe yang juga akademisi IPB, Dr. Ahmad Nasir Biasane. Pada kesempatan itu
dideklarasikan penolakan atas kehadiran PT. TMS oleh para alumni.
Sekembalinya dari Jakarta, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam SSI kemudian melaksanakan
sosialisasi secara maraton tentang dampak pertambangan kepada masyarakat dan lingkungan hidup.
Bermula dari kampung Bowone, sosialisasi kemudian dilanjutkan ke berbagai kampung di lingkar
konsesi 42.000 Ha secara terus menerus sejak bulan Mei hingga Oktober 2021. Bahkan sosialisasi juga
dilaksanakan di kampung Kalekube, Tabukan Utara yang tidak termasuk wilayah konsesi PT. TMS.
Selain itu, webinar dengan sejumlah pihak melalui aplikasi online dilakukan. Diantaranya secara rutin
dengan komunitas masyarakat Sangihe di Amerika dan berbagai Negara lain. Dengan diaspora Sangihe se-Indonesia.
Kemudian dengan Kaka Slank, dengan kedutaan Kanada di Indonesia. Juga dilaksanakan temu online dengan berbagai kampus di Indonesia seperti Udayana Bali, Politeknik Nusa Utara, serta dengan komunitas mahasiswa perencana Indonesia.
Dialog offline tentang topik pertambangan dan dampak di masa depan terhadap pulau Sangihe juga
dilakukan dengan radio maupun televisi baik lokal maupun nasional.
Pada 23 Juni 2021, gugatan terhadap SK Menteri ESDM RI nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe tanggal 29 Januari 2021 di layangkan ke PTUN Jakarta. Yang digugat adalah Menteri ESDM-RI dan
tergugat intervensi PT.
Tambang Mas Sangihe. Yang menggugat adalah Elbi Pieter, perempuan ibu
rumah tangga warga desa Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah beserta 6 orang lainnya.
Kemudian gugatan intervensi juga dilayangkan di pengadilan yang sama oleh Adelman Makadapa,
warga desa Dagho Kecamatan Tamako bersama 29 warga lainnya yang kampung halamannya masuk dalam wilayah 42.000 Ha konsesi PT. TMS.
Sementara Oktober 2021, Yultrina Pieter bersama 55 perempuan warga desa Bowone Kecamatan
Tabukan Selatan Tengah melayangkan gugatan di PTUN Manado kepada Kepala Dinas Penanaan Modaldan Perijinan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara atas penerbitan ijin lingkungan bagi PT. TMS dengan
nomor 503/DPMPTSPD/IL/IX/2020 tanggal 25 September 2020.
Ijin lingkungan tersebut diduga diterbitkan dengan dasar dokumen AMDAL yang penyusunannya tidak
melibatkan masyarakat.
Selain itu, kejanggalan lain yang berujung gugatan terhadap ijin lingkungan PT.
TMS dikarenakan empat orang dari pihak masyarakat yang menandatangani dokumen AMDAL PT. TMS
tidak ditetapkan melalui musyawarah kampung maupun kecamatan.
Di sela perjuangan membebaskan pulau Sangihe dari eksploitasi PT TMS, terdengar kabar duka. 9 Juni 2021, Wakil Bupati Kepulauan Sangihe, Helmud Hontong, meninggal dunia di pesawat dalam perjalanan
dari Denpasar Bali menuju Makassar. Ia baru saja menghadiri pertemuan perhimpunan Wakil Bupati seIndonesia yang dilaksanakan di Bali.
Pak Helmud Hontong adalah pejabat Sangihe yang secara terbuka menentang kehadiran PT. Tambang
Mas Sangihe. Ia prihatin dengan kondisi pulaunya, terutama masa depan masyarakat yang ia ayomi, jika perusahaan ini jadi beroperasi dan membongkar bagian selatan pulau Sangihe.
Secara pribadi, pak Helmud Hontong telah menyurati Kementerian ESDM-RI dan menyatakan penolakannya terhadap PT. TMS.
Kematian pak Hontong yang mendadak, menjadikan isu penolakan terhadap eksploitasi pertambangan
di pulau Sangihe menjadi isu nasional. Berbagai spekulasi bermunculan terkait kematian almarhum.
Namun, dibalik itu, dukungan terhadap upaya penyelamatan pulau Sangihe mengalir dari berbagai
pihak baik lokal maupun Nasional. Media massa Nasional maupun internasional tiba-tiba merubungi pulau Sangihe. Hal ini kemudian semakin membuka mata publik tentang bahaya besar yang sedang mengancam pulau kecil bernama Sangihe.
Selain melakukan pendampingan kepada masyarakat melalui berbagai sosialisasi ke kampung-kampung, ada sejumlah agenda yang secara konsisten dilaksanakan oleh gerakan masyarakat Save Sangihe Island di rentang paruh kedua tahun 2021 hingga awal tahun 2022.
Agenda- agenda tersebut yakni : 21 Juni 2021 BEM Nusantara wilayah Sulawesi Utara bersama SSI
melaksanakan aksi massa di kantor Gubernur Sulawesi Utara, menuntut pencabutan Ijin Operasi PT TMS di pulau Sangihe.
19 Agustus 2021, sejumlah mahasiswa dan kelompok pencinta alam melakukan aksi sekaligus penggalangan dana bagi perjuangan gugatan masyarakat di PTUN Jakarta dan Manado, di bundaran zero point Manado.
16 September 2021 aksi bersama oleh aliansi Pemuda Sangihe, yang merupakan pengurus berbagai organisasi kepemudaan di Sangihe di kantor DPRD Sangihe. Yang menerima saat itu adalah Sekretaris Dewan Riputri Tamaka. Tidak terlihat satu orang pun anggota DPRD Sangihe di kantor tersebut, meski saat itu bukan hari libur.
28 Oktober 2021, aksi dalam rangka Hari Sumpah Pemuda dilaksanakan di Tahuna oleh gabungan mahasiswa Politeknik Nusa Utara dan kampus lainnya yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa
dan Pemuda Selamatkan Sangihe (KAMPASS). Lebih dari 300 mahasiswa dan masyarakat dari berbagai
kampung melakukan longmarch dari pelabuhan tua Tahuna ke rumah jabatan Bupati dan DPRD Kepulauan Sangihe menuntut sikap Bupati dan DPRD Sangihe untuk berjuang menolak PT TMS.
31 Oktober 2021, penegasan sikap jemaat Imanuel Kelling, Balehumara Tagulandang menolak PT TMS, yang menjadi momentum gerakan massa di lingkungan GMIST.
10 November 2021, aksi massa oleh masyarakat lingkar Tambang di Salurang, Bowone, Binebase dan
Bentung dipimpin oleh Agus Mananohas, seorang kakek berusia 76 tahun, yang menolak kehadiran PT TMS.
Sementara di Jakarta juga dilaksanakan aksi massa oleh diaspora Sangihe di kantor Kementerian
ESDM-RI.
11 November 2021, Ketua DPD-RI La Nyalla Mattaliti, menyatakan ijin kementerian ESDM di pulau Sangihe melanggar undang-undang.
3 Desember 2021, masyarakat dari berbagai kampung di wilayah selatan dan kampung Kalekube
menyambut tim independen bentukan Kementerian ESDM-RI di Bandara Naha dan membentangkan
spanduk di sepanjang jalan. Tim tersebut bertugas melakukan investigasi lapangan tentang
pertambangan PT. TMS di Sangihe. 4 Desember 2021, dialog antara masyarakat dengan tim independen ESDM-RI di Papanuhung Santiago, Rumah Jabatan Bupati Kepulauan Sangihe. Pada saat itu, Bupati Jabes Ezar Gaghana secara tegas dan lantang menyatakan menolak kehadiran PT. TMS.
7 Desember 2021, menjelang pembukaan Sidang Saksi mahasiswa membentangkan spanduk pak Gubernur, tolong jangan korbankan Pulau Sangihe. dan pembentangan spanduk oleh masyarakat di beberapa titik. Sehari sebelumnya pihak kepolisian kesana kemari mengintimidasi. Sekaligus pembukaan sidang sinode GMIST.
8 Desember 2021, pada pelaksanaan Sidang Sinode ke XXV di Enemawira, masyarakat lingkar tambang di Bowone, Salurang dan Binebase membentangkan spanduk di lokasi pelaksanaan Sidang dan meminta dukungan dari para pemimpin jemaat yang hadir pada saat itu.
10 Desember 2021, aksi massa dalam rangka hari HAM dilaksanakan di kantor Gubernur Sulawesi Utara.
Meminta Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memperhatikan hak-hak rakyat Sangihe yang berpotensi dirampas oleh operasi pertambangan PT.
Tambang Mas Sangihe.
16 desember 2021, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyurati Presiden Joko Widodo,
meminta Presiden untuk meninjau dan menghentikan kegiatan PT. TMS di pulau Sangihe.
22-24 Desember 2021, masyarakat dari berbagai kampung di wilayah Selatan, berkumpul di Pelabuhan
Pananaru dan mengusir pulang alat berat PT. TMS, dengan kontraktornya PT. Indodrill. Alat berat
tersebut dinaikkan kembali ke kapal LCT Bintang Setiawan dan dikembali ke pelabuhan Bitung. Selama
tiga hari masyarakat berkumpul di pelabuhan, dan merayakan Natal di bawah guyuran hujan.
30 Desember 2021, Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) mengeluarkan pernyataan sikap yang
dituangkan lewat surat bernomor 019/LL.g/G/XII-2021 yang menolak aktivitas pertambangan oleh PT TMS.
18 Januari 2022, aksi gabungan LMND dan GMNI Sangihe di kantor DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Mahasiswa sampai melakukan sweeping ke ruang-ruang kantor DPRD Sangihe mencari anggota DPRD, namun mereka tidak menemukan satu orang pun padahal itu adalah hari kerja dan bukan hari libur.
22 Januari 2022 Gabungan pengurus rukun-rukun masyarakat Sangihe di Jakarta diundang bertemu oleh Direktur Operasional PT. TMS Jiriel Kumajas dan konsultan CSR Boy Paparang. Pada saat itu, gabungan pengurus yang diwakili oleh bapak Gerd Aer yang akrab disapa Bung Hartje Aer menyatakan dengan tegas menolak keberadaan PT TMS.
28 Januari 2022, saat pelaksanaan Sidang MPL PGI yang dilaksanakan di Tahuna, masyarakat dari berbagai kampung di wilayah selatan membawa pernyataan sikap dalam aksi massa.
Tujuannya untuk diberikan kepada Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Namun Menteri batal datang. Pernyataan sikap tersebut kemudian diserahkan kepada Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey di hotel Dialoog, Tahuna.
3-4 Februari 2022, masyarakat berkumpul di Tahuna lalu bergerak ke kampung Pananaru dan mengusir kembali alat berat berupa Drill Rig machine milik PT. TMS yang diangkut dengan kapatl LCT Artha Bumi Tsabit. Saat itu, penurunan alat berat PT. TMS dikawal oleh sekitar 200 personel kepolisian dari POLRES Sangihe dan bantuan personel dari sejumlah POLSEK yang berdekatan dengan Pelabuhan Pananaru.
Sementara saat itu massa dari pihak masyarakat hanya sekitar 50-an orang yang mayoritasnya adalah
perempuan.
17 Februari 2022, Sidang di PTUN Manado menghadirkan saksi Bernard Tuwokona Pilat, mantan Kepala
Bapelitbang dan Asisten II Setda Kabupaten Kepulauan Sangihe. Ia juga merupakan Sekretaris BKPRD
Kabupaten Kepulauan Sangihe ketika permohonan kesesuaian ruang PT. TMS ditolak oleh Pemkab
Sangihe karena bertentangan dengan UU 1 tahun 2014.
Saksi kedua adalah Christoffel Hangau, mantan Kadis Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe. Ia menyatakan bahwa DLH Sangihe tidak pernah memberi rekomendasi bagi penyusunan AMDAL PT TMS.
23 Februari 2022, kembali alat berat berupa mesin bor hendak diangkut ke Sangihe dari pelabuhan
penyeberangan Mobongo Amurang. Namun ternyata alat berat tersebut batal diangkut karena ditolak
oleh pihak Syahbandar karena dokumen yang tidak lengkap.
28 Februari 2022, masyarakat kembali berkumpul di Pelabuhan Pananaru setelah mendengar bahwa alat berat PT.TMS kembali akan dipaksa masuk ke pulau Sangihe. Namun ternyata, alat tersebut diturunkan kembali oleh Syahbandar pelabuhan penyeberangan Mobongo, Amurang karena tidak
memiliki kelengkapan dokumen angkut.
7 Maret 2022, Sidang pemeriksaan setempat dilaksanakan oleh PTUN Jakarta dan Manado di Sangihe.
Sidang dilaksanakan di kantor Desa Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah. Ada sejumlah
kejanggalan yang dilihat oleh pihak penggugat dalam pelaksanaan Sidang seperti Majelis Hakim PTUN
Jakarta yang tidak bersedia meninjau titik-titik koordinat konsesi 42.000 Ha.
Mengawali Sidang ketua
majelis hakim PTUN Jakarta terlibat debat dengan pengacara penggugat Muhammad Jamil karena hakim menyatakan bahwa tahapan konstruksi yang sedang dilaksanakan oleh PT. TMS tidak termasuk dalam tahap operasi produksi.
14 Maret 2020, Sidang PTUN Jakarta menghadirkan saksi ahli dari pihak penggugat yakni Dr. Tri Haryati
ahli hukum pertambangan dan Dr. Maret Priyatna ahli hukum tata ruang. Tri Haryati menyatakan bahwa
segala ijin harus diselesaikan terlebih dahulu termasuk ijin pemanfaatan pulau oleh Menteri Kelautan
dan Perikanan yang menjadi prasyarat dasar dalam melakukan investasi di pulau kecil.
Sedangkan Maret Priyatna menegaskan bahwa dalam hal penetapan ruang, kewenangannya ada pada
Bupati dan Walikota.
25 – 27 Maret 2022, Komnas HAM dipimpin langsung oleh Ketua, Ahmad Taufan Damanik dan Komisioner bidang pengkajian dan penelitian melaksanakan investigasi lapangan di pulau Sangihe terkait aduan yang disampaikan oleh gerakan Save Sangihe Island pada bulan Mei 2021.
Dari investigasi menemui Bupati, GMIST, anggota masyarakat, tokoh agama, tokoh adat serta meninjau langsung lokasi pertambangan didapat kesimpulan bahwa akan ada potensi konflik dan
pelanggaran HAM di masa yang akan datang apabila PT. TMS dipaksakan beroperasi di pulau Sangihe.
Sampai hari ini, masyarakat di berbagai kampung tetap setia menjaga pulaunya. Mereka solid tidak
mengijinkan PT. TMS memobilisasi alat beratnya ke Sangihe.
Alasannya jelas. Selain karena gugatan sementara disidangkan juga karena PT. TMS beroperasi secara
ilegal karena tidak memiliki ijin pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Demikian juga persidangan di PTUN Jakarta dan Manado terus berjalan. Untuk PTUN Jakarta sudah mendekati tahap putusan. Apa pun putusannya pasti akan berlanjut ke tahap banding, baik oleh PT. TMS
maupun oleh masyarakat Sangihe.
Ini adalah perjuangan panjang. Karena itu, kesetiaan, semangat dan konsistensi didasari cinta atas
pulau Sangihe harus terus dikobarkan.
Koalisi masyarakat Save Sangihe Island mengajak seluruh masyarakat Sangihe, baik yang tinggal di
pulau maupun yang sudah berdiaspora ke daerah dan Negara lain untuk tetap menjaga semangat,
menjaga soliditas dan mempertahankan pulau Sangihe, demi generasi ke depan.
Pulau Sangihe hanya satu. Tidak ada pulau Sangihe lainnya. Jika pulau Sangihe rusak, maka tidak akan
ada penggantinya. Karena itu, jangan pernah biarkan siapapun merampas dan merusak pulau Sangihe
untuk tujuan apa pun.
Kita harus terus jaga pulau ini dengan seluruh daya kita, dengan totalitas perjuangan kita, meski harus berkalang tanah. Jaga pulau SANGIHE! karena hanya ini satu-satunya SANGIHE kita.
* Penulis, Alfred Silangen Pontolondo, Kordinator Save Sangihe Island