Oleh : DR. Rini Syafri*
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah diterapkan lebih dari setahun. Pada awal pelaksanaan asuransi wajib JKN ini pemerintah menjanjikan tidak ada lagi masyarakat yang sadikin (sakit sedikit menjadi miskin). Tidak akan ada lagi yang ditolak di rumah sakit. Walaupun kenyataannya masyarakat sudah antri berdesak-desakan hingga berhari-hari untuk mendapatkan kartu tanda kepesertaan BPJS (Badan Pelaksana Jaminana Sosial). Nyatanya tidak sedikit harus membayar mahal pelayanan kesehatan meski sudah membayar premi wajib, tidak sedikit yang diterlantarkan di rumah sakit, ditolak dengan berbagai alasan, atau kemudian dipulangkan meski masih membutuhkan perawatan intensif, dan bahkan ada yang dibuang.
Pemerintah dan pihak terkait tetap bersikukuh mengatakan bahwa ini adalah persoalan teknis. Terlihat dari respon Menteri Kesehatan saat masyarakat antri mengular untuk mendapatkan kartu tanda kepesertaan BPJS Kesehatan. Menteri Kesehatan hanya meminta BPJS Kesehatan menambah loket dan melakukan pendaftaran di tingkat RT/RW, bukan menggratiskan pelayanan kesehatan terbaik sebagaimana mestinya.
Negara-negara yang selama puluhan tahun menerapkan konsep Universal Health Coverage (UHC) atau cakupan kepesertaan asuransi kesehatan wajib bagi semua, ternyata sudah dikritik keras oleh Schoen dkk (Schoe ,C.,Osborn,R., Doty, M.M et all) dalam penelitiannya Toward Higer Performance Health System: Adult’ Health Care Experience in Seven Countries, 2007. HEALTH Aff. Nov, 2007, 26 (6), 717-734). Dalam penelitian Gaisano, Gwang pada jurnal yang dipublikasi oleh The Canadian Medical Association Journal, April 2, 2013, 185(6), The Effect of socio-economic status on access to primary care: an audit study. Mereka membuktikan betapa sulitnya akses masyarakat miskin Toronto Canada terhadap pelayanan kesehatan primer.
Bila dicermati secara seksama ternyata konsep prinsip JKN, UHC yang neoliberal ini tidak pernah mampu menyelesaikan masalah yang ada dan mempunyai potensi mencederai hak pelayanan kesehatan publik.
Pertama, komersialisasi kesehatan, dimana masyarakat harus membeli pelayanan kesehatan sendiri yang semestinya diperoleh secara gratis dari pemerintah dengan kwalitas terbaik. Belum lagi kerjasama pemerintah dengan sejumlah asuransi lain yang menyediakan plafon pelayanan kesehatan lebih tinggi dengan syarat membayar premi kembali, yang akhirnya pelayanan kesehatan hanya untuk yang beruang.
Kedua, pemerintah hanya sebagai regulator. Tanggung jawab dan wewenang kesehatan diserahkan sepenuhnya pada BPJS. BPJS Kesehatan atas nama undang- undang dapat memaksa masyarakat agar membayar premi, mengelolanya diatas prinsip-prinsip bisnis dan hanya menanggung biaya pengobatan bagi masyarakat yang membayar premi sesuai dengan ketentuan BPJS kesehatan.
Sementara model pelayanan yang diberikan berjalan diatas prinsip-prinsip yang mengedepankan keuntungan, mengabaikan aspek kemanusiaan yang justru sangat dibutuhkan untuk keselamatan dan kesehatan pasien. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dipopulerkan dengan sebutan gotong royong, case mix funding (pembayaran tagihan dengan sistem paket), penggajian tenaga kesehatan (nakes) dengan sistem kapitasi dan referal system (pelayanan berjenjang)
Konsep premi wajib (out of pocket), yang dipromosikan akan mengatasi bencana finansial (financial catastrophe), justru menimpakan beban finansial ganda pada masyarakat, karena selain membayar premi wajib masyarakat juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit saat sakit dengan alasan co-sharing. Ini dikarenakan adanya plafon (batasan) pelayanan, keterbatasan ketersediaan pelayanan bagi pasien BPJS, tidak memadainya jumlah fasilitas dan jumlah nakes Semua didasari pada tuntutan tatakelola neoliberal yang mengedepankan perhitungan bisnis. Bagi kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau yang hampir miskin, pelayanan minimalis JKN ini sering berujung dengan sakit yang parah bahkan tidak jarang kehilangan nyawa.
Konsep pembayaran dengan sistem paket (mix funding) INA CBGs case (Indonesia Case Based Groups) dan kapitasi yang berbuah pahit. Sejumlah pasien dipulangkan dari Rumah Sakit padahal masih membutuhkan perawatan. Dengan alasan efektif dan efisien, resiko pemulangan pasien sebelum sembuh ini karena sistem kesehatan hanyalah industri yang digerakkan oleh uang.
Konsep pelayanan berjenjang (referral system) yang dijanjikan akan meningkatkan kualitas pelayanan karena penumpukan pasien pada fasilitas kesehatan tingkat rujukan rumah sakit justru menambah panjang catatan penderitaan masyarakat. Terbatasnya fasilitas kesehatan yang disediakan BPJS serta terbatasnya plafon mengharuskan pasien BPJS setidaknya antri 6 -8 jam bahkan untuk memperoleh pelayanan kesehatan di pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Hasil survey yang menunjukkan 81 % peserta BPJS Kesehatan puas dengan kinerja BPJS Kesehatan (kompas, 30 Desember 2014) bukan menunjukkann kesejahteraan kebijakan JKN. Tetapi ini adalah bukti bahwa masyarakat semakin terbiasa dengan haknya yang terampas dan abainya pemerintah terhadap tenggungjawabnya.
Ini adalah fakta bahwa konsep UHC, JKN yang menegaskan matinya fungsi negara dalam sistem politik demokrasi neoliberal yang tidak layak diterapkan lebih lama lagi karena penerapan konsep-konsep tersebut tidak akan menyelesaikan masalah.
Sesungguhnya Allah swt telah mengingatkan kita dalam QS Ibrahim (14) : 26 yang artinya, “Dan perumpamaan kalimat yang buruk (konsep yang salah, konsep bathil) adalah seperti pohon yang buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap(tegak) sedikitpun”
Jadi masalah yang ada di JKN ini bukan masalah teknis karena tidak dapat mengatasi masalah mendasar, tapi sejtinya masalah ideologis!
* Penulis adalah anggota DPP MHTI (Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)