Tak mudah menghadirkan salah satu keturunan dari tokoh sentral peristiwa 1965 menjadi bagian dalam Forum Silaturahmi. Salah satunya putera Ketua CC PKI, DN Aidit, Ilham Aidit. Proses menghadirkan Ilham dalam forum silaturahmi ini sungguh panjang dan berliku.
Undangan demi undangan dikirimkan kepada Ilham yang saat itu masih menetap di Bali. Ketika menerima undangan untuk mengajak bergabung keningnya mengerenyit. “Forum apa ini? Untuk apa? Tidak jelas.” Begitu dia mengenang undangan pertama datang padanya. Bagi Ilham, rekonsiliasi sulit dicapai lantaram sudah begitu banyak korban. Menurut dia menyembuhkan luka di hati para korban pun juga terlampau berat. “Jadi tidak akan ada kata rekonsiliasi,” katanya.
Ilham bukannya tanpa alasan merasa skeptis dengan ajakan bergabung dalam forum itu. Luka yang dia alami atas peristiwa yang menimpa ayahnya terlampau dalam. Kala itu Ilham kecil merasakan perubahan yang begitu drastis. Beberapa hari menjelang akhir September 1965, ia masih menyaksikan ayahnya berpidato berapi-api dan dielu-elukan massa. Tapi hanya selang sehari pasca G30S, dia menyaksikan di sebuah tembok besar dekat rumahnya terpampang tulisan yang membuatnya terpukul. “Gantung Aidit, Bubarkan PKI, Subandrio Anjing Peking”.
Setelah peristiwa itu, masa kecil Ilham demikian suram. Dalam pergaulannya dengan teman-teman sekolah, dia melawan ejekan teman-temannya dengan cara berkelahi. Ia tak rela sang ayah dianggap pengkhianat dan layak dihukum gantung. Masa liarnya berakhir ketika dia bertemu dengan Pastor MAW Brouwer yang datang menasihatinya dan meminta dia berhenti berkelahi. Tujuannya agar dia bisa bertahan hidup dan menjalani masa depan. Ilham mengangguk setuju. Jalan tengah dia ambil. Sejak di bangku SMP Ilham berlatih tak mencantumkan “Aidit” pada nama belakangnya.
Ajakan demi ajakan untuk bergabung dengan forum silaturahmi ini diakuinya memerlukan proses yang cukup rumit dan panjang. Dia mengajak beberapa orang untuk berdiskusi, di antaranya beberapa kawan di Eropa, mengenai forum ini. Dalam diskusi itu, muncul pro-kontra. Ada yang mengatakan silaturahmi baik-baik saja, tapi ada yang mengatakan jangan pernah membuka pintu buat forum-forum semacam ini yang nantinya tidak ada hasilnya.
Dalam rentang dua tahun dia merenung atas ajakan bergabung FSAB. Hingga suatu hari, ia membaca di Koran Tempo berita tentang pertemuan FSAB yang diadakan di Restoran Pulo Dua, Senayan. Ilham mulai mencari tahu, forum itu dibentuk untuk apa, diminati oleh siapa saja. Ketika datang undangan yang keempat kali, hati Ilham mulai tergerak. Dia mulai mengakui, memang benar, kalau sebuah negara terus diguncang oleh konflik yang tidak pernah selesai, maka bisa jadi negara itu akan terlambat berkembang. Bersamaan dengan itu Ilham memperoleh wacana tentang konsep KKR dari kawan-kawannya di LSM, bahkan mereka mengajak Ilham membuat dua kali seminar mengenai KKR di Bali. Ringkasnya Ilham menjadi cukup terbuka untuk tidak bersikap terlalu keras, dan bisa menerima perdamaian, menerima rekonsiliasi.
Peran dua sahabatnya Hardoyo dan Arief Moenandar juga cukup memengaruhi sikap keras Ilham. Tiga tahun sebelumnya, keduanya memberi imbauan ke Ilham. “Bagaimana kalau anda setelah sekian lama tidak menggubris undangan FSAB, sekarang mencoba hadir saja dulu, karena ini forum silaturahmi.”
Seketika pikirannya berubah mengenang ajakan sahabatnya itu. “Saya terhentak ketika sadar betul bahwa forum ini forum silaturahmi, jadi siapapun bisa hadir, siapapun bahkan diwajibkan hadir kalau memang dia diminta untuk melakukan silaturahmi. Kalau saya diundang untuk datang sebaiknya saya hadir,” kenangnya.
Ketika ia akhirnya memeroleh undangan yang keenam, Ilham memutuskan hadir. Pada saat peresmian dan peluncuran Forum Silaturahmi Anak Bangsa di Hotel Indonesia pada hari Rabu, 22 Oktober 2003, Ilham hadir bersama tokoh-tokoh lain. Kehadirannya dalam forum itu diakui Ilham karena ada dua sahabat yang sangat ia percaya. “Karena di sana ada Mas Arief Moenandar dan Mas Hardoyo yang sangat saya percaya. Mereka merekomendasikan forum ini kepada saya. Selain kesadaran saya sendiri bahwa pertautan, perdamaian, rekonsiliasi, mesti diwujudkan di Indonesia dan harus menjadi kebiasaan. Kalau ada pertikaian, itu harus diselesaikan dengan perdamaian yang sehat.”
*Artikel ini ditulis oleh Bernada Triwara Rurit, Nina Pane dan Stella Warouw dalam buku kumpulan tulisan yang berjudul The Children Of War oleh Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang di terbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, Juni 2013