JAKARTA – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan ada sejumlah pertimbangan yang melandasi kesepakatan Indonesia untuk membebastugaskan tarif impor atas produk Amerika Serikat ke Indonesia.
Deputi I Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menjelaskan, alasan pertama, skema tarif bea masuk 0% sudah termaktub dalam beberapa perjanjian perdagangan seperti perjanjian perdagangan bebas (FTA) hingga Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA), bukan hanya dengan AS.
“Jadi tidak tiba-tiba atau tanpa perhitungan yang matang. Secara keseluruhan, kalau kita tetap mengenakan atau terima 19% masih diuntungkan dibandingkan kalau kita dikenakan tarif awal,” ujar Ferry saat ditemui di kantornya, dikutip Bergelora.com di Jakarta Minggu (20/7/2025).
Kedua, meskipun tarif masuk dibebaskan, namun masih terdapat potensi penerimaan dari biaya logistik karena jarak yang jauh dari Negeri Paman Sam ke Tanah Air.
Ketiga, Ferry menggarisbawahi tarif perdagangan yang turun menjadi 19% menjadikan posisi Indonesia lebih kompetitif dibandingkan dengan negara lain.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan pemerintah tidak melihat bahwa penetapan bebas bea masuk atas produk AS tidak serta-merta menyebabkan banjir impor.
Sebab, selama ini sebagian besar barang dari AS ke Indonesia selama ini sudah 0%. Oleh karena itu, rata-rata tarif untuk produk AS selama ini sudah rendah.
“Jadi bukan terus tiba-tiba karena perundingan terus kita tidak seperti itu. Jadi tidak ada yang banjir, tidak ada sama sekali,” ujar Susiwijono.
Kepala Ekonom Bank Pertama Josua Pardede mengatakan kesepakatan penghapusan tarif impor dari produk-produk Amerika Serikat ke pasar Indonesia dapat menyebabkan gangguan impor barang konsumsi maupun barang modal dari Negeri Paman Sam.
Menurutnya, tanpa strategi substitusi yang jelas atau optimalisasi penggunaan barang modal impor untuk produksi bernilai tinggi, risiko defisit tambah neraca perdagangan terhadap AS semakin besar dalam jangka pendek hingga menengah.
Catatan Sekadar, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat surplus neraca perdagangan dengan AS mencapai US$8,28 miliar pada Januari-Mei 2025. Angka ini semakin tinggi dibandingkan US$6,42 miliar pada Januari-April 2025.
Komoditas penyumbang surplus terbesar dengan AS antara lain, mesin dan perlengkapan elektrik US$1,64 miliar; alas kaki US$1,06 miliar; dan pakaian dan aksesorinya US$1,02 miliar.
Selain itu, kesepakatan yang menyatakan AS memiliki akses penuh ke Indonesia menyebabkan kemungkinan besar terjadi pergeseran pola konsumsi domestik yang beralih dari produk lokal ke produk impor. Hal ini khususnya untuk barang-barang konsumsi bernilai tinggi, seperti elektronik canggih, produk makanan/minuman premium, hingga produk farmasi.
“Jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi domestik yang kompetitif, hal ini akan menyebabkan pelebaran defisit neraca secara perdagangan secara keseluruhan,” ujar Josua, Rabu (16/7/2025).
Mengutip kajian Bloomberg Economics karya Adam Farrar dan Rana Sajedi, tarif masuk produk Indonesia ke AS pada 2024 (sebelum Trump menggaungkan kebijakan tarif) memang rendah, kurang dari 5%. Saat ini, tarif efektif yang berlaku sudah naik hampir 15%.
“Dengan kesepakatan terbaru dengan tarif 19%, maka tarif efektif terhadap produk-produk Indonesia akan naik menjadi lebih dari 22%,” sebut riset itu.
Memang tarif tersebut jauh lebih rendah dari ‘ancaman’ awal. Namun bukan berarti tanpa risiko bagi Indonesia.
“Pembacaan awal kami mengindikasikan bahwa ekspor Indonesia ke AS bisa turun 25% dalam jangka menengah. Dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 0,3%,” ungkap riset Bloomberg Economics.
Selain itu, Josua mengatakan Pemerintah Indonesia berpotensi menghadapi penurunan pendapatan yang masuk secara signifikan. Kementerian Keuangan melaporkan realisasi penerimaan bea masuk sebesar Rp23,6 triliun. Angka ini turun 2,7% secara tahunan atau year-on-year (yoy).
Di sisi lain, kewajiban pembelian dalam jumlah besar seperti pesawat Boeing juga memperbesar tekanan terhadap posisi neraca pembayaran jangka pendek.
Selain itu, Josua menggarisbawahi tarif resiprokal 19% untuk Indonesia—meski turun dari level sebelumnya sebesar 32%—masih lebih besar dibandingkan dengan era sebelum perang dagang.
Sehingga, daya saing produk ekspor utama Indonesia ke AS seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan komoditas seperti kelapa sawit, masih menghadapi tekanan lebih besar dibandingkan dengan era sebelum perang dagang.
Di sisi lain, Josua menilai kunci utama untuk memaksimalkan manfaat dari perjanjian ini adalah bagaimana pemerintah Indonesia mengelola kebijakan impor agar terfokus pada barang-barang modal dan teknologi, sekaligus meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri agar mampu bersaing di pasar domestik maupun internasional.
“Kesepakatan ini dapat menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi di masa depan, Asalkan Indonesia mampu secara efektif menerjemahkan kemitraan perdagangan ini menjadi dorongan nyata terhadap produktivitas, nilai tambah industri domestik, serta pembangunan infrastruktur ekonomi yang berkelanjutan,” ujarnya.
Presiden AS Donald Trump memastikan tarif impor untuk barang dari Indonesia sebesar 19%, alias lebih rendah dari pengumuman sebelumnya sebesar 32%.
Tidak terlepas dari komitmen tersebut, Trump juga menyebut komitmen Indonesia untuk membeli produk energi AS hingga US$15 miliar dan komoditas lainnya.
“Produk pertanian Amerika bernilai US$4,5 miliar, dan 50 Jet Boeing, banyak di antaranya adalah Boeing 777,” ujar Trump.
Melalui pengumuman tersebut, Trump menyatakan AS akan memiliki akses penuh terhadap pasar Indonesia tanpa tarif.
“Kami tidak akan membayar tarif. Jadi mereka memberi kami akses ke Indonesia, yang tidak pernah kami miliki. Itu mungkin bagian terbesar dari kesepakatan itu. Bagian lainnya adalah mereka akan membayar 19%, kami tidak akan membayar apa pun,” ujar Donald Trump. (Calvin G. Eben-Haezer)