Minggu, 20 Juli 2025

SIAPA MAU TANGGUNG JAWAB..? Proyek Panas Bumi Bisa Picu Bencana di Flores

JAKARTA- Yoseph Erwin, warga Desa Wae Sano, Flores, Nusa Tenggara Timur, mengingat sosialisasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di wilayahnya sekitar 2017. Kala itu, warga menyatakan penolakan akan proyek itu.

Tak hanya warga, penolakan juga datang dari enam keuskupan di NTT. Suara keberatan itu seolah tiada guna. Nyatanya, pemerintah ngotot teruskan proyek PLTP Wae Sano.

“Suara kami tidak ada artinya bagi pemerintah,” kata Yoseph kepada Mongabay Mei lalu dikutip Bergelora.com di Jakarta Minggu (20/7).

Bukan tanpa alasan Yoseph menolak proyek PLTP ini. Mereka khawatir, proyek pembangkit memicu bencana lingkungan. Wae Sano, katanya, adalah ruang hidup mereka. Disana terdapat perkampungan adat, lahan pertanian dan perkebunan, sumber mata air, wilayah adat, hutan dan Danau Sano Nggoang.

Penolakan sama juga warga lakukan di Desa Atakore, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata atas rencana proyek PLTP Atadei.

Masyarakat adat Poco Lek, Flores, NTT menolak proyek panas bumi. (Ist)

Andreas Baha Ledjab, warga Atakore bilang, selama ini, lokasi proyek itu berada terdapat destinasi wisata populer dengan sebutan “Dapur Alam Karun Watuwawer.” Di lokasi panas bumi ini, warga bisa memasak makanan dengan uap panas bumi.

Pada 2023, objek wisata itu menyabet juara tiga nasional untuk kategori destinasi wisata unik dalam Anugerah Pesona Indonesia (API) 2023.

“Kami tidak ingin wilayah kami dijadikan lokasi proyek PLTP. Warga dan dapur alam tak bisa dipisahkan. Kami tidak ingin kehidupan sosial dan budaya kami hilang,” kata Andreas.

Proyek geothermal Atadei mulai sejak penetapan wilayah kerja pertambangan panas bumi berdasarkan Surat Menteri ESDM Nomor.2966/K/30/MEM/2008 pada 30 Desember 2008.

Pada 2017, pengerjaan oleh PT PLN melalui Keputusan Menteri ESDM No. 1894./30/MEM/ 2017. Rencana pengembangan proyek ini tertuang dalam usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dengan target menghasilkan energi listrik 10 Megawatt.

PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, NTT yang sudah beroperasi. (Ist)

Kaji dan Analisis Risiko Dengan Cermat

Mongobay melaporkan, Surya Darma, Ketua Pusat Studi Energi Terbarukan Indonesia (ICRES) mengakui, meskipun energi panas bumi memiliki keunggulan signifikan, sangat penting mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial secara cermat.

Pengembangan panas bumi di pulau-pulau kecil maupun pulau vulkanik dan rawan gempa seperti Flores dan Lembata menghadirkan tantangan dan dampak lingkungan yang unik.

“Ada ataupun tidak kegiatan pengusahaan panas bumi, kondisi geografis Flores rentan dengan aktivitas vulkanik dan kegempaan karena letaknya yang berada pada jalur subduksi dan cincin api Indonesia bagian timur,” katanya.

Surya menyarankan, sebelum mulai proyek, pemerintah perlu melakukan kajian risiko geologis dan lingkungan yang mendalam untuk mengidentifikasi dan memitigasi potensi negatif.

Menurut dia, potensi panas bumi sangat erat hubungan dengan posisi geografis dan geologis kawasan cincin api (ring of fire). Secara alamiah, kondisi itu menjadikan kawasan ini memiliki tingkat kegempaan tinggi.

Danau Sano Nggoang yang ada di Desa Wae Sano, yang diperkirakan turut terdampak proyek PLTP Wae Sano di Flores. (Ist)

Pemanfaatan panas bumi, katanya, mestinya berupaya menghindari daerah yang memiliki tingkat kebencanaan tinggi karena mata rantai kegiatan panas bumi meningkatkan potensi gempa. Terutama akibat dari proses reinjeksi fluida ke dalam kerak bumi.

“Injeksi fluida ini dapat mengubah tekanan dan tegangan di dalam batuan, yang berpotensi memicu pergerakan batuan dan menyebabkan gempa bumi mikro,” katanya.

Umumnya gempa berukuran kecil atau gempa mikro yang tidak manusia rasakan. Bahkan, hanya peralatan khusus untuk mendeteksi gempa mikro yang dapat memiliki catatan ada gempa mikro.

Namun, katanya, dalam beberapa kasus, gempa bumi berskala besar dapat terjadi, terutama di wilayah dengan kondisi geologis rentan, seperti di Flores yang memang secara alami berada di jalur tektonik dan berpotensi menimbulkan gempa.

“Makanya, sebelum proyek mulai, perlu dilakukan kajian risiko geologis dan lingkungan yang mendalam untuk mengidentifikasi dan memitigasi potensi jika adanya dampak negatif,” katanya.

Menurut Surya, kajian risiko geologis yang komprehensif, pemantauan seismik, dan penggunaan teknologi injeksi yang aman akan meminimalkan dampak gempa.

PLTP Sokoria, Kabupaten Ende yang sudah beroperasi. (Ist)

Kepentingan Siapa?

Berada di jalur ring of fire, pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) menyimpan potensi panas bumi cukup besar dari gunung-gunung aktif di dalamnya, termasuk di Lembata dan Flores memiliki 25 gunung aktif.

Berdasarkan sumber data dari One Map Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), terdapat 28 titik potensi panas bumi di NTT dengan kapasitas 861 MW, termasuk di Wae Sano yang menyimpan potensi 45 MW.

Beyrra Triasdian, Pengampanye Energy Terbarukan Trend Asia mengatakan, selama ini, proyek-proyek panas bumi di NTT lebih cenderung berpihak pada kepentingan bisnis dan mengabaikan hak warga . Padahal, sebagai proyek berisiko tinggi, pemerintah selayaknya mendengar suara dari bawah.

“Contoh yang sudah berlarut-larut misalnya di Mataloko, warga menolak tegas terhadap proyek geothermal imbas dari kegagalan pengeboran yang terjadi pada tahun 1998. Tapi, pemerintah bersikukuh melanjutkan proyek itu.”

Padahal, sejak ledakan kala itu, kini muncul luapan panas baru hingga merusak tanah warga.

Beyrra akui, transisi energi memang mutlak untuk menekan emisi yang timbul dari penggunaan energi berbahan fosil. Namun, katanya, proses itu harus berjalan secara adil: tidak sekadar menguntungkan korporasi besar dan merugikan masyarakat di tingkat tapak.

Dia pun meminta pemerintah tidak hanya melihat transisi ini hanya sebatas peralihan dari energi berbahan fosil ke energi terbarukan ansich. Tetapi, juga menjadikan prinsip keadilan dan partisipasi berarti sebagai elemen di dalamnya.

Dengan kata lain, transisi energi yang adil itu tidak akan terwujud tatkala dalam pelaksanannya justru meninggalkan beban berat pada masyarakat dan lingkungan, baik langsung maupun tidak. Semetara pemilik korporasi mereguk untung.

“Kalau pemanfaatan energi terbarukan kita lakukan dengan sikap yang sama-sama ekstraktif, kerusakan tidak mungkin dapat kita hindari.”

Beyrra bilang, transisi energi, apalagi dengan masuknya pendanaan global, seharusnya menempatkan masyarakat dan lingkungan sebagai jantung dari kebutuhan transisi itu sendiri.

Lubang-lubang panas bumi di bekas kebun warga di Desa Wogo, Mataloko, Kabupaten Ngada yang terus mengeluarkan asap. (Ist)

Selama ini, kata Beyrra, daerah-daerah di NTT acapkali bermasalah dengan akses air bersih. Dia khawatir, rencana pemerintah menggeber proyek geothermal justru akan memperparah situasi itu mengingat besarnya kebutuhan air akan proyek ini.

“Dari pengeboran awal untuk menentukan titiknya saja memerlukan air yang sangat banyak. Tidak jarang saya mendengar dari akar rumput bagaimana sungai-sungai mereka menjadi kering dari hanya proses awal pencarian titik panas bumi.”

Belum lagi katanya, polusi dari proses fracking atau pembuangan limbah rutin. Ia tidak bisa membayangkan masyarakat yang tinggal di pulau sempit itu harus berebut sumber air. Sementara listrik dari geothermal, lebih besar untuk memasok kepentingan industri.

NTT memiliki penerimaan radiasi matahari signifikan. Pemanfaatan energi matahari bisa jadi alternatif, di samping angin dan laut yang juga memiliki potensi sangat besar. “Pembangkit tenaga surya dan angin sudah terbukti bahkan lebih murah hingga 15% dibandingkan energi fosil. Apalagi dibandingkan dengan energi geothermal yang padat modal,” ucap Beyrra. (Enrico N. Abdielli)

 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru