JAKARTA – Masyarakat Pulau Sumatera masih menghadapi situasi mencekam akibat banjir bandang dan longsor sejak 24 November 2025.
Pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU. membagikan pengetahuannya terkait faktor-faktor yang menyebabkan bencana alam ini.
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut mengatakan banjir bandang bukan peristiwa yang hanya disebabkan satu hal.
Kata Hatma, saat kejadian curah hujan memang sangat tinggi.
BMKG mencatat beberapa wilayah di Sumatera Utara diguyur lebih dari 300 milimeter hujan per hari pada puncak kejadian. Curah hujan ekstrem dipicu oleh dinamika atmosfer luar biasa. Termasuk adanya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka pada akhir November 2025.
“Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu,” Hatma, Senin (1/12/2025), dikutip Bergelora.com di Jakarta dari situs UGM.
Kerusakan Hutan di Hulu
Menurut Hatma, kerusakan ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), menghilangkan daya dukung dan daya tampung ekosistem hulu untuk meredam curah hujan tinggi. Tutupan hutan yang hilang menyebabkan hilangnya pula fungsi hutan sebagai pengendali daur air kawasan melalui proses hidrologis intersepsi, infiltrasi, evapotranspirasi, hingga mengendalikan erosi dan limpasan permukaan.
Akhirnya memicu erosi besar-besaran dan longsor yang merupakan cikal bakal munculnya banjir bandang. Padahal hutan di wilayah hulu DAS punya andil sebagai penyangga hidrologis. Hatma berujar, hutan menjaga keseimbangan siklus air, mencegah banjir di musim hujan sekaligus menyediakan aliran dasar saat musim kering.
Sebaliknya, ketika hutan hulu rusak atau gundul, siklus hidrologi alami ikut terganggu dan semua fungsi hutan berpotensi hilang.
“Peran hutan untuk intersepsi, infiltrasi dan evapotranspirasi akan hilang. Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar. Akibatnya, mayoritasi hujan menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir deras ke hilir,” ucapnya.
Hutan yang rimbun ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya agar tidak langsung terbuang ke sungai.
Berbagai penelitian di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan hasil bahwa kemampuan hutan untuk menahan dan menampung air hujan di tajuk (intersepsi) mencapai 15-35 persen dari hujan.
Bila permukaan tanah tidak terganggu, air mampu masuk ke dalam tanah (infiltrasi) hingga 55 persen dari hujan, sehingga limpasan permukaan (surface runoff) yang mengalir ke badan sungai hanya tersisa 10-20 persen saja.
Lalu, kemampuan hutan untuk mengembalikan air ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi bisa mencapai 25-40 persen dari total hujan. Potensi Longsor
Sementara itu, hutan yang masih utuh memiliki batasan kemampuan untuk menampung hujan yang jatuh. Ketika hujan ekstrem, terjadi peningkatan potensi longsor.
Material longsor berupa tanah, batu dan batang pohon akan menimbun badan sungai dan menciptakan bendungan alami. Volume air yang besar dalam waktu singkat membuat sungai tak mampu menampung, dan bendungan alami pun jebol. Inilah awal mula terjadinya banjir bandang. Tanah yang tidak lagi bisa dipertahankan akar juga mudah mengalami erosi.
Material lumpur dan pasir terbawa ke sungai, mengendap dan mengakibatkan alur sungai kian dangkal.
“Pendangkalan dan penyempitan sungai akibat sedimen ini akhirnya memperbesar risiko luapan banjir. Dengan kata lain, hutan hulu yang hilang berarti hilangnya sabuk pengaman alami bagi kawasan di bawahnya,” ungkap dosen Fakultas Kehutanan UGM itu.
Deforestasi Masif
Hatma menyayangkan terjadinya penebangan hutan atau deforestasi yang masif di banyak kawasan hulu Sumatera.
“Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi ‘dosa ekologis’ di hulu DAS. Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS,” tandasnya.
Data kompilasi BPS Aceh dan lembaga lingkungan menunjukkan provinsi ini kehilangan lebih dari 700.000 hektar hutan selama tahun 1990–2020. Tutupan hutan Sumatera Utara tinggal sekitar 29 persen luas daratan (kurang lebih 2,1 juta hektar) pada tahun 2020.
Hutan yang tersisa tersebar di pegunungan Bukit Barisan bagian barat (termasuk sebagian Taman Nasional Gunung Leuser) dan enclave konservasi seperti di wilayah Tapanuli.
Salah satu benteng terakhir hutan Sumatera Utara adalah ekosistem Batang Toru di Tapanuli. Ekosistem Batang Toru terus terkikis akibat maraknya konsesi dan aktivitas penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas.
Adapun Sumatera Barat memiliki proporsi hutan sekitar 54 persen dari luas wilayah (sekitar 2,3 juta hektar) pada tahun 2020. Secara persentase masih lebih baik daripada Sumut, namun laju deforestasi Sumbar termasuk yang tertinggi.
Sumbar kehilangan sekitar 320 ribu hektar hutan primer dan total 740 ribu hektar tutupan pohon (hutan primer + sekunder), menurut catatan Walhi Sumbar.
Pada 2024 deforestasi di Sumbar mencapai 32 ribu hektar. Menurut Hatma, banjir bandang kali ini mungkin tercatat sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah selama beberapa dekade terakhir. Kejadian ini menunjukkan fenomena bencana hidrometeorologi cenderung makin parah seiring akumulasi deforestasi dan perubahan iklim. (Enrico N. Abdielli)

