JAKARTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa para korban perkosaan oleh Priguna Anugerah berhak menggugurkan kehamilan. Priguna adalah dokter anestesi dari Program Spesialis Universitas Padjajaran yang bertugas di RS Hasan Sadikin Bandung yang memerkosa keluarga pasien.
Hal ini merujuk pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
“Berhak menggugurkan kandungannya sebelum 14 minggu. Berdasarkan Pasal 75 ayat 2 UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer, dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).
Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dalam kondisi tertentu, termasuk kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.
Chatarina juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur lebih lanjut mengenai aborsi akibat perkosaan.
“Aborsi karena perkosaan hanya boleh dilakukan paling lama 40 hari sejak hari pertama haid terakhir,” jelasnya.
Selain itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menetapkan kebijakan “Zona Tanpa Toleransi” terhadap kekerasan di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia.
Komnas Perempuan juga mendorong RSHS untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual dalam bentuk apapun agar kejadian serupa tidak terulang. Peristiwa perkosaan ini diharapkan menjadi momentum untuk evaluasi menyeluruh terhadap jaminan ruang aman di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa rumah sakit harus menjadi tempat yang bebas dari kekerasan, baik bagi tenaga kesehatan maupun pasien dan keluarganya.
Klarifikasi dan Pelurusan
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, pada Minggu (13/4/2025), Komnas Perempuan menyampaikan klarifikasi dan pelurusan informasi mengenai kerangka hukum yang berlaku terkait hak perempuan korban perkosaan atau kekerasan seksual untuk mengakses layanan aborsi. Informasi sebelumnya merujuk pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan paling lama 40 hari sejak hari pertama haid terakhir.
Namun, ketentuan ini kerap tidak realistis secara praktik, karena banyak korban baru menyadari kehamilannya dan dapat berbicara kepada pendamping setelah usia kehamilan melewati 10 minggu.
Saat ini kerangka hukum nasional telah berkembang dan memperkuat perlindungan hak korban, termasuk melalui:
• Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menegaskan bahwa aborsi dilarang, kecuali dalam keadaan tertentu. Ketentuan teknisnya diatur lebih lanjut dalam PP No. 28 Tahun 2024.
• Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang mengakui hak korban atas pemulihan kesehatan, termasuk akses terhadap layanan kesehatan reproduksi dan penguatan psikologis (Pasal 70).
• Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang akan mulai berlaku pada tahun 2026, juga memuat ketentuan bahwa perempuan korban perkosaan atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan tidak dipidana jika melakukan aborsi dalam usia kehamilan tidak melebihi 14 minggu, atau jika terdapat indikasi kedaruratan medis (Pasal 463 Ayat 2).
Dengan demikian, pemahaman tentang batas waktu aborsi bagi korban perkosaan kini merujuk pada ketentuan yang lebih progresif dan realistis, yakni maksimal 14 minggu usia kehamilan, sebagaimana tercantum dalam KUHP terbaru, dan bukan lagi hanya pada batas waktu 40 hari seperti yang tercantum dalam UU Kesehatan tahun 2009.
Klarifikasi ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman bersama dan mendukung pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual secara komprehensif.
Sebagai informasi, Priguna Anugerah memperkosa keluarga pasien pada pertengahan Maret 2025 di salah satu ruangan lantai 7 gedung RSHS. Pada saat itu, pelaku yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Unpad meminta korban untuk menjalani crossmatch.
Alasan yang digunakan pelaku adalah mencocokkan jenis golongan darah yang akan ditransfusikan kepada orang lain.
Ketika didatangi oleh pelaku, korban sedang menjaga ayahnya yang menjalani perawatan dan membutuhkan transfusi darah. Pelaku memerkosa korban dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Berdasarkan pengakuan korban, ia merasakan nyeri di bagian tangan yang telah diinfus dan area kemaluan setelah siuman. Korban akhirnya menjalani visum dan hasilnya terdapat cairan sperma di area kemaluan. Pihak keluarga tidak tinggal diam mengetahui hal tersebut dan melaporkan peristiwa yang dialami korban ke Polda Jabar.
Setelah Polda Jabar menerima laporan dari keluarga korban, polisi menangkap dan menahan pelaku pada Minggu (23/3/2025).
Setelah kasus ini terungkap, diketahui ada dua korban lainnya yang turut melapor peristiwa yang sama. (Web Warouw)