JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi dan Asisten Pribadi (Aspri) Menpora, Miftahul Ulum sebagai tersangka. Ulum sebelumnya telah ditahan oleh komisi antirasuah ini.
“KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan sebagai tersangka, yaitu IMR (Imam Nahrawi) dan MIU (Miftahul Ulum)” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat menggelar konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/9)
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakam Imam Nahrawi diduga menerima suap dengan total Rp 26,5 miliar. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak Iain yang terkait.
KPK menduga kedua telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap dana hibah Kemenpora kepada KONI tahun 2018. Tersangka dikenakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Menanggapi hal tersebut, Imam Nahrawi menyatakan akan mengikuti segala proses hukum yang ada setelah dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Saya mendengar apa yang sudah disampaikan oleh Pimpinan KPK dan tentu saya sebagai warga negara Indonesia akan patuh dan mengikuti semua proses hukum yang ada,” kata Imam di rumah dinasnya di Kompleks Kementerian Widya Candra, Jakarta, Rabu malam.
Dengan ditetapkan sebagai tersangka, Imam mengatakan pihaknya belum mengetahui secara detail kasus yang dituduhkan kepadanya. Namun, ia berharap itu bukan sesuatu yang bersifat politis semata.
“Tentu saya sebagai warga negara punya hak juga untuk memberikan jawaban yang sebenar-benarnya agar proses hukum ini bisa berjalan dengan baik, dengan lancar dan tentu pada saatnya itu harus kita buktikan bersama-sama. Karena saya tidak seperti yang dituduhkan,” katanya menambahkan.
Imam yang saat itu memakai peci putih itu juga menyatakan bahwa ia akan memberikan jawaban yang sebenar-benarnya agar kasusnya dapat terungkap. Namun ia juga menegaskan kepada seluruh pihak untuk tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
“Jangan sampai kemudian ini membuat justifikasi seolah saya bersalah. Tidak. Akan kami buktikan bersama-sama nanti di proses pengadilan,” katanya
Masyarakat Semakin Anti Korupsi
Sebelumnya kepada Bergelora.com dilaporkan, berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 9.952 rumah tangga di 33 provinsi di tanah air diperoleh angka Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) pada 2019 sebesar 3,70 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian tahun 2018 sebesar 3,66.
“Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya nilai IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konperensi pers di kantor BPS Pusat, Jakarta, Senin (16/9) lalu.
Menurut Kepala BPS itu, IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu Dimensi Persepsi dan Dimensi Pengalaman. Dimensi Persepsi berupa penilaian/pendapat terhadap kebiasaan perilaku anti korupsi di masyarakat. Sementara itu, Dimensi Pengalaman berupa pengalaman anti korupsi yang terjadi di masyarakat.
Hasil survei menunjukkan, indeks Persepsi dari tahun 2012 sampai dengan 2018 menunjukkan adanya peningkatan, tetapi pada tahun 2019 mengalami penurunan.
“Hal ini menunjukkan menurunnya pemahaman dan penilaian masyarakat terhadap perilaku anti korupsi,” ujar Suhariyanto.
Sebaliknya, pada indeks pengalaman, terjadi fluktuasi dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2018, hingga mencapai momen tertinggi pada tahun 2019, yaitu sebesar 3,65. Sejalan dengan indeks pengalaman, nilai IPAK juga menunjukkan adanya fluktuasi. Pada tahun 2019, nilai IPAK sebesar 3,70, lebih tinggi dibanding IPAK 2018 (3,66).
Semakin Permisif Dari survei BPS itu, menurut Kepala BPS, tampak bahwa masyarakat semakin permisif terhadap korupsi. Hal ini terlihat dari indikator berikut: a. Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap istri yang menerima uang tambahan dari suami di luar penghasilan tanpa mempertanyakan asal usul uang tersebut meningkat dari 22,52% (tahun 2018) menjadi 25,56% (tahun 2019); b. Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap seorang pegawai negeri menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan keluarga meningkat dari 20,74% (tahun 2018) menjadi 22,52% (tahun 2019); c. Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap orang tua mengajak anaknya dalam kampanye PILKADA/PEMILU demi mendapatkan uang lebih banyak menurun dari 12,61% (tahun 2018) menjadi 12,88% (tahun 2019); d. Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap seseorang mengetahui saudaranya mengambil uang tanpa izin tetapi tidak melaporkan kepada orang tuanya meningkat dari 2,41% (tahun 2018) menjadi 2,76% (tahun 2019); dan e. Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap seseorang menggunakan barang milik anggota rumah tangga lain tanpa izin meningkat dari 4,47% (tahun 2018) menjadi 5,15% (tahun 2019).
Dalam lingkup komunitas, menurut Suhariyanto, juga terlihat penurunan kesadaran anti korupsi masyarakat sebagaimana tercermin pada indikasi berikut: a. Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap memberi uang/barang kepada Ketua RT/RW/Kades/Lurah ketika suatu keluarga melaksanakan hajatan menurun dari 41,36% (tahun 2018) menjadi 40,93% (tahun 2019); b. Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap memberi uang/barang kepada tokoh masyarakat lainnya ketika suatu keluarga melaksanakan hajatan meningkat dari 46,48% (tahun 2018) menjadi 47,81% (tahun 2019); c. Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap memberi uang/barang kepada ketua RT/ RW/Kades/Lurah ketika menjelang hari raya keagamaan meningkat dari 29,32% (tahun 2018) menjadi 30,23% (tahun 2019); dan d. Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap memberi uang/barang kepada tokoh masyarakat lainnya ketika menjelang hari raya keagamaan meningkat dari 39,93% (tahun 2018) menjadi 40,92% (tahun 2019).
Dari Surve Perilaku Anti Korupsi (SPAK)yang mencakup pelayanan masyarakat ketika berhubungan dengan 10 layanan publik dan pengalaman lainnyaini juga menunjukkan, bahwa: a. Persentase masyarakat yang mengakses layanan publik sendiri secara umum mengalami peningkatan di hampir semua layanan; b. Persentase masyarakat yang memberikan uang/barang melebihi ketentuan dan menganggap hal tersebut lumrah mengalami penurunan dari 19,61% pada tahun 2018 menjadi 15,8% pada tahun 2019; dan c. Dari Masyarakat yang mengaku diminta untuk membayar melebihi ketentuan pada tahun 2019, 35,41% merasa keberatan (naik 8,58% dari tahun 2018).
Kepada Bergelora.com dilaporkan, berdasarkan indikator yang diiperoleh dalam survei ini, BPS menyimpulkan bahwa IPAK masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan IPAK masyarakat perdesaan. Semakin tinggi pendidikan, masyarakat semakin anti korupsi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan di atas SLTA memiliki IPAK di atas 4, sedangkan nilai IPAK untuk tingkat pendidikan yang lain belum mencapai angka 4. Penduduk pada rentang usia 40 sampai 59 tahun paling anti korupsi dibandingkan kelompok umur lainnya. (Web Warouw/Enrico N. Abdielli)