Senin, 21 Juli 2025

Simbol-Simbol dan Manipulasi Agama

Dr. Salahuddin Harahap, MA, Ketua Gerakan Da’i Kerukunan & Kebangsaan (GDKK) berasama Hj. Bunda Indah (Ketua Umum DPP Rumah Komunikasi Lintas Agama (RKLA). (Ist)

Simbol-simbol agama saat ini menjadi sangat rentan untuk disusupi atau dimanipulasi oleh golongan tertentu dan digunakan sebagai tameng untuk membangun eksklusifitas bahkan permusuhan dengan sesama. Belakangan disebut sebagai manipulasi agama. Dr. Salahuddin Harahap, MA, Ketua Gerakan Da’i Kerukunan & Kebangsaan (GDKK) dan Sekretaris Prodi Pasca Sarjana UIN Sumatera Utara menuliskannya kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Dr. Salahuddin Harahap, MA 

ISTILAH kelompok radikal atau paham radikal pasca pilpres 2019 menjadi kajian yang menarik. Terlebih pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo menempatkan istilah ini penuh kehati-hatian secara khusus, agar tidak melebar menjadi istilah yang mengancam integrasi dan benturan yang mengarah kepada konflik agama.

Penggantian istilah kelompok radikalis berbasis agama menjadi manipulator agama oleh presiden patut diacungkan jempol. Narasi dan diksi radikalis diperhalus guna mengurangi kesan negatif yang muncul pada kelompok terpapar radikal. Mengapa demikian? Sangat nyata, bahwa orang Indonesia sebenarnya menolak sebutan radikal tersebut. Simbol radikal justru terpapar sekaligus terkesan menyudutkan kelompok agama mayoritas di Indoensia. Segala hal yang muncul dari narasi radikal itu, tertuju kepada pemeluk agama terbesar Indonesia.

Doktrin agama sebenarnya tidak mungkin terpisahkan dari simbol-simbol, baik berupa fisik maupun istilah atau idiom. Fakta ini tidak dapat terbantahkan, karena agama yang sejatinya berupa wahyu Allah SWT yang sangat sakral (sacred) dan transendental mesti lah membutuhkan wadah yang profan ketika harus mengejawantahkannya di alam semesta. Sakral dan transedental harus diikat dengan makna rahmatal lil’alamin.

Bagaimana sesuatu itu kemudian menjadi wadah bagi yang sakral tentu harus menjadi kajian tersendiri yang harus dipahami oleh pemerhati dan pakar agama. Dalam tradisi Islam, Ka’bah dan Hajar Aswad kemudian diyakini sebagai simbol yang telah dijubahi dengan dimensi transendental, sehingga menjadi sakral di tengah-tengah profan. Masjid dan Mihrab kemudian menjelma menjadi sesuatu yang sakral atau setidaknya menjadi media menuju sakralitas, meskipun ia terbuat dari materi yang profan. Bahkan jika dibangun oleh yang sama sekali tidak memahami atau tidak peduli dengan hal-hal yang sakral.

Tentu saja, terdapat landasan teologis yang menjadi dasar pergeseran martabat-martabat ini, baik yang bersumber dari kitab suci, hadis Rasulullah, maupun karena diproduksi oleh sejarah peradaban atau keagamaan kita. Terhadap simbol-simbol yang telah secara umum disepakati dan diimani seperti posisi Ka’bah sebagai kiblat, Masjid sebagai wadah ritual, shalat dan puasa sebagai ritual dan seterusnya tentu tidak lagi patut untuk diperdebatkan. Bahkan mesti didudukkan sebagai sesuatu yang sakral secara abadi di tengah-tengah yang profan yang niscaya dinamis ini.

Berbeda halnya dengan simbol-simbol sakralitas yang diproduksi sejarah peradaban umat Islam yang tentunya masih terbuka dalam ranah perdebatan. Misalnya, penggunaan cadar, celana cingkrang, jenggot, bendera tauhid, khilafah Islamiyah, penyebutan kafir dan zindiq. Dapat dilihat sebagai sesuatu adalah diantara hal-hal yang menempati level sakralitas berbasis sejarah, dan karenanya berpeluang untuk ditafsirkan kembali atau dikaji ulang. Memaknai sebutan sakralitas yang diuraikan di atas, tentu sebagai umat Islam tidak semudah itu terjebak kepada narasi dan diksi yang diproduksi sejarah.

Semangat untuk menafsirkan kembali dan melakukan kajian ulang mesti didasarkan kepada kesadaran kritis bahwa simbol-simbol tersebut telah diproduksi dan disakralkan oleh sejarah dan karenanya tetap harus masuk dalam lingkup sejarah dimana salah satu karakternya adalah dinamis dan elastis. Jika alur pikir ini dapat diterima, maka simbol-simbol ini boleh bahkan wajib mengalami perobahan dan pembaruan karena ia memiliki karakter dinamis tersebut.

Dalam konteksnya yang demikian, maka istilah sakralitas dapat diganti dengan istilah substansial, sehingga dapat dikatakan bahwa dibalik simbol-simbol yang diproduksi sejarah tersebut terdapat sesuatu yang bersifat substansial yang mesti tetap terpeihara. Dengan pemahaman yang demikian, maka terhadap simbol-simbol ini dapat diterapkan perubahan dan pembaruan selama tidak merusak, mengurangi apalagi menghilangkan substansinya.

Terhadap hal ini menarik sekali, ketika Murthada Muthahari menjelaskan bagaimana cara memelihara yang substantif ditengah-tengah dinamika yang akan menimpa simbol-simbol atau idiom-idiom tersebut. Menurut Muthahari,  proses pemeliharaannya harus mengikuti bagaimana sistem pencernaan dalam tubuh kita memisahkan dan menjaga sari makanan (nutrisi) dari demikian banyaknya varian makanan yang masuk dari mulut ke pencernaan.

Jika metode ini dapat diterapkan, mestinya tidak perlu ada kekhawatiran atas dinamika dan perubahan penggunaan simbol-simbol keagamaan yang dihasilkan oleh sejarah. Karenanya, hal ini hanya akan menjadi persoalan, ketika ada pendirian bahwa simbol-simbol agama yamg diproduksi sejarah, memiliki nilai sakralitas yang abadi baik bentuk, jenis maupun subtansinya sehingga menjadi mapan dan anti perobahan.

Lebih celaka lagi, jika simbol-simbol ini dinaikkan martabatnya menjadi sesuatu yang sakral secara abadi setara dengan simbol-simbol profan atas wahyu yang transendental sebagaimana yang dijelaskan di awal tadi. Sebab, dalam posisinya yang demikian, maka simbol-simbol ini akan menjadi sangat rentan untuk disusupi atau dimanipulasi oleh golongan tertentu dan digunakan sebagai tameng untuk membangun eksklusifitas bahkan permusuhan dengan sesama yang seterusnya disebut dengan terorisme atau radikalisme— yang belakangan kita sebut sebagai manipulator agama.

Pemikiran ini, tentu tidak bermaksud menafikan simbol-simbol keagamaan tersebut sebagai bagian dari produksi budaya yang harus dihargai dan dihormati. Tentunya, tidak juga menolak atau menyalahkan jika terdapat sebagian kita yang memeliharanya sebagai sebatas tradisi. Tetapi yang ditolak adalah, ketika ada yang menjadikannya sebagai simbol perlawanan terhadap orang lain yang tidak memilih atau mengikuti tradisi tersebut dengan alasan sakralitas agama.

Diksi-diksi yang sengaja dilemparkan Menteri Agama RI H Fachrul Razi sangat terkesan vulgar,– frontal sehingga melahirkan banyak kontraversi di kalangan umat, mesti dilihat dan dipahamii secara arif dan bijaksana. Pernyataan Menteri Agama yang menyarankan untuk tidak bercadar, tidak cingkrang dan seterusnya, tentu bukan perlawanan terhadap budaya atau tradisi tersebut yang sejatinya pernah berlaku di era maupun di wilayah berbeda. Bahkan, pernyataan-pernyataan tersebut menjadi sangat penting dan harus hadir untuk menjadi warning dan perhatian bagi siapa saja yang mencoba menyebarkan radikalisme agama dengan memanipulasi simbol-simbol tersebut.

Mendudukkan larangan bercadar, celana cingkrang dan takfiri sebagai berhadap-hadapan dengan ajaran dan tradisi Islam Indonesia, apalagi sebagai bagian dari islamofobia tentulah tidak beralasan kalau bukannya terkesan mengada-ada. Terlebih, ketika mengingat situasi bangsa Indonesia saat ini yang dalam suasana darurat radikalisme atau darurat manipulator agama.  Apalagi, jika diperhatikan bahwa pada oknum pelaku teror yang terjadi pada berbagai belahan dunia yang mengatasnamakan Islam, simbol-simbol serupa ini kerap kali ditemukan. Doktrin Islam sangat menantang pelaku radikal yang menjurus kepada tindakan brutal. Tetapi sebaliknya, Islam menyarankan umatnya berpikir luas untuk mengayomi lintas umat.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru