Selain nonton film Arifin C Noer jaman lawas, nonton juga film bulan September jaman baru. Produsernya Mbah Dukuh alias KH Imam Aziz. Bergelora.com memuat sinopsinya (Redaksi)
Judul Film : Sinengker
Sutradara : M. Aprisiyanto
Penulis Naskah : Puthut E.A
Pemain : Meida Rosanti, Ign. Wahono, Ponija Wahono, Tafsir Huda, Hargi Sundari
“Sampai saat ini, kejadian itu seperti barang-barang yang disimpan di lemari tua. Jadi rahasia yang tersembunyi. Tangan-tangan penguasa senang menguncinya rapat-rapat lalu membuang kuncinya ke dalam samudera.” Jika dialihbahasakan, kira-kira begitulah kiasan yang diungkapkan –dalam bahasa Jawa- oleh Asih, pencerita dalam” Sinengker” (Bahasa Indonesianya berarti disembunyikan), tentang pembunuhan terhadap orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI).
Seorang perempuan sedang melipat pakaian menjadi adegan pembuka film ini. Perempuan itu adalah Asih. Sampai pada sebuah selendang, terkenanglah ia pada masa lalunya (alasannya bisa dimengerti setelah Anda menyaksikannya). Saat Asih masih cilik, Wigati, kakak tertuanya yang tinggal di kota, berkunjung ke rumah.
Dalam kunjungannya, dikatakan bahwa ia akan bekerja mengembangkan kesenian rakyat. Pekerjaan itu tampak berhasil dalam waktu yang cukup lama. Buktinya, hingga Asih tumbuh menjadi wanita muda, Wigati masih sibuk mengurusi pekerjaannya (meski tidak ditampilkan dalam film). Namun, situasi lalu berubah.
Dunia politik memanas, pidato Soekarno di radio adalah buktinya. Ibu Wigati cemas. Takut kalau anaknya terseret dalam situasi itu. Tapi, mengapa pula Wigati yang konon mengurusi kesenian itu bisa terseret kasus politik? Film ini tampaknya tidak ingin menjelaskan tentang hal itu. Toh, jawabannya ada di luar film. Kala itu, term kesenian rakyat memang lekat dengan ideologi tertentu. Komunisme. Semua tahu, setelah peristiwa 30 September ’65, Komunis dijadikan musuh bersama. Pantas dibunuh karena (katanya) adalah pembunuh.
Berdurasi 40 menit 51 detik, film ini bercerita tentang pembantaian itu, dengan keluarga Asih sebagai wakilnya. Maka, dihadirkanlah adegan-adegan yang menandakan datangnya tragedi. Tangan Asih –secara tak sengaja- berdarah terkena benda tajam (tanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi). Aliran sungai tiba-tiba berubah warna menjadi merah karena darah. Bapak mendengar burung gagak di atas rumah (tanda akan datangnya kematian) saat ia sedang berhadap-hadapan dengan potret Wigati. Sri, kakak kedua Asih, datang, sambil menangis, mengatakan suaminya diambil oleh tentara. Asih mendapati tulisan “Ganjang PKI” di tembok dekat rumahnya saat berlari keluar rumah.
Tentara datang ke rumah mereka, menciduk Sri –karena suaminya terlibat PKI, ia diduga anggota Gerwani-, juga memukul bapak karena coba menghalangi. Singkat cerita, Sri meninggal karena (besar kemungkinan) diperkosa, bapak meninggal karena jatuh sakit akibat pukulan, ibu pun ikut meninggal karena terlampau sedih.
Wigati? Pasti sudah dibunuh sebelum anggota keluarganya meninggal. Kenangan pun selesai diceritakan. Kita kembali mendapati Asih melipat pakaian. Lalu menaruhnya di dalam almari, sambil membatin, “Sampai saat ini, kejadian itu seperti barang-barang yang disimpan di lemari tua. Jadi rahasia yang tersembunyi. Tangan-tangan penguasa senang menguncinya rapat-rapat lalu membuang kuncinya ke dalam samudera.” Hanya Asihlah yang bertahan hidup. Sendiri dan sedih.
Itulah Sinengker. Dari adegan, dialog, dan narasinya, tampak bahwa “Sinengker” berusaha menjadi drama puitik. Ia coba bercerita tentang tragedi dengan Indah. Buktinya, ada banyak tuturan yang menggunakan kiasan. Ditambah dengan simbol-simbol, khususnya untuk menggantikan peristiwa yang potensial dramatis tapi klise, macam, pembunuhan dan pemakaman. Untuk pembunuhan, film ini merasa cukup dengan memvisualisasikannya dalam bentuk aliran sungai yang menjadi merah.
Sebagai pengganti proses pemakaman, ada adegan Asih menanam bunga kamboja sambil menangis. Tembang-tembang Jawa turut hadir, berusaha mendukung pembangunan suasana. Adakah “Sinengker” berhasil dalam usahanya? Silahkan Anda saksikan dan nilai sendiri. Satu hal yang mengganggu saya adalah masalah bahasa.
Dialog dan narasi film ini menggunakan Bahasa Jawa, malah tak sedikit yang menggunakan Jawa Krama. Saya pikir itu adalah usaha untuk menyesuaikan dengan latar tempat film ini, di Jawa. Wajar.
Sayangnya, film ini hanya menyediakan subtitle dalam Bahasa Inggris. Padahal, film ini bersinggungan dengan sejarah Indonesia. Bukankah tidak semua orang Indonesia paham Bahasa Jawa dan Bahasa Inggris? Jelas, pesan dari film ini akan sulit ditangkap oleh mereka, pesan tentang sejarah kelam Indonesia.
Meski ini adalah film fiksi, buat saya, tak ada salahnya bagi Anda yang tertarik pada wacana sejarah alternatif untuk menyaksikannya. Soalnya, isinya tidak jauh berbeda dengan kisah pribadi yang dibagikan oleh eks-tapol PKI, misalnya dalam film dokumenter “Tjidurian 13”. Kisah yang dialami keluarga Asih boleh jadi benar pernah dialami oleh satu dari sekian banyak korban dari tragedi pembunuhan massal itu. Sedang bagi yang sudah akrab dengan wacana itu, saya pikir tak ada salahnya mengapresiasi. Lagipula, “Sinengker” punya penyajian yang berbeda atas tema yang mungkin sudah terlalu sering Anda dengar. (*)