JAKARTA – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkapkan bahwa 110 anak berusia 10 hingga 18 tahun dari 23 provinsi diduga telah terekrut oleh jaringan terorisme.
“Hingga saat ini, Densus 88 AT Polri mencatat ada sekitar 110 anak-anak yang memiliki usia antara 10 hingga 18 tahun, tersebar di 23 provinsi yang diduga terekrut oleh jaringan terorisme,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Trunoyudo menjelaskan bahwa anak-anak tersebut diduga terekrut melalui media sosial (medsos). Atas temua tersebut, Polri telah menangkap dua tersangka dewasa yang berperan sebagai perekrut dan pengendali komunikasi kelompok.
Mereka masing-masing ditangkap di Sumatera Barat dan Jawa Tengah. Kelompok ini diduga mengelola grup media sosial tertutup yang menjadi ruang rekrutmen dan komunikasi internal.
Densus 88 menemukan modus perekrutan anak dilakukan secara bertahap melalui platform digital yang lazim digunakan remaja.
Pada tahap awal, propaganda disebarkan melalui Facebook, Instagram, dan game online.
“Kemudian setelahnya, mereka yang dianggap target potensial akan dihubungi secara pribadi atau japri melalui platform yang lebih tertutup seperti WhatsApp atau Telegram,” ungkap Trunoyudo.
Materi propaganda dikemas menarik melalui video pendek, animasi, meme, hingga musik yang dirancang untuk membangun kedekatan emosional dan memicu ketertarikan ideologis.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Trunoyudo menyebutkan bahwa anak-anak sangat rentan terpengaruh karena berbagai faktor, seperti bullying, kondisi keluarga broken home, kurang perhatian orang tua, pencarian jati diri, marginalisasi sosial, hingga minimnya literasi digital dan pemahaman agama.
Upaya pencegahan Melihat perkembangan ancaman ini, Polri merekomendasikan empat langkah utama untuk pencegahan. Pertama, kajian regulasi untuk membatasi dan mengawasi penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur.
Kedua, pembentukan tim terpadu lintas kementerian/lembaga untuk deteksi dini, edukasi, intervensi, penegakan hukum, pendampingan psikologis, hingga pengawasan pasca-intervensi.
Ketiga, penyusunan SOP teknis nasional bagi seluruh pemangku kepentingan agar penanganan dilakukan cepat dan seragam.
Keempat, pelibatan aktif orang tua, guru, sekolah, dan masyarakat dalam memutus mata rantai rekrutmen online.
“Polri menegaskan komitmen untuk melindungi anak-anak Indonesia, beserta seluruh kementerian dan lembaga, serta BNPT, KPAI, dan LPSK, serta seluruh kementerian stakeholder terkait, dari ancaman radikalisasi, eksploitasi ideologi, maupun kekerasan digital untuk melindungi anak-anak Indonesia,” kata Trunoyudo. (Web Warouw)

