Senin, 20 Oktober 2025

SUSAH DIBERANTAS…!Mahfud Tengarai Banyak yang Dipenjara Akibat Jual Beli APBN dan Perda

JAKARTA- Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Mahfud MD, menengarai banyak yang masuk penjara karena jual beli APBN dan Perda. Hal itu disinggung saat memberi sambutan pada pelantikan Dr. Makmun Murad sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Selasa (25/5).

Mahfud MD awalnya menyoroti sengkarut permasalahan korupsi di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, menurut pandangannya korupsi era reformasi ini lebih meluas dari pada era Orde Baru. Dikatakan, pada zaman Orde Baru terjadi korupsi besar-besaran, tapi terkonsentrasi dan diatur melalui jaringan korporatisme oleh pemerintahan saat itu.

“Korupsinya dulu dimonopoli di pucuk eksekutif dan dilakukan setelah APBN ditetapkan,” kata dia, dalam siaran persnya, di Jakarta, Rabu.

Kepada Bergeloracom dilaporkan, hal itu tak bisa dibantah, buktinya Orde Baru direformasi dan pemerintahan Soeharto secara resmi disebut pemerintahan KKN.

“Penyebutan itu ada di Tap MPR, UU, kampanye politisi, pengamat, disertasi, tesis, dan lainnya,” ujar Mahfud.

Namun, lanjutnya setelah reformasi, korupsi makin meluas. Sekarang ini, atas nama demokrasi yang diselewengkan, korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif tetapi sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif dan secara vertikal dari Pusat sampai ke daerah-daerah.

“Lihat saja para koruptor yang menghuni penjara sekarang, datang dari semua lini horizontal maupun vertikal,” kata guru besar hukum Universitas Islam Indonesia itu.

Menurut dia, dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan pemerintah. Tapi sekarang ini sebelum APBN dan APBD jadi, sudah ada berbagai negosiasi proyek untuk APBN dan APBD. Sehingga ia menengarai, banyak yang masuk penjara karena jual beli APBN dan Perda.

“Saya bisa menunjuk bukti dari koruptor yang dipenjara saja,” tutur Mahfud.

Lanjut Mahfud, semua itu dilakukan atas nama demokrasi. Pemerintah tidak mudah untuk menindak karena di dalam demokrasi. Pemerintah juga tidak bisa lagi mengonsentrasikan tindakan dan kebijakan di luar wewenangnya. Itulah sebabnya, Mahfud mengaku paham dengan istilah “demokrasi kriminal” yang pernah dilontarkan Rizal Ramli.

“Situasi ini perlu kesadaran moral secara kolektif, sebab tak satu institusi pun yang bisa menembus barikade demokrasi yang wewenangnya sudah dijatah oleh konstitusi,” kata Mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.

Kunci penyelesaian, menurutnya, tak cukup hanya dengan aturan-aturan atau jabatan. Sebab aturan dan jabatan dibuat melalui sesuatu yang diasumsikan sebagai keharusan demokrasi.

“Jika para aktor demokrasinya bermoral bobrok, maka produk hukum dan pelaksanaannya pun akan bobrok. Hukum itu kan sangat ditentukan oleh moral para aktornya. Itulah tugas kita ke depan,” katanya.

Oleh karena itu, kata dia, demokrasi perlu ditata ulang dengan keluhuran moral para aktornya agar yang tumbuh adalah demokrasi substansial, bukan demokrasi kriminal.

“Ada dalil yang menyatakan bahwa dalam arti tertentu hukum adalah produk politik. Jika moralitas politik bagus maka hukum dan penegakannya akan bagus. Tapi jika moralitas politik jelek maka hukum dan penegakannya juga akan jelek,” pungkasnya. (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru