Selasa, 1 Juli 2025

TANGKAP SEMUANYA..! KPK Ungkap Pelaku Dugaan Klaim Fiktif Ke BPJS: Pemilik RS, Keluarga Pemilik, hingga Dokter

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, dugaan klaim fiktif (phantom billing) ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) melibatkan dokter hingga pemilik rumah sakit (RS) dan keluarganya. Pahala mengatakan, dari satu rumah sakit, setidaknya terdapat delapan orang yang melakukan dugaan tindak pidana tersebut.

“Banyak, dari pemilik, ada keluarganya, dokter, delapan sepertinya, intinya ini enggak mungkin sendiri,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan saat ditemui di kantornya, Rabu (24/7/2024).

Tim gabungan yang terdiri dari KPK, Kementerian Kesehatan, BPJS, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan tiga rumah sakit yang melakukan kecurangan hingga merugikan negara puluhan miliar rupiah.

Pahala mengatakan, dalam melakukan phantom billing, pelaku tidak mungkin beraksi sendiri. Sebab, ia harus memenuhi berbagai dokumen yang rumit.

Para pelaku mengumpulkan KTP, kartu keluarga (KK), dan nomor kartu BPJS. Mereka juga membuat hasil pemeriksaan palsu, rekam medis palsu, hingga tindakan medis palsu.

“Itu benar-benar bagus banget. Jadi dia dengan keluarganya, dokter juga, jadi dokter-dokter itu diagnosisnya sudah mendukung semua lah buat klaimnya,” tutur Pahala.

Selain itu, mereka juga membuat rekam medis, resume medis, catatan program pasien, dan pemeriksaan penunjang. Setelah lengkap, RS itu baru mengajukan klaim kepada pihak BPJS.

“Jadi klaim fiktif ini enggak mungkin satu orang, dan enggak mungkin dokter saja sendiri,” ujar Pahala.

Mantan auditor Bank Dunia itu kemudian mengungkapkan, uang yang cair dari BPJS itu kemudian mengalir ke pihak yang menguasai rumah sakit.

“Ke rumah sakit, ke rekening rumah sakit dong, kan klaim ke rumah sakit dan pemilik itu menguasai rumah sakit,” katanya

Meski demikian, Pahala dan Tim Bersama Penanganan Kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum memastikan apakah dokter RS yang curang itu juga menerima aliran uang panas.

“Kita mesti lihat perannya kayak apa, mungkin dia dibayar sebagai dokter biasa dipaksa cuma bikin dokumen, enggak tahu,” ujar Pahala.

Kerugian Negara

Sebelumnya, KPK, Kemenkes, BPKP, dan BPJS menerjunkan untuk memeriksa enam RS di 3 provinsi sebagai sampel, menindaklanjuti temuan dugaan fraud dari laporan BPJS.

Hasilnya, RS A di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) diduga melakukan phantom billing dengan nilai kerugian negara Rp 1 miliar sampai Rp 3 miliar. Kemudian, RS B di Provinsi Sumut dengan nilai klaim Rp 4 miliar sampai Rp 10 miliar. Lalu, RS C Provinsi di Jawa Tengah senilai Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar.

Pahala mengungkapkan, rumah sakit tersebut melaporkan dokumen klaim fiktif untuk mendapatkan dana dari BPJS.

Tindakan ini dilakukan dengan rapi mulai dari dokumen kependudukan pasien sampai rekam medis palsu.

“Di tiga rumah sakit ada tagihan klaim 4.341 kasus tapi sebenarnya ada 1.000 kasus di buku catatan medis,” kata Pahala.

“Jadi sekitar 3.000-an itu diklaim sebagai fisioterapi tapi sebenarnya enggak ada di catatan medis (fiktif),” tambah mantan auditor itu.

Adapun tim ini terdiri dari KPK, Kemenkes, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta BPJS sendiri.

Sejauh ini, KPK bersama Kemenkes yang tergabung dalam Tim Penanganan Tahun 2023 menemukan tiga rumah sakit yang melakukan klaim fiktif.

Modus-modus Kecurangan Klaim

BPJS Pahala mengungkapkan, selain phantom billing, KPK bersama tim juga menemukan sejumlah modus kecurangan rumah sakit dalam mengeklaim BPJS.

Modus paling banyak dilakukan kedua adalah phantom/manipulation diagnosis atau mengajukan klaim atas penindakan medis yang dimanipulasi.

Pahala mencontohkan, pihak rumah sakit memeriksa 39 pasien dan melaporkan kepada pihak BPJS bahwa keseluruhannya merupakan operasi katarak.

Ketika dilakukan verifikasi oleh tim, ternyata mereka hanya melakukan operasi katarak terhadap 14 pasien. Sisanya, merupakan pasien yang data medisnya dimanipulasi.

“Kita cek, kita bilang ‘ini dioperasinya satu mata diklaimnya dua mata’. Kira-kira begitu waktu itu,” turur Pahala.

Modus lainnya adalah mengubah kode diagnosis sehingga uang yang diklaim lebih besar, mengulang klaim yag telah diajukan (repeat billing) dan lainnya.

Izin Praktek Bisa Dicabut!

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dalam forum yang sama, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengingatkan, izin praktek dokter dan rumah sakit bisa dicabut jika ketahuan mengajukan klaim fiktif (phantom billing) kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Hal ini disampaikan Kemenkes menanggapi temuan adanya sejumlah rumah sakit yang melakukan phantom billing.

“Yang cukup berat pencabutan izin praktek dari pelaku tersebut,” kata Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenkes, Murti Utami.

Ami mengatakan, Kemenkes memiliki sistem informasi yang mencatat identitas tenaga kesehatan, tempat mereka bekerja, Nomor Induk Kepegawaian (NIK), hingga surat izin praktek (SIP) mereka.

Kemenkes akan mencantumkan keterlibatan klaim fiktif ke BPJS dalam data dokter maupun tenaga kesehatan lain yang menjadi pelaku phantom billing.

Setelah itu, Kemenkes akan membekukan Satuan Kredit Profesi (SKP) Dokter. Adapun dokter setiap tahun harus mengumpulkan 50 angka kredit untuk menjaga kompetensi mereka.

Jika SKP dibekukan, mereka akan kesulitan mengumpulkan poin kredit tahunan tersebut.

“Kalau enam bulan kita bekukan, mungkin tidak terpenuhi kan,” tutur Ami.

Dalam forum yang sama, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, tim gabungan ini memberikan waktu 6 bulan bagi rumah sakit-rumah sakit yang mencurangi klaim BPJS.

Mereka harus mengembalikan uang hasil klaim fiktif maupun manipulasi diagnosa pasien kepada pihak BPJS. Jika setelah 6 bulan masih ditemukan RS yang melakukan kecurangan maka akan dijatuhi sanksi sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2019 Tentang pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) Serta Pengenaan Sanksi Administrasi
Terhadap Kecurangan dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan.

Di antara sanksi itu adalah pencabutan kerja sama dengan BPJS, pencabutan izin praktek dokter, hingga pencabutan izin rumah sakit sebagai tindakan paling akhir.

“Ya itu yang terakhir itu, makanya kalau rumah sakitnya dihentikan kerja samanya, wah itu, sebenarnya kayak yang satu itu rumah sakit di perkebunan, alternatifnya apa?” ujar Pahala.

Dalam Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 disebutkan, sanksi itu memang berlaku bagi Faskes, pemberi layanan kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan dan pemangku kepentingan lain yang melakukan kecurangan.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru