Rabu, 16 Juli 2025

Tanpa UUD’45 Asli, Bangsa Ini Susah Majunya

Oleh: dr. Zulkifli S. Ekomei

(Perenungan menjelang ulang tahun 1 Mei 2023)

JIKA demokrasi liberal ala Barat bermodel one man one vote dijalankan di negara yang kurang matang berdemokrasi karena faktor nilai asing dan demokrasi impor —liberalisme— bertentangan dengan local wisdom leluhur, maka tren politik yang berkembang di negara tersebut cenderung mempertahankan kemiskinan, bahkan kalau perlu memperlebar jarak sosial antara kaya – miskin. Ini hipotesis awal pada prolog ulasan ini.

Kenapa demikian, bahwa kemiskinan justru dianggap sebagai pasar potensial bagi para politisi untuk menjual ‘janji-janji’-nya ke publik. Mengapa?

Tak lain, agar supaya militansi, loyalitas, bahkan support warga terutama suara (vote) kaum akar rumput dapat ditukar dengan sembako (sembilan bahan pokok) dikala musim pemilu tiba. Ini bukanlah _ngenyek,_ atau meremehkan warga — tetapi realitasnya memang berlangsung seperti itu.

Dengan demikian, para politisi yang ingin menjaring suara rakyat tidak perlu repot merumuskan visi misi secara muluk-muluk serta tidak perlu bersusah payah menawarkan di depan konstituennya. Cukup dengan menggelar tenda atau pos-pos simpatik, tebar pesona, bagi-bagi uang, dan lainnya, maka melalui cara tersebut suara akar rumput bakal terjaring. Gayung bersambut. Sebagian warga pun merespon cara tadi dengan anekdot ‘NPWP’. Nomer piro, wani piro. Itulah tren dinamika atas fenomena sejak 2004, kali pertama SBY terpilih secara one man one vote.

Jadi, sistem yang sekarang digunakan cuma menghasilkan politisi yang hanya berpikir next election dan bagaimana tetap berkuasa. Ya, konstitusi semacam ini sulit melahirkan negarawan yang berorientasi kesejahteraan rakyat dan next generation.

Hal lainnya — kalau dipikir-pikir, sistem semacam ini selain mahal diongkos alias high cost politic; mampu menyuburkan realitas semu via industri pencitraan. Akhirnya, rakyat cuma memilih citra kandidat bukan program dan ideologinya; juga menciptakan korupsi dalam praktik kekuasaan karena faktor money politic.

Konsekuensi bagi para politisi, mereka harus menyiapkan uang banyak sebagai modal. Dan inilah awal mula ‘perselingkuhan’ antara politisi dengan para pemilik modal, si oligarki ekonomi.

Gilirannya, mereka —kaum politisi— yang telah ‘duduk’ di posisi tertentu, misalnya, perilaku koruptif menjadi keniscayaan karena terbidani oleh sistem dimaksud. Imbasnya, korupsi akan marak di berbagai lini dan aspek pengabdian karena diciptakan oleh sistem itu sendiri, kenapa? Konsekuensi logisnya ialah kembalikan modal (utang) plus terbitkan kebijakan sesuai kemauan oligarki, si pemilik modal.

Dan apabila ‘perselingkuhan’ antara pemodal dengan politisi terus berlangsung, maka akan banyak kebijakan publik berpihak pada kepentingan kaum pemodal daripada kepentingan rakyat. Inilah cerita singkat tentang korupsi yang diciptakan oleh sistem.

Bagi rakyat, hidup pada sistem sebagaimana (ilustrasi) di atas, rasanya lebih ‘mengenaskan’ daripada hidup di era penjajahan. Betapa tidak, pajak dipungut dari hulu hingga hilir, sementara subsidi —hak rakyat selaku pembayar pajak— justru dicabut. Belum lagi hal (kebijakan) lain yang dampaknya membebani rakyat dan dapat memicu kenaikan harga-harga kebutuhan publik.

Inilah dinamika politik yang tengah berlangsung di republik ini semenjak UUD 1945 diamandemen empat kali (1999, 2000, 2001 dan 2002) atau lebih tepatnya diganti dengan UUD baru yaitu UUD NRI 1945 atau biasa saya sebut UUD’45 Palsu, sehingga substansi serta orientasi konstitusi berubah menjadi liberal, individualis serta kapitalistik yang justru bertolak belakang dengan local wisdom: “Kegotongroyongan”.

Lantas, Sampai Kapan?

Selama negeri menggunakan UUD NRI 1945 —UUD Palsu— maka rakyat akan sulit keluar dari kungkungan kemiskinan. Percaya atau tidak, kemiskinan akan terus dipelihara sebab dipersepsikan sebagai ‘pasar’ para politisi guna mendulang vote alias suara rakyat.

Banyak pendapat, terutama para tokoh pelaku amandemen UUD itu sendiri menyatakan, “Kita harus balik ke titik nol –kembali ke UUD 1945 Naskah Asli– dahulu. SECEPATNYA DAN DALAM TEMPO SESINGKAT-SINGKATNYA”. Itu lebih baik daripada NKRI berjalan dengan cara menduga-duga dan mengada-ada, sebab kebuntuhan serta perpecahan semakin terlihat di depan mata.

* Penulis dr. Zulkifli S. Ekomei, aktivis yang berjuang kembalinya ke UUD’45 Asli

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru