Senin, 7 Oktober 2024

Tantangan Bagi Presiden Terpilih: Indonesia Emas Ataukah Indonesia Cemas?

Oleh: Jerry F. G. Bambuta *

PAGI ini saya menikmati secangkir kopi gula aren sembari di temani setumpuk catatan tentang beberapa agenda pekerjaan yang harus saya evaluasi. Dan pada saat yang sama, saya mengintip sekian banyak status pada beranda facebook yang di penuhi dengan flyer ucapan Hari Pendidikan Nasional yang di peringati tepat hari ini, pada tanggal 2 Mei 2024.

Hari pendidikan nasional (hardiknas) adalah tanggal lahir salah satu pahlawan nasional yang berjuang untuk dunia pendidikan nasional yang dulunya masih dibelenggu oleh feodalisme dan kolonialisme, sosok pahlawan tersebut adalah Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar
Dewantara tidak menggunakan senapan api yang menyalak, bambu runcing yang menghunus atau rencong yang teracung dalam perjuangannya. Ki Hajar Dewantara menggunakan “ujung pena” dengan menggores “tulisan bernyawa” yang mampu membakar semangat juang pribumi untuk mengalami kemerdekaan dalam hak pendidikan.

Anak-anak belajar di pedalaman Kabupaten Mappi, Papua. (Ist)

Hari ini, jargon peringatan hardiknas tak bisa di pisahkan dengan proyeksi Indonesia emas yang dibidik pada tahun 2045. Di mana tahun 2045 adalah 100 tahun pasca Indonesia merdeka sejak tahun 1945. Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dalam situs www.mpr.go.id pada tanggal 22 Februari 2023, menyampaikan profil Indonesia emas 2045 menargetkan terwujudnya kesejahteraan rakyat Indonesia yang merata, dengan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni seturut kebutuhan zaman. Oleh karena itu, dibutuhkan pilar penting dalam mewujudkan Indonesia emas 2045, yaitu pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan
pembangunan, pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.

Proyeksi Indonesia emas 2045 bukanlah tanpa dasar, Kementerian perencanaan pembangunan nasional
(PPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi pada tahun 2045. Dalam laporan proyeksi penduduk Indonesia tahun 2015-2045 yang di laporkan olehkementerian perencanaan pembangunan nasional (PPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia di prediksi pada tahun 2045 akan mencapai jumlah penduduk pada angka 318,96 juta jiwa.

Belajar di SD-SMP Satu Atap Ninjemor, Distrik Moi Segen, di Kabupaten Sorong Selatan. (Ist)

Dari jumlah penduduk tersebut, penduduk pada usia produktif akan mencapai angka 207,96 juta jiwa. Sedangkan penduduk usia non produktif akan mencapai angka 110,97 juta jiwa. Dengan komposisi jumlah penduduk tersebut, maka rasio ketergantungan/beban tanggungan (depency ratio) adalah sebesar 53,35%, artinya 100 jiwa penduduk usia produktif akan menanggung beban 54 jiwa dari penduduk usia non produktif.(Kusnandar, Viva Budy. 2022. “Waspada Bencana Demografi, Proyeksi Penduduk 2045”. www.databooks.katadata.co.id).

Dengan dasar inilah sehingga tahun 2045 bukan hanya di bidik sebagai momentum Indonesia emas, tetapi juga sebagai momentum dividen demografi Indonesia.

Data dari Dirjen Dukcapil Kemendagri, jumlah penduduk Indonesia pada bulan Juni 2022 mencapai 275,36 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, ada 190,83
juta jiwa atau sekitar 69,3% adalah penduduk pada usia 15-64 tahun yang tergolong usia produktif. Sisanya sebesar 84,53 juta jiwa atau sekitar 30,7% dari kelompok usia non-produktif (kelompok usia belum produktif di bawah 15 tahun dan kelompok usia non produktif di atas 64 tahun). Dengan komposisi jumlah penduduk tersebut, maka rasio ketergantungan/beban tanggungan (dependency ratio) adalah sebesar 44,3%.

Peserta didik Sekolah Paket A Mangga Jaya sedang mengikuti kegiatan belajar di balai adat Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel). (Ist)

Artinya, 100 jiwa penduduk usia produktif menanggung 44-45 jiwa penduduk usia non produktif (Kusnandar, Viva Budy. 2022. “Era Bonus Demografi, 69% Penduduk Indonesia Masuk Kategori Usia
Produktif Pada Juni 2022”. www.databooks.katadata.co.id).

Artinya, jika Indonesia berhasil membangun daya saing dari populasi dividen demografi tersebut, maka bukan hal yang mustahil Indonesia akan memiliki modal sumber daya manusia yang bisa membawa Indonesia pada pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Dan salah satu ujung tombak yang bisa menempa daya saing dari populasi dividen demografi ini adalah sektor Pendidikan.

Kualitas layanan Pendidikan bukan hanya berpusat pada kepemilikan ijazah akademik sebagai bukti kelulusan Pendidikan, tapi lebih diprioritaskan pada pembentukan kompetensi yang bisa bersaing di tengah era globalisasi dan digitalisasi.

Situasi belajar mengajar di sebuah desa di Sungai Katingan di pedalaman Kalimantan Tengah. (Ist)

Sebaliknya, jika sektor Pendidikan Nasional cenderung lamban membekali populasi dividen demografi sehingga gagal memiliki daya saing sebagai sumber daya manusia unggul, maka kelompok ini terancam gagal menjadi “bonus demografi” karena menjadi “beban demografi” sekaligus “bencana demografi”. Dan, proyeksi “Indonesia emas” pun terancam malah menjadi “Indonesia cemas”.

Dalam rangka peringatan hardiknas hari ini, saya ingin menguak beberapa catatan otokritik terkait sektor
Pendidikan nasional.

Jika kita semua sepakat membidik “Indonesia emas 2045”, maka berbagai borok-borok bernanah dalam setiap kebijakan Pendidikan nasional harus bisa disembuhkan.

Mengajar di pelosok Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. (Ist)

Literasi Rendah APBN Besar

Angka literasi nasional yang rendah di tengah alokasi anggaran APBN dari
sektor pendidikan yang cukup besar. Upaya peningkatan angka literasi nasional bukan hanya sebatas pada upaya penuntasan angka buta huruf
secara nasional. Karena dalam kenyataannya, penurunan angka buta huruf nasional yang signifikan belum bisa berkontribusi pada peningkatan angka literasi nasional.

Berdasarkan data yang di rilis oleh Ayungtyas pada situs www.goodstats.id pada tanggal 20 Februari 2024, menunjukan bahwa angka buta huruf nasional dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Bahkan, untuk rentang usia 15 tahun sampai 44 tahun, angka buta huruf tak mencapai 1%. Penurunan angka buta huruf ini malah berbanding terbalik dengan angka liteasi nasional.

Belajar di SMPN 3 Waigete, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Flores, NTT. (Ist)

Dalam survey literasi yang dilakukan oleh OECD (Organization For Economic Co-operation & Development) bertajuk Program For International Student Assessment (PISA) menunjukan bahwa Indonesia hanya berada pada tingkat 62 dari 70 negara yang menjadi responden. Indonesia pada tingkat 62 hanya memiliki skor 395,3 dan berada jauh di bawah Singapore dengan skor 556, Vietnam dengan skor 495 dan Thailand dengan skor 415. Skor PISA ini di ukur dengan tiga indikator kualitas pendidikan yaitu kemampuan matematika, ilmu sains dan membaca.

Mengapa demikian? Secara praktis, literasi bukan hanya tentang kemampuan baca, tulis dan berhitung secara umum. Literasi lebih terkait pada kemampuan penambahan kosakata, mengoptimalkan kerja otak, menambah wawasandan informasi baru, mempertajam diri dalam menangkap makna suatu informasi tertentu, mengembangkan kemampuan verbal, melatih kemampuan berpikir dan menganalisa, meningkatkan fokus dan konsentrasi dan melatih dalam hal menulis serta merangkai kata yang bermakna kritis.

Mengajar anak-anak di komunitas Talang Mamak di Datai, wilayah paling hulu di Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Huku (Inhu), Riau

Kita membutuhkan kurikulum Pendidikan nasional yang tak hanya sekedar menurunkan angka buta huruf nasional, tapi secara signifikan bisa membangun kompetensi Pendidikan yang bisa menjawab kompetisi
secara lokal, nasional dan internasional. Ini menjadi sangat ironis, mengingat alokasi APBN untuk departemen pendikan dan kebudayaan (kemendikbud) adalah satu satu terbesar dari kementerian lainnya.

APBN Buncit Dimakan ‘Mencit’

Alokasi APBN yang buncit untuk sektor pendidikan tapi banyak di makan mencit. APBN yang di alokasikan untuk kementerian pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud)
pada tahun 2023 mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah karena mencapai angka Rp 612,2 Triliun. Data dari kementerian keuangan menyatakan bahwa jumlah pembiayaan tersebut tumbuh sebesar 5,8% dari pembiayaan sebelumnya sebesar Rp 574,9 triliun.

Dari pembiayaan APBN 2023 untuk pendidikan tersebut, alokasi anggaran pendidikan yang akan di transfer ke daerah mencapai Rp 305,6 Triliun. Jumlah transfer ke daerah akan di bagikan untuk kebutuhan bantuan operasional pendidikan (BOS) kepada 43,7 juta siswa, bantuan operasional penyelenggara (BOP) untuk PAUD pada 6,2 juta siswa (Santika, Erlina F. “Anggaran Pendidikan APBN 2023 Paling Tinggi Sepanjang Sejarah”.
www.databooks.katadata.co.id.).

Tragisnya, dari alokasi anggaran yang membuncit di atas masih sering di gerogoti oleh “Mencit”. Mencit adalah sejenis tikus putih yang sering di gunakan sebagai objek eskperimen laboratorium. Saya sengaja menggunakan istilah tersebut karena tikus adalah simbol yang umum terhadap perilaku korupsi. Besarnya
alokasi anggaran dalam sektor pendidikan nasional kerap kali sulit menciptakan “maximal feedback” disebabkan karena maraknya kasus korupsi (mencit).

Jumlah kasus korupsi di sektor pendidikan yang ditangani penegak hukum dari tahun 2016-2021 mencapai angka korupsi sebesar Rp 2,9 Triliun. Secara umum, kasus korupsi tersebut paling dominan terjadi pada penggunaan dana BOS atau Bantuan operasional sekolah (Dihni, Vika Azkiya. 2022. “Jumlah Kasus Korupsi Sektor Pendidikan Yang Ditangani Penegak Hukum Periode 2016-2021. www.databooks.katadata.co.id).

Di sisi lainnya, para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia di dominasi dari kelompok yang tergolong
“well educated” atau memiliki jenjang pendidikan yang tinggi. Reportase berita resmi dari situs www.merdeka.com pada tanggal 17 November 2021 dengan tajuk “Wakil Ketua KPK: Banyak Koruptor Bergelar Master, Kedua Sarjana”,– Nuruf Ghufron sebagai Wakil Ketua KPK menyebut mayoritas pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia berpendidikan tinggi. Menurut Ghufron, sebanyak 86% koruptor yang berurusan dengan KPK pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Dengan kondisi ironis ini membuat kita tertegun, bahwa sektor pendidikan nasional kita masih kurang berhasil mendidik moralitas dan integritas di bangsa ini?

Kesejahteraan Pendidik Memprihatinkan

Tingkat kesejahteraan tenaga pendidik yang masih memprihatinkan. Berdasarkan “equity theory of motivation”, menegaskan bahwa keseimbangan antara kontribusi yang diberikan oleh seorang pekerja dengan penghargaan yang ia dapatkan akan menghasilkan motivasi kerja yang tinggi. Sebaliknya, ketika penghargaan yang di dapatkan tidak seimbang dengan kontribusi yang diberikan, maka motivasi kerja akan menjadi rendah. Di Indonesia, tuntutan profesionalitas guru sebagai tenaga pendidik kerap kali belum optimal karena guru masih terjebak dalam krisis kesejahteraan hidup.

Tenaga honor Pendidikan kerap kali mengalami penundaan pembayaran gaji berbulan-bulan. Di sisi lain, beban kerja para guru kerap kali melampaui dengan standard gaji yang mereka terima. Tak heran jika para guru seringkali mengalami depresi membuat fokus mereka dalam tanggung jawab pendidik terganggu.

Gaji guru yang tak sebanding dengan tuntutan pekerjaan dan beban biaya hidup dapat memicu beban finansial bagi tenaga pendidik. Hal ini akan secara langsung menimbulkan ketidak seimbangan antara kehidupan personal dan professional serta memicu terjadinya kelelahan fisik dan mental.

Rata-rata di negara-negara yang angka literasi yang tinggi memiliki tingkat kesejahteraan guru yang baik. Misalnya, Kanada yang memiliki skor PISA (Program For International Student Assessment) pada peringkat ke-8. Pada tahun 2002, rata-rata gaji guru di Kanada mencapai angka Rp 590 juta. Sistem kebijakan Pendidikan nasional sangat membutuhkan kepastian gaji guru yang kompetitif dan sesuai dengan tingkat kinerja dan Pendidikan. Dengan adanya hal ini, maka di amini akan mendorong para guru pendidik bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam peningkatan kualitas sector Pendidikan nasional.

Pengaruh Bergaining Politik

Penempatan Tenaga Pendidik Banyak Kali Dipengaruhi Oleh Faktor “bargaining Politik” Dan Bukan Karena Prinsip Meritokrasi. Kontribusi dari sektor pendidikan adalah mendorong peningkatan angka literasi nasional sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara nasional.

Oleh karena itu, penempatan posisi fungsional dan struktural para guru wajib berdasarkan prinsip meritokrasi. Prinsip meritokrasi adalah kondisi yang memberikan peluang yang sama kepada kepada semua individu dalam masyarakat untuk menduduki sebuah posisi atau jabatan di sector public. Kesempatan yang setara ini di dasarkan pada kompetensi individu sehingga orang-orang terbaik dianggap pantas menduduki posisi atau jabatan tersebut.

Prinsip meritokrasi dalam sektor Pendidikan nasional kerap kali masih jauh dari yang diharapkan. Guru sebagai ASN (aparatur sipil negara) di wajibkan netral dalam setiap pilihan politik. Kenyataan di lapangan malah tak demikian, para guru seringkali ditunggangi menjadi “bidak politik” dalam sebuah arena perebutan kekuasaan politik. Akibatnya, guru yang harusnya berpijak dengan prinsip meritokrasi malah harus hidup dengan prinsip transaksionalisme politik yang meninggalkan etika dan independensi profesionalitas guru.

Penempatan guru pada posisi fungsional dan struktural bukan karena hasil seleksi melalui prinsip meritokrasi. Jabatan fungsional dan struktural cenderung ditentukan oleh faktor “bargaining politik”. Akibatnya, penempatan posisi tersebut bukan lagi karena faktor kualitas “isi kepala” (kompetensi) tapi karena faktor representasi “jumlah kepala” (guru yang terlibat dalam konsolidasi basis suksesi politik).

Jika tradisi ini terus melembaga, maka sampai kapan pun, sektor Pendidikan kita tak lebih dari sekedar “kapitalisasi” dan gagal menjadi “solusi” menuju Indonesia emas.

Regenerasi Guru

Kebutuhan Regenerasi Guru Berkompetensi Untuk Masa Depan Pendidikan Nasional. Berdasarkan data yang di rilis oleh Aisyah pada situs www.detik.com pada tanggal 26 Mei 2023, menyebut data kemendikbudristek pada tahun 2022 ada 77.124 guru yang pensiun dan jumlah kekurangannya adalah 1.167.802 tenaga guru.

Kemudian pada tahun 2023 ada ada 75.195 guru pensiun dengan kekurangan 1.242.997 tenaga guru. Pada tahun 2024, guru yang memasuki usia pensiun adalah 69.762 orang dan angka kekurangan tenaga guru mencapai 1.312.759 orang.

Sementara, lulusan Pendidikan
Profesi Guru atau PPG yang mengikuti pra jabatan pada tahun 2006-2018 mencapai 27.935 orang. Ditambah dengan peserta PPG prajabatan tahun 2019-2021 mencapai angka 2.963 orang. Jumlahnya belum cukup untuk menggantikan jumlah guru pensiun pada tahun 2002 yang mencapai angka 77.124 orang.

Dari paparan di atas, maka kita bisa melihat kebijakan regenerasi tenaga guru sangat penting di perhatikan
untuk kelangsungan masa depan Pendidikan nasional. Di barengi dengan penguatan profesionalitas dan
kesejahteraan guru sehingga mampu menyiapkan mempersiapkan generasi emas Indonesia di masa depan.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus solid bersinergi menciptakan jalur “fast track” dalam rangka memenuhi kebutuhan akan regenerasi dan distribusi tenaga guru yang memiliki kompetensi.

Ancaman Stunting

Generasi Indonesia Emas Yang Terancam Stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita karena di sebabkan oleh karena kurangnya gizi dalam waktu yang lama, paparan infeksi berulang dan kurangnya stimulasi. Kondisi malnutrisi ini dipengaruhi oleh kesehatan ibu hamil, status kesehatan remaja, taraf ekonomi dan budaya lingkungan (sanitasi dan
akses layanan kesehatan).

Kementerian kesehatan melalui situs resmi
www.sehatnegeriku.kemenkes.go.id pada tanggal 25 Januari 2023, merilis hasil survey gizi Indonesia (SSGI) dalam rapat kerja nasional BKKBN terkait prevalensi stunting Indonesia yang mengalami penurunan dari 24,6% pada tahun 2021 menjadi 21,6% pada tahun 2022.

Capaian penurunan stunting tersebut wajib diapresiasi tapi ini masih memiliki gap yang lebar dengan target capaian stunting pada tahun 2024 sebesar 14%.

Standar WHO menegaskan prevalensi stunting harus di bawah 20%, jika melampaui dari prevalensi tersebut maka di anggap kronis. Dengan kata lain, meski prevalensi stunting tahun 2022 mengalami penurunan, prevalensi stunting secara nasional masih tergolong pada status kronis.

Kondisi kronis ini tidak bisa dianggap sebelah mata karena bisa berdampak buruk bagi kualitas intelegensia generasi masa depan Indonesia, di mana di dalamnya juga tersimpan asset yang di istilahkan dengan sebutan dividen demografi.

Masalah stunting yang kronis bisa memicu terjadinya daya tahan tubuh yang rendah serta IQ yang rendah pada anak-anak. Dalam kondisi stunting, pertumbuhan dan perkembangan sel neuron otak terhambat dan mempengaruhi perkembangan kognitif pada anak.

Menurut penelitian Dr. dr. Darmayanti Rusli Syarif, SpAk bahwa anak yang mengalami gizi buruk di bawah usia 1 tahun, 25% di antara mereka
beresiko memiliki tingkat kecerdasan di bawah 70 dan 40% beresiko memiliki tingkat kecerdasan antara 71-90. Dengan tingkat kecerdasan tersebut, akan membuat kemampuan akademis anak akan terganggu.

Indonesia Emas Ataukah Indonesia Cemas?

Hari ini kita berada pada persimpangan yang serius, di mana kebijakan strategis hari ini akan sangat menentukan masa depan kita, menjadi “Indonesia emas” ataukah terperesok menjadi “Indonesia cemas”.

Enam masalah Pendidikan di atas benar-benar harus menjadi perhatian serius untuk di tangani. Kita menanti arah kebijakan dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih dari Pilpres 2024, apakah pasangan Prabowo dan Gibran bisa meretas solusi dari semua masalah sektor pendidikan di atas.

Saya teringat sepenggal tulisan dari seorang pegiat Pendidikan bernama Toto Rajardjo, ia menulis, “Pendidikan pada dasarnya bukanlah menanam, melainkan aktualisasi potensi siswa. Sejak berabad yang lalu”,

Plutrach dengan puitis menyatakan, “Pikiran bukanlah bejana untuk diisi tapi sumbu api untuk di nyalakan”.

*Penulis Jerry F. G. Bambuta dari Forum Literasi Masyarakat

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru