JAKARTA- Sejumlah organisasi mahasiswa dan partai politik mendesak agar Presiden Jokowi tidak membiarkan penambahan pasukan ke Papua dalam mengatasi masalah Papua yang semakin panas akibat provokasi rasisme di Surabaya pada mahasiswa Papua 16 Agustus 2019 lalu.
“Kami meminta agar Presiden Jokowi segera menarik penambahan aparat TNI/Polri yang diterjunkan, serta menginstruksikan Menkominfo untuk membuka akses Internet di Papua dan Papua Barat. Pemerintah harus selalu mengedepankan cara dialog dalam menyelesaikan masalah di Papua,” Hal ini ditegaskan David Sitorus Sekretaris Umum PP-GMKI di Jakarta, Kamis (29/8)
Ormas dan partai politik juga mendesak Presiden menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah dan aparat keamanan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan mahasiswa Papua di seluruh Indonesia.
“Dorong semua elemen bangsa untuk tetap menguatkan semangat persatuan nasional sesama anak bangsa,” tegas Thomson Sabungan Silalahi, Sekretaris Jenderal PP-PMKRI.
Kegaduhan ditanah Papua menurut mereka dipicu adanya oknum ormas dan aparat TNI, yang mengeluarkan kata rasis ketika melakukan penyerbuan ke asrama Papua Surabaya, 16 Agustus 2019 lalu.
“Presiden perlu segera memerintahkan Kapolri untuk mengusut, mengungkap dan menangkap aktor intelektual terhadap pengrusakan tiang bendera dalam kasus penyerangan asrama Papua di Surabaya termasuk pelaku ucapan Rasis,” ujar Phirman Reza, Sekretaris Jenderal PP-KAMMI.
Pemicu Kerusuhan Papua
Muhammad Asrul, Sekretaris Jenderal EN-LMND menjelaskan, insiden rasis yang dialami oleh penghuni asrama di Surabaya, pemicunya karena ada informasi dari pengurus RT/RW setempat dan beberapa informasi yang beredar tentang adanya bendera merah putih dibuang dan ditiadakan dari sekitar asrama.
Selain itu, Alif Kamal (Posko Menangkan Pancasila) menyebiutkan kasus penyerangan terhadap demo mahasiswa tanggal 15 Agustus 2019 di Malang, serta berlanjut ke Asrama Papua di Semarang yang didatangi oleh aparat polisi, tentara serta ormas tertentu. Hingga sekarang, pelaku penghilangan dan pembuangan bendera belum ditangkap, juga pelaku rasis belum ditangkap oleh pihak berwajib. Kepolisian masih melakukan proses pemanggilan saksi saksi.
“Akibat rentetan peristiwa diatas, sebagian saudara saudari kita, lalu menutup diri, dan tidak ingin kasus tersebut diproses secara hukum. Bahkan upaya lapor balik pun, tidak dilakukan,” ujarnya.
Justru, menurut Bebin Adi Dharma, Sekretaris Umum PP-HIKMAHBUDHI,– banyak seruan dan tuntutan politis yang muncul pasca insiden tersebut. Eksklusivisme yang muncul tersebut, justru memberi ruang kepada pihak tertentu untuk memainkan isu yang cenderung merongrong keutuhan bangsa Indonesia, dan adanya elit politik yang memiliki kewenangan untuk memprovokasi mahasiswa untuk pulang ke Papua.
“Akibatnya, beberapa organisasi mahasiswa milik pemerintah daerah yang bermukim di daerah diluar Papua (Jawa, Sulawesi), ikut menyebarkan seruan pulang ke Papua. Dampaknya memicu aksi tutup diri di sebagian orang Papua. Khususnya penghuni asrama,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Fajar Iman Hasanie, Wakil Sekretaris Jenderal PRIMA DMI, dampak dari situasi yang dialami mahasiswa di luar Papua tersebut, memancing amarah di Papua. Sebagaimana terjadi demonstrasi besar-besaran di 15 daerah. Antara lain; Jayapura ibu kota Provinsi Papua, Manokwari ibu kota Provinsi Papua Barat, Kabupaten dan kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Bintuni, Kabupaten Kaimana, Wamena Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Merauke, Kabupaten Nabire,Kabupaten Deiyai, Kabupaten Paniai, Kabupaten Biak dan Kabupaten Maybrat.
“Akibat dari demonstrasi di Papua tersebut, pemerintah telah mengirim aparat keamanan ke beberapa daerah serta adanya pemblokiran akses internet secara terbatas,” jelasnya.
Arkilaus Baho Aktivis Papua menjelaskan, aparat penegak hukum lambat dalam menindak oknum penghilangan bendera dan ucapan rasis tersebut. Respon pemerintah berlebihan atas situasi di Papua dengan terus menerjunkan penambahan aparat. Ditambah lagi ratusan orang Papua yang berdemo spontanitas di Papua sudah ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan pelaku rasis di Surabaya belum tersentuh hukum. (Web Warouw)

