JAKARTA- Sudah saatnya Pemerintahan Presiden Joko Widodo membayarkan premi kesehatan 264 juta seluruh rakyat Indonesia. Agar tidak ada lagi rakyat yang mengeluh tidak mampu bayar iuran BPJS. Demikian disampaikan dr Ribka Tjiptaning dari PDI Perjuangan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi IX DPR, BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan, di Gedung DPR-RI, Jakarta, Senin (17/9).
“Premi BPJS terus naik dan memberatkan peserta BPJS Mandiri. Seharusnya premi seluruh rakyat menjadi tanggung jawab negara. Artinya kalau seluruh rakyat menjadi PBI (Penerima Bantuan Iuran) dibayar pemerintah maka gak ada lagi rakyat yang mengeluh. Sebanyak 264 juta rakyat ‘dicover’ negara sebesar Rp 60 triliun. Tambah saja jumlah penerima PBI menjadi seluruh rakyat Indonesia. Dana Desa saja bisa Rp 70 triliun. Masak urusan nyawa rakyat Presiden Jokowi gak mau kasih,” katanya.
Kepada Bergelora.com Tjiptaning menjelaskan pelayanan bagi PBI selama ini sudah dikelas 3 disetiap rumah sakit di seluruh Indonesia. Kalau seluruh rakyat menjadi PBI yang dibayar pemerintah artinya semua pelayanan kelas 3 diseluruh Indonesia adalah gratis untuk seluruh rakyat Indonesia,” katanya seusai Rapat Dengar Pendapat di DPR-RI tersebut.
“Sehingga seluruh rakyat Indonesia mendapatkan hak kepastian pelayanan kesehatan secara maksimal dikelas 3 seluruh rumah sakit di seluruh Indonesia,” tegasnya.
Sementara kelas 2, kelas 1 dan VIP adalah untuk program BPJS Mandiri yang dibayar sendiri oleh peserta mandiri BPJS Kesehatan.
“Orang mampu pasti akan bayar BPJS Mandiri untuk bisa di kelas 2, kelas 1 atau VIP. Tapi kalau sewaktu-waktu dia bangkrut dan menjadi tidak mampu, dia berhak mendapatkan kelas 3 yang dibayar oleh pemerintah.
Menurutnya pembayaran hutang BPJS dengan menggunakan dana talangan sampai bulan Desember 2018 hanya akan membebani pemerintah, karena tidak ada perbaikan dalam BPJS Kesehatan.
“Jangan hanya dana talangan melulu sampai Desember. Seharusnya mikirnya jangka panjang. Dana desa aja bisa Rp 70 triliun. BPJS sudah lahir. Semua harus punya komitmen untuk sungguh-sungguh. Jangan malahan membebani rakyat, rumah sakit apalagi petugas kesehatan dokter, perawat dan bidan. Rakyat seharusnya senang dengan adanya BPJS Kesehatan, kog malah sebaliknya,” katanya.
Tjiptaning yakin bahwa dana Rp 70 triliun itu tidak akan terpakai semua.
“Emang seluruh rakyat akan sakit berbarengan dalam setahun? Emang orang Papua akan pakai semua PBI nya? Kita bosen dan pusing bicara hutang BPJS melulu. Rumah sakit belum dibayar. Pasien teriak-teriak. Setiap kunjungan kerja bupati mengeluh BPJS hutang pada rumah sakit daerahnya. Sudahlah, kita selesaikan semua secara sistimatis,” ujarnya.
Surati Presiden
Untuk itu menurut Tjiptaning, Komisi 9, DPR-RI akan menyurati Presiden untuk mendesak segea membuat Rapat Kabinet khusus membahas dan mencari jalan keluar BPJS Kesehatan.
“Komisi 9 akan membuat surat kepada Presiden Jokowi agar segera membuat rapat kabinet khusus BPJS. Leading sektor menteri kesehatan didukung menteri keuangan. Ini masalah nyawa rakyat. Jangan pake talangan-talangan gitu. Harus segera bisa diatasi secara sistimatis dan jangka panjang. Mau duit dari cukai rokok terserah,” ujarnya.
Tjiptaning mengatakan bahwa Presiden Jokowi harus tahu bahwa rakyat sudah menjerit-jerit karena BPJS Kesehatan tidak mampu mengelola jaminan kesehatan.
“Kami akan laporkan, pengobatan Kanker sudah obat distop. Rumah sakit gak bisa disalahanin karena memang pembiayaan pelayanan tidak ditanggung BPJS. NICU dan PICU saja dibayar tidak sesuai oleh BPJS, makanya semua rumah sakit ngomong tidak punya NICU dan PICU,” katanya.
Defisit Terencana
Sebelumnya, dalam paparannya, Direktur Utama BPJS Fahmi Idris menuliskan slogannya “Dengan Gotong Royong Semua Tertolong”. Ia menjelaskan rencana defisit anggaran BPJS Kesehatan sampai Desember 2018 sebesar Rp 16,5 triliun Defisit itu berupa gagal bayar terus menerus pada rumah sakit sejak bulan Januari 2018 sampai bulan Agustus 2018 dan direncanakan defisit sampai Desember.
Dalam paparannya Fahmi melaporkan pembengkakan gagal bayar terjadi dari Januari sebesar Rp4,2 triliun, Februari Rp2,5 triliun, Maret Rp3,9 triliun, April Rp1,2 triliun, Mei Rp2,2 triliun, Juni Rp281 milyar, Juli Rp3,7 triliun, Agustus Rp3,96 triliun, September Rp7,7 triliun, Oktober Rp 11,5 triliun, November Rp15,2 triliun, dan Desember Rp16,4 trilun.
Ia menjelaskan bahwa akar masalah utama dari defisit adalah besaran premi perorang per bulan yang tidak mencukupi biaya real. Pada tahun 2016 premi Rp33.776, padahal biaya perorang per bulan sebesar Rp35,802. Pada tahun 2017 premi sebesar Rp34,119 sementara biaya perorang per bulan sebesar Rp39,744.
Besarnya biaya pelayanan kesehatan menurut Fahmi disebabkan antara lain profil morbiditas penduduk yang banyak menderita penyakit kronis. Jumlah biaya katastropik dari Januari sampai Agustus 2018 Sebesar Rp12,827,593,062,025 (Rp 12,9 trliun)
Untuk itu menurutnya BPJS mengusulkan kenaikan besaran iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) secara moderat. BPJS juga mengusulkan kenaikan batas atas upah bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) Badan Usaha. Namun usulan ini belum menjadi keputusan BPJS sudah melakukan simulasi perhitungan defisit Dana Jaminan Sosial jika besaran iuran dinaikkan. (Web Warouw)