YOGYAKARTA- Rekonstruksi Hukum Nasional (RHN) adalah satu gagasan, satu pemikiran, satu agenda, kebijakan, dan program yang tidak berdiri sendiri. Rekonstruksi Hukum Nasional juga merupakan satu rangkaian dan bangunan yang tidak bebas nilai. Hal ini ditegaskan oleh Firman Jaya Daeli, mantan Ketua DPP PDI Perjuangan dan Anggota Komisi Politik Dan Hukum DPR-RI kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (22/2).
“Rekonstruksi Hukum Nasional dan Sistem Hukum Nasional adalah bukan penghambat kemanusiaan dan kesejahteraan serta bukan juga penghalang kerakyatan dan kemakmuran,” tegasnya.
Sebelumnya dalam Dialog Hukum Tingkat Nasional, Senin (18/2) lalu di Aula Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kejati DIY), dengan Tema Rekonstruksi Hukum Nasional Untuk Kemanusiaan Berkemajuan,– Firman Jaya Daaeli menyampaikan Rekonstruksi Hukum Nasional, sejatinya dan seterusnya memiliki dasar sandaran yang jelas dan mengandungi pedoman panduan yang tegas untuk menegakkan berdirinya dan menggelorakan bergeraknya Sistem Hukum Nasional. Ada sejumlah faktor penting atau elemen berpengaruh terhadap Rekonstruksi Hukum Nasional. Dengan demikian, Sistem Hukum Nasional ataupun Rekonstruksi Hukum Nasional tidak berdiri sendiri.
“Rekonstruksi Hukum Nasional juga secara prinsipil tidak bebas nilai karena Sistem Hukum Nasional mesti selalu terkait, terikat, dan terpanggil pada komitmen untuk menumbuhkan nilai-nilai kebajikan umum dan keadaban universal,” ujarnya.
Menurutnya, gagasan, pemikiran, agenda, kebijakan, dan program Rekonstruksi Hukum Nasional harus senantiasa diselenggarakan dalam kerangka pelaksanaan dan penerapan faktor-faktor ideologis strategis dan nilai-nilai ideologis humanis. Faktor dan nilai ini tertera dalam keseluruhan ideologi dan falsafah Pancasila ; sistem dan konstitusi UUD 1946 ; etos dan semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam wadah dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Rekonstruksi Hukum Nasional (RHN) dan Sistem Hukum Nasional secara hakiki harus senantiasa menjiwai sepenuhnya dan memaknai seluruhmya prinsip-prinsip utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Prinsip ini dilambangkan dan direpresentasikan oleh NKRI, Pancasila, UUD 1946, dan Bhinneka Tunggal Ika,” jelasnya.
Ia mengingatkan agar Sistem Hukum Nasional mesti selalu berdiri tegak, berjalan lurus, dan berfungsi efektif untuk memastikan penegakan dan pelaksanaan pesan moral dan aturan substansial dari keseluruhan prinsip-prinsip utama ini. Konstruksi dan substansi Sistem Hukum Nasional ketika dibentuk dan dibangun sudah seharusnya dipastikan untuk tidak boleh bertentangan dan jangan sampai bertolakbelakang dengan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Posisi dan sikap keseluruhan Sistem Hukum Nasional mesti jelas dan tegas untuk berdiri tegak lurus pada hanya satu pengakuan dan pemihakan tunggal yaitu : terhadap ideologi dan falsafah Pancasila ; sistem dan konstitusi UUD 1946 ; etos dan semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam wadah dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak ada alternatif lain, dan juga tentu tidak boleh ada jalan lain selain prinsip-prinsip “merah dan putih” dalam Indonesia Raya,” ujarnya.
Menurutnya, Sistem Hukum Nasional ketika digagasi dan direkonstruksi harus bersifat dan berfungsi untuk menginisiasi, mengantisipasi, dan menanggapi permasalahan dan tantangan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Sistem Hukum Nasional mesti pula bersifat dan berfungsi untuk mengakomodasi, mewadahi, dan mengatasi berbagai agenda kebangsaan dan kebijakan kenegaraan.
Kemudian harus senantiasa bersifat dan berfungsi memfasilitasi, memediasi, dan menggeraki pembangunan dan penataan infrastruktur, perlindungan dan pelayanan publik, pengembangan dan pergerakan perekonomian lokal, regional, dan nasional. Dengan demikian, jiwa raga sesungguhnya dari filsafat Sistem Hukum Nasional adalah penggerak yang strategis dan pendorong yang efektif bagi Indonesia Berkemajuan.
“Rekonstruksi Hukum Nasional dan Sistem Hukum Nasional adalah bukan penghambat kemanusiaan dan kesejahteraan serta bukan juga penghalang kerakyatan dan kemakmuran,” tegasnya.
Sejumlah Pembicara dalam Dialog Hukum Tingkat Nasional untuk menyampaikan pemikiran mengenai Hukum Indonesia. Mereka adalah Prof. Dr. Paripurna, SH, MH, LL.M, Wakil Rektor UGM dan mantan Dekan FH. UGM; Firman Jaya Daeli, mantan Ketua DPP PDI Perjuangan dan Anggota Komisi Politik Dan Hukum DPR-RI; Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH, MH, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional dan mantan Dekan FH. Undip.
Dialog Hukum Nasional, diawali Pelantikan Kepengurusan DPN Permahi (Ketua Umum Andrean Saefudin dan Sekretaris Jenderal M. Rouf, dan lainnya dirangkaikan pelaksanaan Rakernas Permahi. Ratusan tamu undangan dan peserta yang berasal dari berbagai kalangan dan daerah-daerah di Indonesia menghadiri Dialog Hukum Nasional. Hadir dari jajaran Kejaksaan (Kejati DIY), Kepolisian (Polda DIY), TNI AD (Korem Pamungkas), kalangan tokoh, pimpinan, aktifis, dan profesional bidang hukum, kalangan institusi-institusi lain.
Selain itu kalangan pemuda, mahasiswa umum dan mahasiswa hukum, hadir juga Anggota dan Pengurus Permahi dari berbagai tingkatan dan wilayah di Indonesia, dan Permahi Yogyakarta sebagai Pelaksana. Hadir juga Dewan Pengurus dan Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Permahi.
Dalam agenda Pembukaan Dialog Hukum Nasional, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DIY Rohan menyampaikan Kata Sambutan Tertulis, yang dibacakan Wakil Kajati DIY Oktavianus. Direncanakan juga awalnya Gubernur Provinsi DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyampaikan Pidato Sambutan sebagai Keynote Speaker. (Web Warouw)