JAKARTA- Jika hendak memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia dan jika memiliki visi yang sama untuk memperbaiki tatanan sistem politik di Indonesia, maka alokasi keuangan negara untuk pembiayaan parpol mutlak diperlukan dan diberikan dalam jumlah yang signifikan yang dapat membantu memperbaiki tata kelola Parpol (Partai Politik). Hal ini disampaikan Dr. Drs. Bahtiar, M.Si, Direktur Politik Dalam Negeri Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (5/8).
“Jadi tidak cukup kita berhenti hanya sekedar menyatakan perlu perbaikan tata kelola parpol. Kita setuju dengan pernyataan. Tapi konkritnya seberapa besar proteksi atau peelindungan negara untuk mendukung keberlangsungan hidup parpol di Indonesia. Tidak boleh lagi terus menerus hidupnya parpol diserahkan kepada hukum pasar,” tegasnya.
Ia menjelaskan perbaikan tata kelola parpol hanya mungkin dapat dilakukan jika negara memberikan proteksi atau perlindungan yang cukup yang mendukung tumbuh berkembangnya parpol di Indonesia yang sehat baik melalui penataan regulasi maupun dalam bentuk alokasi keuangan negara yang cukup kepada parpol seperti praktek perlakuan negara-negara demokrasi kelas dunia kepada parpol di negara masing-masing.
“Yang perlu dibenahi dan diatur ulang adalah perubahan regulasi pengelolaan bantuan keuangan parpol. Jangan aturan main tatakelola keuangan bagi instansi pemerintahan di copy menjadi aturan main untuk pengelolaan keuangan parpol,” katanya ketika menjawab bagaimana kelanjutan penaikan dana Banpol.
Entitas parpol menurutnya berbeda dengan instansi pemerintahan. Mestinya ada inovasi regulasi keuangan untuk parpol. Karena aktivitas parpol berbeda dengan aktivitas instansi pemerintahan.
“Artinya kita harus mampu menciptakan aturan keuangan yang adil bagi parpol. Jangan kita hanya bisa menyalahkan parpol,” katanya lagi menjawab soal desakan untuk meningkatkan tata kelola keuangan parpol seperti yang ada dalam revisi PP No 5 tahun 2009.
Bachtiar menjelaskan, proses revisi PP No. 5 th 2009 sudah dilakukan sejak tahun 2012. Kemendagri telah melakukan sejak tahun 2012. Pemerintah juga telah menerima masukan hasil kajian dari berbagai pihak antara lain dari NGO, perguruan tinggi, BPK, KPK, Bappenas, termasuk parpol.
“Jadi hal ini kita lakukan bukan karena desakan tapi berdasarkan kajian ilmiah dan kebutuhan obyektif untuk memperkuat sistem kepartaian di Indonesia sebagai bagian upaya percepatan konsolidasi demokrasi yang diamanatkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional 2014 sampai dengan 2019 bidang pembangunan politik dalam negeri,” jelasnya.
Bantuan keuangan kepada parpol tersebut merupakan hak parpol dan kewajiban negara memberikan keuangan sesuai amanat UU No. 2 tahun 2011 tentang parpol. Jadi ini amanat Undang-Undang dan tugas pemerintah adalah menjalankan Undang-Undang.
“Sejak reformasi tidak pernah kita memberi perhatian yang cukup untuk memperbaiki sistem pembiayaan parpol. Bantuan keuangan parpol berubah-ubah,” katanya.
Perbandingan
Tahun 2001 dialokasikan Rp. 1.000 (seribu) rupiah persuara. Lalu tahun 2004 di berlakukan Rp. 21.000.000 (dua puluh satu juta) per kursi. Dan sejak tahun 2009 di alokasikan hanya Rp. 108. (Seratus delapan) rupiah per suara. Artinya kita belum memberi perhatian yang cukup untuk mendukung pembiayaan parpol
“Bandingkan jumlah uang negara yang dialokasi untuk elemen politik lainnya seperti ormas melalui bansos hibah kepada ormas di setiap seluruh Indonesia. Nilainya bisa puluhan trilyunan rupiah. Untuk parpol tingkat pusat hanya 13 milyar untuk 10 parpol. Sangat tidak signifikan untuk mendorong perbaikan tata kelola parpol,” jelasnya.
Kondisi lain menurutnya adalah hingga saat ini sangat sulit mengharapkan adalah pendanaan publik kepada parpol seperti di negara-negaramaju. Dimana masyarakat secara sukerela memberikan sumbangan sukarela kpd parpol yg dianggap secara ideologis mewakilinya. Di Indonesia sebaliknya, masyarakat ajukan proposal kepada parpol.
“Bandingkan negara demokrasi lainnya didunia. Hasil kajian menunjukkan negara mengokasikan uang negara 30% sampai dengan 70% bahkan seperti Uzbekistan alokasikan 100% dari total kebutuhan parpol pertahun. Di Indonesia hanya 0,00063% dari total kebutuhan parpol pertahun. Sangat kecil,” jelasnya.
Satu-satunya sumber pembiayaan parpol di Indonesia menurut Bachtiar saat ini adalah iuran anggota. Namun anggota parpol yang aktif yang mampu memberikan iuran juga sangat kecil.
“Semua kondisi tersebut, membuat parpol di Indonesia sulit bertahan hidup secara berkesinambungan. Maka wajar dari 73 parpol yang terdaftar sebagai badan hukum pada kemenkumham hanya kurang dari 20 parpol yang masih bertahan,” katanya.
Jika situasi ini terus terjadi, pertanyaan berikutnya kapan konsolidasi demokrasi bisa terwujud dan tentu kurang sehat bagi pembangunan politik dalam negeri di Indonesia.
“Karena parpol adalah satu-satunya lembaga demokrasi yang merupakan hulunya sistem politik dan sumber rekruitmen politik yang sah yang diatur dalam konstitusi UUD 45 baik di legislatif, eksekutif bahkan untuk pimpinan lembaga negara tertentu,” katanya. (Web Warouw)